Sabtu, 11 April 2009

HEAD AND HEART: The Story of the Clinical Pastoral Education Movement (CHARLES E. HALL)


Head and Heart memberikan pandangan ke dalam situasi dialektis dari para pendeta, imam, atau rabbi yang membutuhkan baik itu pengertian intelektual maupun emosional namun sering mengalami pertentangan antara kedua pengertian tersebut. Buku ini mengandung suatu kisah yang penting dari pelayanan pastoral dan pendidikan teologi pada abad ke-20 di mana konflik antara kepala dan hati diperhadapkan dan suatu resolusi yang kreatif pun ditawarkan.
Bagian 1
AWAL MULA
Bab 1: Para Pendiri
Perjalanan dimulai dalam bagian mula-mula abad ke-20 di Amerika, dengan mengakui bahwa ada suatu sejarah pelayanna pastoral sebelum 1900. Rohaniawan mendengarkan masalah-masalah para anggota jemaat, memberikan penghiburan, menyediakan arahan rohani, dan mendorong kepada pertobatan dan disiplin diri. Kandungan daripada pelayanan pastoral itu sangat beragam tergantung pada asumsi-asumsi teologis dari pendeta dan tradisi agamawinya yang khusus. Ada banyak pendeta yang peka dan sangat membantu tanggap. Walaupun demikian dibandingkan pelayanan pastoral di Amerika kemudiannya pada abad ke-20, pelayanan pastoral sebelum itu hanya semata memberikan nasihat. Intepretasi intelektual-teologis yang benar dri permasalahan manusia dan interpretasi dripada jalan keselamatan adalah sentral bagi pekerjaan pendeta.
Harry Emerson Fosdick, seorang pendeta yang terkemuka yang menjadi penting di gereja Riverside, New York, menerima pendidikannya sebelum memulai pelayanan pastoral klinis. Melalui pengalamannya ia mendapatkan bahwa “orang-orang dating ke gereja pad ahari Minggu dengan membawa berbagai macam kesulitan pribadi dan daging permasalahan adalah pewaris . . . Sebuah khotbah dimaksudkan memenuhi kebutuhan-kebutuhan demikian; harusnya khotbah adalah konseling pribadi pada skala besar kelompok.”
Pembaharuan dalam Pendidikan Teologi Amerika
Pendidikan Teologi Amerika dipolakan setelah pendidikan universitas Eropa klasik. Pendeta diharapkan menjadi sarjana. Persiapan untuk pelayanan meliputi studi seperti Alkitab, teologi sistematika, dogmatika, dan sejarah gereja. Kelas-kelas dalam penterapan praktik untuk berkhotbah, layanan pastoral, dan administrasi tidak ada dalam kurikulum seminari.
Perubahan-perubahan terjadi dalam pengertian psikologis dan dalam psikologi agama. William James, Sigmund Freud, dll berfokus pada pengalaman-pengalaman individual. James menekankan kesatuan pikiran dan tubuh dan percaya bahwa perasaan-perasaan cenderung lebih penting daripada pemikiran-pemikiran. Dia percaya pada suatu pendekatan empiric terhadap studi pengalaman agama dalam segala variasinya. Dewey adalah penggagas filsafat pendidikan baru di Amerika . Filsafat pendidikan ini menekankan sisi pengalaman dari pembelajaran dengan berfokus pada fakta bahwa cara berpikir sama pentingnya dengan apa yang dipikirkan. Pendekatan empiris metode kilmiah mulai mempengaruhi pendidikan, dan mahasiswa menjadi tidak puas dengan metode-metode lama.
Pendidik teologi terkemuka menjadi tidak puas dengan pembatasan-pembatasan pendidikan akademik klasik untuk pelayanan. W. L. Sperry, dekan Sekolah Teologi Universitas Harvard, dan Shailer Mathews, dekan Sekolah Teologi Universitas Chicago, merasa bahwa pendidikan teologi seharusnya meliputi lebih banyak pelatihan professional untuk pekerjaan dengan orang-orang yang memerlukan.
Kepribadian-Kepribadian Unik yang Mengawali Pendidikan Pastoral Klinis (PPK)
Pendidikan Pastoral Klinis adalah bagian dari sebuah gerakan pembaharuan yang lebih besar dalam pendidikan teologi. Meskipun William Keller, yang programnya kemudian dikembangkan oleh Joseph Fletcher menjadi Pendidikan Pastoral Klinis , membuat langkah pertama, Richard Cabot dan Anton Boisen adalah dua pendiri paling penting daripada Pendidikan Pastoral Klinis untuk mahasiswa teologi.
