PUJIAN KEPADA ALLAH SEBAGAI PERISTIWA KULTIS
Oleh: Gary Anderson
Adalah suatu kebenaran yang tidak bisa dipungkiri dalam kebanyakan buku pegangan tentang ritual dan kehidupan kultis dalam Alkitab mengatakan bahwa doa dan persembahan adalah kegiatan yang berkoordinasi. ini paling jelas dari pembukaan kitab pertama Mishna:
Sejak kapan di petang hari Shema boleh diucapkan? Sejak waktu para imam masuk ke dalam Bait Suci untuk memakan persembahan (kurban) sampai akhir bagian pertama petang itu (Ber. 1. 1).
Nats ini sering disebut sebagai petunjuk bagaimana doa telah menggantikan kurban persembahan dalam kesalehan para rabi, motivasi-motivasi untuk tindakan demikian yang dimengerti berakar dalam suatu respon terhadap kehancuran bait Allah pada tahun 70 M. Namun persamaan antara doa dan persembahan bukanlah asli dari situasi pasca tahun itu.
1.
Saya hendak melihat satu bentuk doa doa pujian, sebagai suatu komponen yang penting daripada suatu rubrik rabinis. Humbert berupaya menjelaskan bagaimana istilah sukacita dalam Alkitab (syimkha) berfungsi dalam konteks kultis. dalam studinya Humbert mencatat hubungna yang erat antara sukacita dengan nyanyian dalam Mzm. Sedangkan Ulangan menghubungkan sukacita dengan pesta kurban, pemazmur lebih menekankah segi pujian. Asosiasi ini juga jelas dalam teks-teks prosa yang sering berbicara tentang sukacita. Contoh: Ketika Salomo diangkat sebagai raja, Adonia dan teman-temannya mendengar keributan besar. Ketika Adonia mencari tahu sebabnya, dia diberitahukan bahwa ketika Salomo berarak ke Yerusalem, ada begitu besar sukacita sorak sorai (1 Raj. 1:45). Dalam Nehemia 12:43 dinyatakan bahwa sorak sorai Yerusalem bisa didengar dari jauh.
Analisis Humbert perihal peran nyanyian pujian dalam Mzm patut diperhatikan dalam banyak hal. Ia menghargai arti ritual nyata yang tersirat di dalamnya. Dalam konteks ini, pujian sukacita lebih dari sekedar perasaan spontan, ia adalah suatu ritual yang sangat diperintahkan oleh keadaan-keadaan itu....dan dibebankan kepada semua dengan paksaan aksi sakral.
Suatu cara yang lebih baik untuk menangkap peran pujian sukacita dalam Mzm bisa diperoleh dengan memperhatikan studi-studi baru-baru ini tentang peran pujian pada umumnya. Sedangkan kepentingan utama Humbert adalah mempertentangkan sukacita orang-orang Kanaan dengan orang Israel (sukacita Kanaan adalah sukacita yang cabul-pestapora, teriakan-teriakan kultis, sementara sukacita Israel bersifat refleksitif dan pujian yang saleh).
Pemahaman pujian sebagai aktivitas yang bukan sikap semata-mata paling baik dipahami ketika kultis Sitz im Leben dimengerti. Sebagaimana ditunjukkan oleh Westermann dan Kugel, pada tingkat yang paling dasar, pujian dan kurban adalah dua kegiatan yang sejajar.
Peran kultis pujian dihargai oleh Gunkel dan Begrich. Mereka memperhatikan bahwa Mzm ucapan syukur menunjukkan suatu kesamaan yang mencolok dengan monumen epigrafis pujian yang ditemukan dalam atau dekat kuil-kuil di seluruh Timur Tengah kuno. Karya mereka telah menerima penegasan yang dramatis pada generasi terakhir. Pada tulisan tugu Bir Hadad, patung itu sendiri mewakili respons terima kasih Bir Hadad kepada dewanya. Mzm Alkitab jelas beda dalam hal bahwa respons kepada doa yang terjawab adalah pujian yang paling banyak dipakai.
Tidaklah cukup untuk dengan begitu saja menggambarkan pujian sebagai yang mempunyai sifat kultis yang penting, sejajar dalam banyak hal dengan kurban sendiri.
C. Westermann membedakan pujian menjadi dua macam: deklaratif dan deskriptif. Pujian dekralatif adalah pujian yang diarahkan kepada apa yang Allah telah perbuat. Fungsinya adalah menggambarkan siapakah Allah itu dulu dan sekarang (dengan penuh harapan). Pada sisi lain pujian deskriptif tertarik pada yang di sini dan sekarang. bahwa yang baru saja Allah perbuat adalah apa yang menjamin perhatian pribadi si pemazmur. sebagai suatu contoh: Westermann menunjuk kepada tipe-tipe pujian yang ada dalam Yes. 6:3 (Sanctus) dan Kel. 15 dan Hak. 5. Dua terakhir adalah deklaratif, yang pertama adalah deskriptif.
2.
Dalam bahasa Ibrani dan bahasa Semit lain istilah sukacita bukanlah hanya istilah untuk kebahagiaan emosional umum, melainkan berkonotasi kesenangan khusus yang dihubungkan dengan pengamatan ritual-ritual spesifik. Secara khusus kesenangan yang adalah pengalaman yang paling khas dari sukacita adalah kesenangan yang bertentangan secara tipologis dengan dukacita (berkabung).
Sebagaimana pembaca Mazmur tahu keadaan peratap adalah sangat dekat sejajar dengan keadaan si pekabung. Mereka mengalami aksi ritual yang sama macamnya. Keduanya sama-sama merobek pakaian mereka, meratap dan berpuasa. Baik peratap dan pekabung mengenali diri mereka dengan orang mati.
Atas pelepasan, pemazmur sering langsung ke Bait Allah untuk memenuhi ikrar kurban dan pujian. Pernyataan publik dan sukacita atas pembebasan adalah suatu bagian yang terpadu dari proses ritual.
Secara ringkas bisa saya katakan bahwa sebagaimana kehidupan dialami dalam kultus sebagaimana ada di hadapan hadirat Allah dalam bait surgawi-Nya, demikian pula kematian dialami dalam kultus sebagaimana diputuskan dari hadirat di luar bait Allah. Baik turun ke Sheol maupun naik ke bait Allah memiliki unsur ritual. Momen ketidakhadiran Allah sering digambarkan sebagai suatu perjumpaan dengan maut dan dengan demikian pemazmur sering menggambarkannya sebagai turun ke perut Sheol.
LARANGAN MENGENAI 'MAKAN' DARAH DALAM IMAMAT 17
Oleh: Baruch J. Schwartz
Sekarang ini pada umumnya diakui bahwa prose, puisi, nubuatan dan doa dalam Alkitab memerlukan pembacaan yang teliti sebagai karya sastra. Ada dua alasan utama untuk bisa mempercayai bahwa hukum dalam Alkitab adalah karya seni sastra. pertama, atas pengujian hukum-hukum dalam totah menampilkan banyak ciri-ciri sastra yang tidak legal: rumusan-rumusan yang beragam, konteks yang asing, pilihan kata yang luar biasa dan peristilahan dengan kuasa semantis yang jauh lebih besar dari permintaan keras ketepatan yang legal, klausa-klausa yang eksplanatoris dan motivasional dari semua tipe, pengulangan dan secara legal penghilangan yang tidak logis, himbauan yang terjalin dalam serat pernyataan legal, dan banyak lagi.
1.
Dalam pasal 17 Allah memerintahkan Musa untuk mengirimkan kepada Harun dan anak-anaknya, dan kepada segenap komunitas Israel, lima pernyataan, yang berisi lima hukum dan merupakan lima paragraf yang mana terdiri badan pasal itu. Ini bukan hukum-hukum apodiktik, bukan juga hukum-hukum kasuistik dalam arti konvensional. Mereka adalah deklarasi; Tujuan mereka adalah untuk mengumumkan apa yang akan terjadi jika pelanggaran tertentu dilakukan atau perintah tertentu tidak dipatuhi.
Kesimpulan: Semua kelima paragraf itu berkenaan dengan cara yang sah dan benar untuk membuang darah binatang yang boleh dimakan. Dua yang pertama berbicara tentang binatang kurban, yang menurut pandangan pasal ini harus dikurbankan, dan dua yang terakhir berbicara tentang binatang yang, meskipun boleh dimakan tidak boleh dikurbankan. Pada pusatnya, di antara dua yang pertama dan terakhir ada aksioma di atas mana keempat itu tergantung: bahwa ambil bagian dari darah dilarang. Dua yang pertama membawa kepada aksioma ini dan menyediakan rasionalnya; Dua yang terakhir berasal dari aksioma ini dan melaksanakannya.
2.
A. Larangan ini terjadi di luar pasal ini dalam dua tempat lain dalam kodeks Imam (sumber P): Im. 3:17 dan 7:26-27. Dalam kasus-kasus ini tujuannya tercakup: tidak hanya darah binatang kurban, tetapi darah mana pun dan apa pun.
Jika, sebagaimana kita telah lihat, ayat 10-12 terdiri dari larangan secara keseluruhan, dua paragraf berikut adalah sub-kasus spesifik, ada nampak penghilangan yang tidak logis. Paragraf pertama berbicara tentang semua darah, yang kedua berbicara tentang darah binatang buruan, dan yang ketiga tentang daging bangkai. Apa yang hilang adalah sebuah paragraf terpisah yang dengan tegas melarang darah binatang kurban! Tempat untuk paragraf demikian pastinya setelah ayat 12 dan sebelum ayat 13. Aturan yang umum, tiga kelas binatang yang diijinkan, 1) kurban; 2) buruan; 3) bangkai. Struktur ini walau bagaimanapun dikesampingkan karena alasan untuk penglarangan itu. karena rasional di belakang aturan umum, alasan bahwa darah dilarang, adalah tidak lain daripada pemakaian darah kurban, kasus pertama ini, kasus darah binatang kurban, digabung dengan aturan umum. Dengan kata lain, karena rasionale yang segera mengikuti penglarangan umum berbicara langsung tentang kasus binatang kurban, pendengar akan segera berpikir tentang kasus ini ketika mendengar ayat 11 dan satu paragraf tambahan yang dibaktikan kepadanya akan menjadi berlebihan.
B. Sekarang kita tiba pada rasionale itu sendiri, seksi motivasional dalam ayat 11-12. dalam seksi ini Allah berbicara tentang anak-anak Israel, sebagai orang ketiga, kepada Musa, dan ada alasan baik untuk percaya bahwa seksi seluruhnya ini, seperti ayat 5-7 di atas dan ayat 14 di bawah, tidak termasuk dalam apa yang diperintahkan kepada Musa untuk dikatakan kepada orang-orang Israel tetapi lebih dimaksudkan bagi telinganya sendiri saja.