Richard Cabot adalah anggota keluarga Inggris Baru yang kaya dan terkemuka. Dia adalah seorang awam penganut paham Unitaris, seorang dokter yang mengadakan riset tentang penyakit jantung, seorang professor kedokteran di Harvard, dan pendiri pekerjaan social medical. Dia adalah pencipta konferensi patologis klinis yang terkenal. Artikelnya yang terkenal, “A Plea for a Clinical Year in the Course of Theological Study,” diterbitkan pada tahun 1925, member landasan bagi terbentuknya PPK.
Pandangan Cabot tentang apa yang ia sebut dengan teologi klinis adalah teologi yang dibawakan ke sisi pembaringan, kepada yang hancur, kepada yang tengah sekarat, kepada yang cacat, kepada yang tua dan kepada yang nakal. Penekanannya adalah pada penterapan teologi dalam suatu situasi klinis.
Anton Theophilus Boisen tepat disebut sebagai “Bapa Pendidikan Pastoral Klinis.” Boisen, seorang sarjana dan pribadi yang unik, mengalami banyak konflik emosional internal yang tidak hanya mewakili perjuangan pribadinya tapi juga mengungkapkan beberapa konflik cultural dasar. Ia menekankan perlunya mempelajari teologi dengan berupaya memahami pengalaman-pengalaman agamawi seseorang dan yang lain. Berbeda dengan Cabot yang lebih menekankan perlunya pengalaman yang terawasi dalam penterapan teologi dalam pelayanan pastoral.
Bab 2: Para Perintis
Sekelompok terpilih daripada mahasiswa-mahasiswa teologis yang ambil peran dalam pelatihan klinis di Rumah Sakit Negeri Worcester dengan Anton Boisen menjadi pemimpin-pemimpin atau perintis munculnya Pergerakan Pendidikan Pastoral Klinis.
Helen Flander Dunbar. Selama pelatihannya Dunbar berupaya memadukan minat-minatnya dalam sastra, filsafat, agama, kedokteran, dan psikiatri. Ia adlah perintis dalam kedokteran psikosomatis dan pendiri “Journal of Psychosomatic Medicine”. Dunbar yakin bahwa rohaniwan denga pelatihan teologi formal dan dengan pelatian klinis, memberikan sumbangsih kepada kepercayaan bahwa baik kedokteran maupun agama harus berfokus pada keseluruhan pribadi seseorang meskipun menggunakan pendekatan yang berbeda-beda.
Carrol Wise, seperti Dunbar ia membahas faktor-faktor emosional dalam penyakit fisik dan mental dan pentingnya simbol-simbol. Ia menekankan pengalaman agama dalam memahami teologi seseorang. Baginya, agama adalah faktor integrasi dalam kehidupan dan integrasi ini datang melalui arti simbol-simbol agama. “Simbol-simbol agama daripada berbagai perbuatan, objek, warna, dan bunyi terjalin menjadi ritual agama . . .simbol-simbol kata terjalin menjadi pengakuan dan kepercayaan.karena menjadi strukturalisasi pengalaman batin, pengakuan dan kepercayaan mengangkat makna kepada suatu tingkat sadar, bahkan walau semua komponen pengalaman tidak sadar.
Russel L. Dicks, agak bertentangan dengan perintis sebelumnya. Ia berfokus dalam penterapan teologi yang peka dan praktis dalam pelayanan pastoral dan dalam pengembangan keterampilan pastoral. Ia kurang berminat pada kepedulian Boisen yang utama yang menganggap arti yang etrdalam dari penyakit mental orang adalah pengalaman agama. Ia berfokus pada kesadaran yang benar dari mahasiswa teologi. Kekuatan daripada pendekatannya adalah kenyataan bahwa pendeta jemaat dapat dengan mudah mengerti dan memanfaatkan pengajarannya.
Austin Philip Guiles, dengan Seward Hiltner adalah jembatan antara mereka yang menekankan pendekatan penterapan intelektual/konseptual/praktis dengan mereka yang menekankan pendekatan penterapan pengalaman/emosional/ pandangan. Guiles menyarankan pasien di RS agar melakukan lebih banyak perbuatan baik bagi para mahasiswa daripada mahasiswa kepada pasien. Ia melihat pelayanan pastoral sebagi seni. Pelayanan pastoral tidak dapat diajarkan sebagi methode yang dapat berguna bagi tiap-tiap orang. Hiltner memandang pendidikan pastoral klinis sebagai bagian dari pendidikan teologi. Ia begitu menekankan teori dan metode. Ia memakai kasus-kasus nyata dan catatan-catatan percakapan pastoral untuk menggambarkan baik teologi maupun penterapan praktis.