C. Motif aktual dari hukum itu dengan demikian terkandung dalam ayat 11; Apa yang mengikuti dalam ayat 12 adalah bagian kutipan sendiri yang mengulangi hukum dalam ayat 10. Motif itu ada dalam tiga klausa: 11aa, 11ab dan 11b. Dua yang pertama meskipun dihubungkan dengan waw, nampak secara keseluruhan sebagai alasan-alasan terpisah. Pada kenyataannya, kebanyakan kritikus menganggap mereka tidak berhubungan, dan menempatkan mereka pada masa dan pengarang yang berbeda. Yang pertama muncul pada masa yang lebih duluan, sedangkan kedua lebih kemudiannya. Namun pengarang pasal ini telah menunjukkan dengan jelas bahwa ia melihat mereka sebagai suatu entitas yang tunggal, karena, tambahan untuk waw, ia telah membuat awalan kata ganti pada kata nattaw yang tidak lain mengacu kepada kata haddam pada klausa pertama. Hal ini adalah masalah sintaksis.
D. Dua klausa pertama harus diperlakukan sebagaimana mestinya.
Klausa 1: nefesy habbasar badam haya'. Tidak ada keraguan bahwa nefesy di sini berarti kehidupan, vitalitas, daya hidup. Apa yang patut dicatat adalah bahwa nefesy dipakai untuk menunjukkan "kehidupan" khususnya dalam kaus-kasus ketika kehilangan kehidupan, atau penyelamatan seseorang dari kehilangan itu, yang dibicarakan khususnya kata itu muncul dalam hubungannya dengan darah (dam), sementara dalam konteks lain kata untuk kehidupan adalah ruakh.
Klausa 2: Ungkapan natan dam al hamizbeakh, 'menempatkan darah pada mezbah', adalah cukup umum. Sebenarnya ada sekelompok ekspresi yang dipakai untuk menunjukkan penempatan darah di atas mezbah: tergantung pada apa yang tengah dilakukan dengna darah itu secara persis, kata kerja bisa jadi syafakh, zaraq, hazah, atau yatsaq, tetapi semua ini termasuk dalam ungkapan umum 'natan dam al hamizbeakh'.
E. Kita sampai pada pertanyaan apa yang manusia perbuat sehingga menimbulkan kesalahan ini yang untuknya ia harus memalsukan hidupnya dan untuk mana oleh konsesi ilahi, ia bisa membayar tebusan dan menebus kehidupan. Milgrom dan Levine merumuskan bahwa setiap kali manusia membuat persembahan kurban ia melakukan suatu kejahatan yang besar, dan harus menebusnya segera dengan perantara darah. Menurut Milgrom dosa yang terlibat adalah dosa membunuh binatang itu sendiri, pembunuhan yang dibicarakan dalam ayat 4.
F. Alasan kenapa darah dilarang adalah tabiatnya (sebab ia adalah tempat duduk kehidupan, tidaklah layak memakannya), atau kepemilikannya - ia milik Allah, seperti lemak binatang. Di sini alasannya bukanlah tabiat darah melainkan perannya. Karena kamu memberikannya kepada-Ku sebagai ganti hidupmu, Allah berfirman, maka tidak boleh dimakan.
G. Sekarang jelas bahwa darah satu-satunya yang ditempatkan di mezbah adalah darah binatang kurban. Maka satu-satunya darah yang berfungsi sebagai tebusan bagi kehidupan manusia adalah darah binatang kurban.
Di sini juga pemberi hukum belum menemukan suatu hukum baru tetapi memberikan penafsiran baru kepada yang lama, sebagaimana ia lakukan dalam ayat 11. Sesungguhnya seluruh seksi itu secara praktik tidak diimpor secara legal. Melainkan, ia dirancang untuk menjelajah arti dan beberapa dari percabangan larangan makan darah.
Secara ringkas, kita boleh mengulang apa yang ditawarkan kepada kita oleh macam..... hukum imamat ini. Pertama, ia menyerahkan secara tekstual kesimpulan yang berdasar mengenai arti kata-kata, frase-frase dan ungkapan-ungkapan, maupun mengenai substansi hukum-hukum dan ritual sendiri --- apa yang sesungguhnya mereka perintahkan dan kenapa. Kedua, dan ini adalah daya dorong/motivasional, ia mencoba menerangkan bagaimana semuanya dikatakan, bukan hanya dalam hal-hal umum, kritik-bentuk tetapi dalam setiap detail tekstual yang spesifik. Ketiga, kita disediakan dengan selayang pandang yang lebih baik dari apa yang pemberi hukum, yaitu pengarang teks-teks legal, lakukan --- ia lebih dari hanya melegislasikan... pada akhirnya, kita mampu mendapat di sini dan di sana suatu pandangan yang baru mengenai kode Imam, penyusunannya, dan hubungan tiap-tiap lapisan dengan satu sama lain.
HUKUM KURBAN DOSA DALAM 'MAZHAB KEKUDUSAN'
(BILANGAN 15:22-31)
Oleh: Israel Knohl
1.
Hukum kurban dosa dalam Bil. 15: 22-31 adalah salah satu dari topik yang lebih sulit dalam hukum Alkitab. Toeg mengulas beragam upaya dalam sastra para rabi dan dalam eksegesis rabinis dan karait untuk memecahkan pertentangan antara Bil. 15 dan teks paralelnya dalam Im. 4, dengan menghadirkan mereka sebagai hukumyang berurusan dengan dua kasus yang berbeda. karena kesulitan-kesulitan yang muncul dari penafsiran ini, Toeg berkesimpulan:
Nampaknya tidak ada cara untuk melepaskan diri dari kesimpulan para penafsir modern bahwa Bil 15 berkenaan dengan pelanggaran oleh kesalahan jemaah secara umum dan dengan kesalahan perorangan secara umum, seperti Im. 4, meskipun berbeda sedikit dalam pem-frase-an. Karena teks-teks ini berkenaan dengan kasus yang identik, maka mereka jelas bertentangan satu dengan yang lain. Pertanyaannya adalah apakah mungkin menemukan hubungan antara mereka.
Walaupun demikian realitas teks berbeda sama sekali. bahasa teks dalam Bil. 15 menyimpang sekali dari bahasa Im. 4. Ganti "jemaah harus mempersembahkan" dalam Im. 4, kita menemukan dalam Bil. 15 "segenap jemaah harus menghadirkan".
2.
Wellhausen, Kuenen dan banyak ahli lain telah mencatat penempatan yang aneh dari perintah untuk membangun mezbah emas dalam Kel. 30, yang nampak setelah kesimpulan dari semua perintah untuk membangun kemah suci dan semua perabotannya. mereka berkesimpulan bahwa ini adalah perintah yang relatif baru kemudian dan bahwa tingkat yang paling awal dari Taurat Imamat (P) hanya mengenal satu mezbah, mezbah kurban bakaran.
Kita melihat bahwa teks tentang Hari Penahbisan dan Hari Penebusan (Im. 9 dan 16), di mana penebusan dengan kurban dosa kambing dan kurban bakaran lembu, termasuk stratum (tingkat) awal Torah Imam, sementara Im. 4, di mana penebusan untuk jemaah dengan lembu untuk kurban dosa, termasuk stratum berikutnya. Dalam menghubungkan teks ini dengan Mazhab Kekudusan, saya mengikuti Wellhausen dan Kuenen yang mengemukakan afinitas yang hebat antara Bil 15 dan Kode Kekudusan.
3.
Nampaknya penggantian binatang kurban satu dengan binatang kurban lain dalam menebus pelanggaran oleh kesalahan jemaah, adalah petunjuk ketidaksetujuan yang mendalam dalam pemahaman hakikat ritual penebusan dan metode-metodenya. Dalam sumber-sumber Alkitab non-Imamat (non-Priester), kurban penebusan dan penenangan yang paling utama adalah kurban bakaran. Maka, contohnya, Samuel mempersembahkan anak domba yang belum disapih sebagai kurban bakaran yang utuh sebelum berseru kepada Allah selama puasa di Mizpa menjelang perang dengan orang-orang Filistin (1 Sam. 7:9).
Kualitas penenang daripada kurban bakaran ada pada keterbakarannya secara menyeluruh, dengan demikian memberiakan aroma yang harum yang berkuasa menenangkan dan menghentikan amarah TUHAN sebagaimana digambarkan dalam kisah air bah. Gambar Allah yang mendapat perkenanan dari aroma yang harum dan amarah-Nya reda sebagai akibatnya memiliki anthropomorfisme yang sangat kuat.
Bangkitnya mazhab Kekudusan, yang menurut saya adalah mazhab yang baru kemudian dari Torah Imam, merupakan titik balik yang utama dalam pemikiran imamat. Torah Imam ingin sama sekali memisahkan ritual Imamat dan praktik kultis populer dengan ekspresi antropomorfisme mereka. Mazhab Kekudusan pada lain sisi menerima tradisi kultis populer, menganggapnya penting dan berjuang mencampur tradisi ini dengan praktik ritual imam.
4.
Toeg menulis mengenai popok ini:
Imamat 19 menyediakan dasar ideologis yang mungkin untuk pendekatan ini. dalam pasal ini, pernyataan eksplanatoris yang identik 'Aku TUHAN, Allahmu' dipakai berulang kali untuk hukum-hukum yang berkenaan dengan pokok-pokok yang berbbeda dan dengan formulasi-formulasi yang berbeda ... Hanya pendekatan jenis ini, yang memandang masing-masing dan setiap hukum sebagai ekspresi yang setara dari kehendak Allah bisa membawa pewujudan sehingga pelanggaran yang disengaja terhadap hukum mana saja merupakan pemberontakan total terhadap Allah. sebab jika satu-satunya alasan untuk perintah-perintah kitu adalah ekspresi kehendak Alllah, lantas tidak ada alasan membedakan antara perintah kecil dan keras. dosa yang dasar dengan demikian adalah dosa 'hubris', penghinaan terhadap sorga/langit.
Ide Toeg sesuai dengan kesimpulan saya bahwa bahan itu bisa dihubungkan dengan Mazhab Kekudusan, karena Imamat 19 dikenal sebagai pasal sentral dalam tulisan-tulisan yang dipegang mazhab ini.
Masalah utama bukanlah bahwa pelanggaran yang disengaja menciptakan ketidaksucian, melainkan bahwa ia menunjukkan pemberontakan terhadap Allah yang memerintah yang mana alasan untuk-Nya memberi hukum adalah bahwa "Aku, TUHAN". Pandangan ini diungkapkan dalam Bilangan 15:30-31. unsur positif dalam hubungan personal antara alllah yang memerintahkan dan Israel yang diperintahkan ditekankan dalam nats mengenai tsitsat yang mengakhiri pasal itu. Dalam nats ini, yang membawa jejak yang jelas dari Mazhab Kekudusan kita baca:
Maksudnya supaya kamu mengingat dan melakukan segala perintah-Ku dan menjadi kudus bagi Allahmu. Akulah TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya Aku menjadi Allah bagimu; Akulah TUHAN, Allahmu. (Bilangan 15:40-41)
Oleh: Gary Anderson
Adalah suatu kebenaran yang tidak bisa dipungkiri dalam kebanyakan buku pegangan tentang ritual dan kehidupan kultis dalam Alkitab mengatakan bahwa doa dan persembahan adalah kegiatan yang berkoordinasi. ini paling jelas dari pembukaan kitab pertama Mishna:
Sejak kapan di petang hari Shema boleh diucapkan? Sejak waktu para imam masuk ke dalam Bait Suci untuk memakan persembahan (kurban) sampai akhir bagian pertama petang itu (Ber. 1. 1).