Dari semua perintis di atas ada satu tujuan yang mendasari mereka yaitu keterpaduan antara aspek intelektual dan aspek emosional dari pelayanan pastoral.
Bab 3: Pengelompokan
Pada tahun 1930’an, peristiwa-peristiwa tertentu membawa kepada keberpihakan pada bagian orang-orang yang terlibat dalam pelatihan klinis. Hal ini memunculkan adanya kelompok Inggris Baru dan kelompok New York, dan kedua kelmpok tersebut berbeda prioritas. Kelompok Inggris Baru (New England) diangap cenderung bersifat konservatif dan kelompok New York dianggap agak radikal.
Kelompok Inggris Baru percaya bahwa pelatihan klinis harus tetap menjadi suatu bagian terpadu dripada pendidikan teologia dan bahwa sekolah-sekolah teologia harus mempunyai peran penting dalan pengungkapan organisasional manapun daripada pergerakan itu. Ini adalah suatu fokus yang teramat sangat berharga yang berhak untuk dilestarikan karena pendidikan klinis telah mulai sebagai pergerakan pembaharuan dalam pendidikan teologi. Ada persepsi bahwa Kelompok Inggris Baru memiliki pendekatan yang lebih pastoral dibandingkan kelompk New York. Fokus ini meliputi penekanan pada hubungan mahasiswa-pasien. Kelompok Inggris Baru menekankan peran pastoral (itulah yang mereka maksudkan dengan sumber daya agama tradisional dan teologi) dalam pendidikan agar dapat mengembangkan keterampilan pastoral pada rohaniwan jemaat. Kelompok ini menekankan hati dan kepala sampai kepada derajat tertentu. Mereka mencari teologi klinis suatu pemaduan antara yang konseptual dan yang praktis, antara yang intelektual dan yang emosional.
Kelompok New York di bawah kepemimpinan Dunbar dan Hiltner, percaya bahwa kebebasan untuk mengikuti pandangan bahwa kemampuan pastoral berasal dari pandangan psikodinamikhanya dapat dicapai melalui sebuah organisasi PPK yang independen. Menanggapi keprihatinan sekolah-sekolah teologi demi kualitas PPK mererka menekankan standard akreditasi pengawas dan program pelatihan. Mereka juga menghendaki Dewan Pendidikan Klinis (Council of Clinical Training) untuk mempertahankan kontrol administrasi program-program pelatihan klinis. Kelompok New York tidak merasa puas jika hanya menerapkan konsep-konsep teologis masa kini dalam pelayanan pastoral. Mereka percaya anda bisa memahami dengan sangat baik konsep-konsep teologis, memperbaiki beberapa konsep, dan mungkin mengembangkan pandangan teologis yang baru dri pembelajaran dokumen manusia yang hidup, diri mereka sendiri dan lain-lain
Bagian 2
Menjadi Sebuah Pergerakan
Bab 4: Perkumpulan
Meskipun adanya perpecahan dalam apa yang tengah menjadi Pergerakan Pendidikan Pastoral Klinis, orang-orang yang memegang posisi yang pusat tetap menjalin komunikasi satu sama lain. Ketika ia adalah seorang pegawai CCT (Dewan Pelatihan Klinis), 1935-1938, Seward Hiltner dari kelompok New York diundang bertemu perwakilan dari kelompok Inggris Baru untuk berbagi pemikiran.
Orang tidak dapat membantu kecuali melihat pertentangan pada perkumpulan nasional pertama antara standard dan filsafat Institusi Pelayanan Pastoral, CCT, dan Sekolah Sarjana Agama Terapan. Walaupun demikian ada semangat dalam berbagi dan mendengarkan pandangan-pandangan orang lain. Sikap peserta konferensi meliputi suatu hasrat untuk memandang perbedaan-perbedan d engan jelas, tetapi menekankan poin-poin persetujuan . sekolah-sekolah teologi tidak tertarik secara utama pada prioritas-prioritas yang berlainan dari kelompok-kelompok pelatihan klinis.