Nats ini sering disebut sebagai petunjuk bagaimana doa telah menggantikan kurban persembahan dalam kesalehan para rabi, motivasi-motivasi untuk tindakan demikian yang dimengerti berakar dalam suatu respon terhadap kehancuran bait Allah pada tahun 70 M. Namun persamaan antara doa dan persembahan bukanlah asli dari situasi pasca tahun itu.
1.
Saya hendak melihat satu bentuk doa doa pujian, sebagai suatu komponen yang penting daripada suatu rubrik rabinis. Humbert berupaya menjelaskan bagaimana istilah sukacita dalam Alkitab (syimkha) berfungsi dalam konteks kultis. dalam studinya Humbert mencatat hubungna yang erat antara sukacita dengan nyanyian dalam Mzm. Sedangkan Ulangan menghubungkan sukacita dengan pesta kurban, pemazmur lebih menekankah segi pujian. Asosiasi ini juga jelas dalam teks-teks prosa yang sering berbicara tentang sukacita. Contoh: Ketika Salomo diangkat sebagai raja, Adonia dan teman-temannya mendengar keributan besar. Ketika Adonia mencari tahu sebabnya, dia diberitahukan bahwa ketika Salomo berarak ke Yerusalem, ada begitu besar sukacita sorak sorai (1 Raj. 1:45). Dalam Nehemia 12:43 dinyatakan bahwa sorak sorai Yerusalem bisa didengar dari jauh.
Analisis Humbert perihal peran nyanyian pujian dalam Mzm patut diperhatikan dalam banyak hal. Ia menghargai arti ritual nyata yang tersirat di dalamnya. Dalam konteks ini, pujian sukacita lebih dari sekedar perasaan spontan, ia adalah suatu ritual yang sangat diperintahkan oleh keadaan-keadaan itu....dan dibebankan kepada semua dengan paksaan aksi sakral.
Suatu cara yang lebih baik untuk menangkap peran pujian sukacita dalam Mzm bisa diperoleh dengan memperhatikan studi-studi baru-baru ini tentang peran pujian pada umumnya. Sedangkan kepentingan utama Humbert adalah mempertentangkan sukacita orang-orang Kanaan dengan orang Israel (sukacita Kanaan adalah sukacita yang cabul-pestapora, teriakan-teriakan kultis, sementara sukacita Israel bersifat refleksitif dan pujian yang saleh).
Pemahaman pujian sebagai aktivitas yang bukan sikap semata-mata paling baik dipahami ketika kultis Sitz im Leben dimengerti. Sebagaimana ditunjukkan oleh Westermann dan Kugel, pada tingkat yang paling dasar, pujian dan kurban adalah dua kegiatan yang sejajar.
Peran kultis pujian dihargai oleh Gunkel dan Begrich. Mereka memperhatikan bahwa Mzm ucapan syukur menunjukkan suatu kesamaan yang mencolok dengan monumen epigrafis pujian yang ditemukan dalam atau dekat kuil-kuil di seluruh Timur Tengah kuno. Karya mereka telah menerima penegasan yang dramatis pada generasi terakhir. Pada tulisan tugu Bir Hadad, patung itu sendiri mewakili respons terima kasih Bir Hadad kepada dewanya. Mzm Alkitab jelas beda dalam hal bahwa respons kepada doa yang terjawab adalah pujian yang paling banyak dipakai.
Tidaklah cukup untuk dengan begitu saja menggambarkan pujian sebagai yang mempunyai sifat kultis yang penting, sejajar dalam banyak hal dengan kurban sendiri.
C. Westermann membedakan pujian menjadi dua macam: deklaratif dan deskriptif. Pujian dekralatif adalah pujian yang diarahkan kepada apa yang Allah telah perbuat. Fungsinya adalah menggambarkan siapakah Allah itu dulu dan sekarang (dengan penuh harapan). Pada sisi lain pujian deskriptif tertarik pada yang di sini dan sekarang. bahwa yang baru saja Allah perbuat adalah apa yang menjamin perhatian pribadi si pemazmur. sebagai suatu contoh: Westermann menunjuk kepada tipe-tipe pujian yang ada dalam Yes. 6:3 (Sanctus) dan Kel. 15 dan Hak. 5. Dua terakhir adalah deklaratif, yang pertama adalah deskriptif.
2.
Dalam bahasa Ibrani dan bahasa Semit lain istilah sukacita bukanlah hanya istilah untuk kebahagiaan emosional umum, melainkan berkonotasi kesenangan khusus yang dihubungkan dengan pengamatan ritual-ritual spesifik. Secara khusus kesenangan yang adalah pengalaman yang paling khas dari sukacita adalah kesenangan yang bertentangan secara tipologis dengan dukacita (berkabung).
Sebagaimana pembaca Mazmur tahu keadaan peratap adalah sangat dekat sejajar dengan keadaan si pekabung. Mereka mengalami aksi ritual yang sama macamnya. Keduanya sama-sama merobek pakaian mereka, meratap dan berpuasa. Baik peratap dan pekabung mengenali diri mereka dengan orang mati.
Atas pelepasan, pemazmur sering langsung ke Bait Allah untuk memenuhi ikrar kurban dan pujian. Pernyataan publik dan sukacita atas pembebasan adalah suatu bagian yang terpadu dari proses ritual.
Secara ringkas bisa saya katakan bahwa sebagaimana kehidupan dialami dalam kultus sebagaimana ada di hadapan hadirat Allah dalam bait surgawi-Nya, demikian pula kematian dialami dalam kultus sebagaimana diputuskan dari hadirat di luar bait Allah. Baik turun ke Sheol maupun naik ke bait Allah memiliki unsur ritual. Momen ketidakhadiran Allah sering digambarkan sebagai suatu perjumpaan dengan maut dan dengan demikian pemazmur sering menggambarkannya sebagai turun ke perut Sheol.
LARANGAN MENGENAI 'MAKAN' DARAH DALAM IMAMAT 17
Oleh: Baruch J. Schwartz
Sekarang ini pada umumnya diakui bahwa prose, puisi, nubuatan dan doa dalam Alkitab memerlukan pembacaan yang teliti sebagai karya sastra. Ada dua alasan utama untuk bisa mempercayai bahwa hukum dalam Alkitab adalah karya seni sastra. pertama, atas pengujian hukum-hukum dalam totah menampilkan banyak ciri-ciri sastra yang tidak legal: rumusan-rumusan yang beragam, konteks yang asing, pilihan kata yang luar biasa dan peristilahan dengan kuasa semantis yang jauh lebih besar dari permintaan keras ketepatan yang legal, klausa-klausa yang eksplanatoris dan motivasional dari semua tipe, pengulangan dan secara legal penghilangan yang tidak logis, himbauan yang terjalin dalam serat pernyataan legal, dan banyak lagi.
1.
Dalam pasal 17 Allah memerintahkan Musa untuk mengirimkan kepada Harun dan anak-anaknya, dan kepada segenap komunitas Israel, lima pernyataan, yang berisi lima hukum dan merupakan lima paragraf yang mana terdiri badan pasal itu. Ini bukan hukum-hukum apodiktik, bukan juga hukum-hukum kasuistik dalam arti konvensional. Mereka adalah deklarasi; Tujuan mereka adalah untuk mengumumkan apa yang akan terjadi jika pelanggaran tertentu dilakukan atau perintah tertentu tidak dipatuhi.
Kesimpulan: Semua kelima paragraf itu berkenaan dengan cara yang sah dan benar untuk membuang darah binatang yang boleh dimakan. Dua yang pertama berbicara tentang binatang kurban, yang menurut pandangan pasal ini harus dikurbankan, dan dua yang terakhir berbicara tentang binatang yang, meskipun boleh dimakan tidak boleh dikurbankan. Pada pusatnya, di antara dua yang pertama dan terakhir ada aksioma di atas mana keempat itu tergantung: bahwa ambil bagian dari darah dilarang. Dua yang pertama membawa kepada aksioma ini dan menyediakan rasionalnya; Dua yang terakhir berasal dari aksioma ini dan melaksanakannya.
2.
A. Larangan ini terjadi di luar pasal ini dalam dua tempat lain dalam kodeks Imam (sumber P): Im. 3:17 dan 7:26-27. Dalam kasus-kasus ini tujuannya tercakup: tidak hanya darah binatang kurban, tetapi darah mana pun dan apa pun.
Jika, sebagaimana kita telah lihat, ayat 10-12 terdiri dari larangan secara keseluruhan, dua paragraf berikut adalah sub-kasus spesifik, ada nampak penghilangan yang tidak logis. Paragraf pertama berbicara tentang semua darah, yang kedua berbicara tentang darah binatang buruan, dan yang ketiga tentang daging bangkai. Apa yang hilang adalah sebuah paragraf terpisah yang dengan tegas melarang darah binatang kurban! Tempat untuk paragraf demikian pastinya setelah ayat 12 dan sebelum ayat 13. Aturan yang umum, tiga kelas binatang yang diijinkan, 1) kurban; 2) buruan; 3) bangkai. Struktur ini walau bagaimanapun dikesampingkan karena alasan untuk penglarangan itu. karena rasional di belakang aturan umum, alasan bahwa darah dilarang, adalah tidak lain daripada pemakaian darah kurban, kasus pertama ini, kasus darah binatang kurban, digabung dengan aturan umum. Dengan kata lain, karena rasionale yang segera mengikuti penglarangan umum berbicara langsung tentang kasus binatang kurban, pendengar akan segera berpikir tentang kasus ini ketika mendengar ayat 11 dan satu paragraf tambahan yang dibaktikan kepadanya akan menjadi berlebihan.
B. Sekarang kita tiba pada rasionale itu sendiri, seksi motivasional dalam ayat 11-12. dalam seksi ini Allah berbicara tentang anak-anak Israel, sebagai orang ketiga, kepada Musa, dan ada alasan baik untuk percaya bahwa seksi seluruhnya ini, seperti ayat 5-7 di atas dan ayat 14 di bawah, tidak termasuk dalam apa yang diperintahkan kepada Musa untuk dikatakan kepada orang-orang Israel tetapi lebih dimaksudkan bagi telinganya sendiri saja.
C. Motif aktual dari hukum itu dengan demikian terkandung dalam ayat 11; Apa yang mengikuti dalam ayat 12 adalah bagian kutipan sendiri yang mengulangi hukum dalam ayat 10. Motif itu ada dalam tiga klausa: 11aa, 11ab dan 11b. Dua yang pertama meskipun dihubungkan dengan waw, nampak secara keseluruhan sebagai alasan-alasan terpisah. Pada kenyataannya, kebanyakan kritikus menganggap mereka tidak berhubungan, dan menempatkan mereka pada masa dan pengarang yang berbeda. Yang pertama muncul pada masa yang lebih duluan, sedangkan kedua lebih kemudiannya. Namun pengarang pasal ini telah menunjukkan dengan jelas bahwa ia melihat mereka sebagai suatu entitas yang tunggal, karena, tambahan untuk waw, ia telah membuat awalan kata ganti pada kata nattaw yang tidak lain mengacu kepada kata haddam pada klausa pertama. Hal ini adalah masalah sintaksis.
D. Dua klausa pertama harus diperlakukan sebagaimana mestinya.
Klausa 1: nefesy habbasar badam haya'. Tidak ada keraguan bahwa nefesy di sini berarti kehidupan, vitalitas, daya hidup. Apa yang patut dicatat adalah bahwa nefesy dipakai untuk menunjukkan "kehidupan" khususnya dalam kaus-kasus ketika kehilangan kehidupan, atau penyelamatan seseorang dari kehilangan itu, yang dibicarakan khususnya kata itu muncul dalam hubungannya dengan darah (dam), sementara dalam konteks lain kata untuk kehidupan adalah ruakh.
Klausa 2: Ungkapan natan dam al hamizbeakh, 'menempatkan darah pada mezbah', adalah cukup umum. Sebenarnya ada sekelompok ekspresi yang dipakai untuk menunjukkan penempatan darah di atas mezbah: tergantung pada apa yang tengah dilakukan dengna darah itu secara persis, kata kerja bisa jadi syafakh, zaraq, hazah, atau yatsaq, tetapi semua ini termasuk dalam ungkapan umum 'natan dam al hamizbeakh'.
E. Kita sampai pada pertanyaan apa yang manusia perbuat sehingga menimbulkan kesalahan ini yang untuknya ia harus memalsukan hidupnya dan untuk mana oleh konsesi ilahi, ia bisa membayar tebusan dan menebus kehidupan. Milgrom dan Levine merumuskan bahwa setiap kali manusia membuat persembahan kurban ia melakukan suatu kejahatan yang besar, dan harus menebusnya segera dengan perantara darah. Menurut Milgrom dosa yang terlibat adalah dosa membunuh binatang itu sendiri, pembunuhan yang dibicarakan dalam ayat 4.
F. Alasan kenapa darah dilarang adalah tabiatnya (sebab ia adalah tempat duduk kehidupan, tidaklah layak memakannya), atau kepemilikannya - ia milik Allah, seperti lemak binatang. Di sini alasannya bukanlah tabiat darah melainkan perannya. Karena kamu memberikannya kepada-Ku sebagai ganti hidupmu, Allah berfirman, maka tidak boleh dimakan.
G. Sekarang jelas bahwa darah satu-satunya yang ditempatkan di mezbah adalah darah binatang kurban. Maka satu-satunya darah yang berfungsi sebagai tebusan bagi kehidupan manusia adalah darah binatang kurban.
Di sini juga pemberi hukum belum menemukan suatu hukum baru tetapi memberikan penafsiran baru kepada yang lama, sebagaimana ia lakukan dalam ayat 11. Sesungguhnya seluruh seksi itu secara praktik tidak diimpor secara legal. Melainkan, ia dirancang untuk menjelajah arti dan beberapa dari percabangan larangan makan darah.
Secara ringkas, kita boleh mengulang apa yang ditawarkan kepada kita oleh macam..... hukum imamat ini. Pertama, ia menyerahkan secara tekstual kesimpulan yang berdasar mengenai arti kata-kata, frase-frase dan ungkapan-ungkapan, maupun mengenai substansi hukum-hukum dan ritual sendiri --- apa yang sesungguhnya mereka perintahkan dan kenapa. Kedua, dan ini adalah daya dorong/motivasional, ia mencoba menerangkan bagaimana semuanya dikatakan, bukan hanya dalam hal-hal umum, kritik-bentuk tetapi dalam setiap detail tekstual yang spesifik. Ketiga, kita disediakan dengan selayang pandang yang lebih baik dari apa yang pemberi hukum, yaitu pengarang teks-teks legal, lakukan --- ia lebih dari hanya melegislasikan... pada akhirnya, kita mampu mendapat di sini dan di sana suatu pandangan yang baru mengenai kode Imam, penyusunannya, dan hubungan tiap-tiap lapisan dengan satu sama lain.
HUKUM KURBAN DOSA DALAM 'MAZHAB KEKUDUSAN'
(BILANGAN 15:22-31)
Oleh: Israel Knohl
1.
Hukum kurban dosa dalam Bil. 15: 22-31 adalah salah satu dari topik yang lebih sulit dalam hukum Alkitab. Toeg mengulas beragam upaya dalam sastra para rabi dan dalam eksegesis rabinis dan karait untuk memecahkan pertentangan antara Bil. 15 dan teks paralelnya dalam Im. 4, dengan menghadirkan mereka sebagai hukumyang berurusan dengan dua kasus yang berbeda. karena kesulitan-kesulitan yang muncul dari penafsiran ini, Toeg berkesimpulan:
Nampaknya tidak ada cara untuk melepaskan diri dari kesimpulan para penafsir modern bahwa Bil 15 berkenaan dengan pelanggaran oleh kesalahan jemaah secara umum dan dengan kesalahan perorangan secara umum, seperti Im. 4, meskipun berbeda sedikit dalam pem-frase-an. Karena teks-teks ini berkenaan dengan kasus yang identik, maka mereka jelas bertentangan satu dengan yang lain. Pertanyaannya adalah apakah mungkin menemukan hubungan antara mereka.
Walaupun demikian realitas teks berbeda sama sekali. bahasa teks dalam Bil. 15 menyimpang sekali dari bahasa Im. 4. Ganti "jemaah harus mempersembahkan" dalam Im. 4, kita menemukan dalam Bil. 15 "segenap jemaah harus menghadirkan".
2.
Wellhausen, Kuenen dan banyak ahli lain telah mencatat penempatan yang aneh dari perintah untuk membangun mezbah emas dalam Kel. 30, yang nampak setelah kesimpulan dari semua perintah untuk membangun kemah suci dan semua perabotannya. mereka berkesimpulan bahwa ini adalah perintah yang relatif baru kemudian dan bahwa tingkat yang paling awal dari Taurat Imamat (P) hanya mengenal satu mezbah, mezbah kurban bakaran.
Kita melihat bahwa teks tentang Hari Penahbisan dan Hari Penebusan (Im. 9 dan 16), di mana penebusan dengan kurban dosa kambing dan kurban bakaran lembu, termasuk stratum (tingkat) awal Torah Imam, sementara Im. 4, di mana penebusan untuk jemaah dengan lembu untuk kurban dosa, termasuk stratum berikutnya. Dalam menghubungkan teks ini dengan Mazhab Kekudusan, saya mengikuti Wellhausen dan Kuenen yang mengemukakan afinitas yang hebat antara Bil 15 dan Kode Kekudusan.
3.
Nampaknya penggantian binatang kurban satu dengan binatang kurban lain dalam menebus pelanggaran oleh kesalahan jemaah, adalah petunjuk ketidaksetujuan yang mendalam dalam pemahaman hakikat ritual penebusan dan metode-metodenya. Dalam sumber-sumber Alkitab non-Imamat (non-Priester), kurban penebusan dan penenangan yang paling utama adalah kurban bakaran. Maka, contohnya, Samuel mempersembahkan anak domba yang belum disapih sebagai kurban bakaran yang utuh sebelum berseru kepada Allah selama puasa di Mizpa menjelang perang dengan orang-orang Filistin (1 Sam. 7:9).
Kualitas penenang daripada kurban bakaran ada pada keterbakarannya secara menyeluruh, dengan demikian memberiakan aroma yang harum yang berkuasa menenangkan dan menghentikan amarah TUHAN sebagaimana digambarkan dalam kisah air bah. Gambar Allah yang mendapat perkenanan dari aroma yang harum dan amarah-Nya reda sebagai akibatnya memiliki anthropomorfisme yang sangat kuat.
Bangkitnya mazhab Kekudusan, yang menurut saya adalah mazhab yang baru kemudian dari Torah Imam, merupakan titik balik yang utama dalam pemikiran imamat. Torah Imam ingin sama sekali memisahkan ritual Imamat dan praktik kultis populer dengan ekspresi antropomorfisme mereka. Mazhab Kekudusan pada lain sisi menerima tradisi kultis populer, menganggapnya penting dan berjuang mencampur tradisi ini dengan praktik ritual imam.
4.
Toeg menulis mengenai popok ini:
Imamat 19 menyediakan dasar ideologis yang mungkin untuk pendekatan ini. dalam pasal ini, pernyataan eksplanatoris yang identik 'Aku TUHAN, Allahmu' dipakai berulang kali untuk hukum-hukum yang berkenaan dengan pokok-pokok yang berbbeda dan dengan formulasi-formulasi yang berbeda ... Hanya pendekatan jenis ini, yang memandang masing-masing dan setiap hukum sebagai ekspresi yang setara dari kehendak Allah bisa membawa pewujudan sehingga pelanggaran yang disengaja terhadap hukum mana saja merupakan pemberontakan total terhadap Allah. sebab jika satu-satunya alasan untuk perintah-perintah kitu adalah ekspresi kehendak Alllah, lantas tidak ada alasan membedakan antara perintah kecil dan keras. dosa yang dasar dengan demikian adalah dosa 'hubris', penghinaan terhadap sorga/langit.
Ide Toeg sesuai dengan kesimpulan saya bahwa bahan itu bisa dihubungkan dengan Mazhab Kekudusan, karena Imamat 19 dikenal sebagai pasal sentral dalam tulisan-tulisan yang dipegang mazhab ini.
Masalah utama bukanlah bahwa pelanggaran yang disengaja menciptakan ketidaksucian, melainkan bahwa ia menunjukkan pemberontakan terhadap Allah yang memerintah yang mana alasan untuk-Nya memberi hukum adalah bahwa "Aku, TUHAN". Pandangan ini diungkapkan dalam Bilangan 15:30-31. unsur positif dalam hubungan personal antara alllah yang memerintahkan dan Israel yang diperintahkan ditekankan dalam nats mengenai tsitsat yang mengakhiri pasal itu. Dalam nats ini, yang membawa jejak yang jelas dari Mazhab Kekudusan kita baca:
Maksudnya supaya kamu mengingat dan melakukan segala perintah-Ku dan menjadi kudus bagi Allahmu. Akulah TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya Aku menjadi Allah bagimu; Akulah TUHAN, Allahmu. (Bilangan 15:40-41)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar Anda terhadap artikel situs ini