Bab 5: Upaya Komunikasi
Menjelang waktu diselenggarakannya konferensi nasional pertama pada tahun 1944, kelompok Inggris Baru dan kelompok New York tengah mengalami perubahan-perubahan yang banyak. Kelompok Inggris Baru mendapat infusi darah baru dengan adanya tokoh Rollin Fairbanks yang datang dari Michigan dan menjadi pendeta di RSU Massachusetts, dan Paul E. Johnson, seorang professor di Universitas Boston. Bersama dengan Philip Guiles dan David Hunter, mereka berdua adalah pemimpin dalam mengorganisasi ulang kelompok Inggris Baru dan memadukannya sebagai Institute Pelayanan Pastoral pada 28 Januari 1944.
Di New York, CCT, yang telah sebelumnya dipandu oleh suatu Badan Gubernur dan sebuah Komite Administratif yang terutama terdiri dari dokter-dokter terkemuka, pendeta, dan anggota dari bidang profesi lain diorganisasi ulang dan tanggung jawab dan wewenang ditaruh di tangan para pengawas pendeta. Pada Konferensi Nasional tahun 1944 telah ada diskusi mengenai perlunya suatu jurnal profesional untukkomunikasi yang lebih lanjut antara kelompok-kelompok pelatihan klinis dan sekolah-sekolah teologi. Dalam membahas tempat pelatihan klinis di dalam kurikulum sekolah teologi, Anton Boisen berkata: “Masalah utama . . . . .adalah teologi. Di mana metode empiris diterapkan dapat tergantung pada sekolah tertentu. Ia harus diterapkan di seluruh kurikulum. Namun sekarang ini . . . . pemakaian metode empiris di sekolah-sekolah teologi kentara oleh ketidakadaannya. Adalah buku-buku yang bertanggung jawab. Pentingnya situasi ini dapat diperhatikan ketika kita melihat tidakadanya jurnal yang melaporkan karya empiris dalam bidang agama.”.
Bab 6: Komite Dua Belas
Dekade tahun 1950an, ketika yayasan dibentuk untuk sebuah organisasi PPK yang bersatu , adalah masa dialog yang intensif di antara para pemimpin pendidikan pastoral klinis. Pemimpin-pemimpin kelompok PPK bertemu secara teratur untuk mendebatkan masalah-masalah dan merencanakan konferensi nasional yang akan menyediakan sebuah forum untuk semua orang yang terlibat dalam pendidikan pastoral klinis.
Sementara ada isu-isu politik intrik yang menambahkan minat manusia kepada kisah dalam dekade diskusi ini, ini semua akan disebutkan hanya dalam hal-hal bagaimana mereka membantu membentuk makna Pergerakan Pendidikan Pastoral Klinis.
Pertemuan yang diawali oleh Carl Plack, terdiri dari wakil-wakil ketiga kelompok pelatihan klinis dan dilaksanakan selama konferensi Boston tahun 1951 di ruang hotel Charles Bachmann. Carl Plack, Charles Bachmann, dan Frederick Norstad mewakili kelompok Lutheran. Institut diwakili oleh John Billinsky, James Burns, dan Paul Johnson, sementara Dewan diwakili oleh Frederick Kuether, Otis Rice, dan Ernest Bruder. Juga hadir Joseph Fletcher dari Sekolah Tinggi Agama Terapan dan David E. Roberts, seorang professor teologi. Sebagai hasil dari pertemuan itu dibentuklah Komite Dua Belas dengan tiga wakil dari masing-masing Dewan Penasehat Lutheran, Institut Pelayanan Pastoral, Dewan Pendidikan Klinis, dan Persekutuan Professor Seminari dalam bidang praktika. Hasil dari konferensi adalah berupa STANDARDS FOR CLINICAL PASTORAL EDUCATION pada tgl. 13 Oktober 1953.
Apa itu Pendidikan Pastoral Klinis?
Paul Johnson dari Institut Pelayanan Pastoral (IPC) mengajukan sebuah definisi yang menurutnya akan mencakup kepedulian semua orang. “Pendidikan klinis adalah suatu kesempatan penting untuk belajar melalui hubungan-hubungan antar-pribadi eksperimental dalam program teori dan praktik seperti rumah sakit atau institusi keras di mana suatu program yang terpadu dari teori dan praktik diawasi oleh seorang pembimbing klinis yang memenuhi syarat dengan kolaborasi daripada suatu staff antar-profesi. Kelompok tidak suka kata “eksperimental” dan dengan demikian dihapus dari pernyataan itu. Ada yang mau menambahkan “jemaat” kepada daftar laboratorium manusia tetapi yang lain menolak, dan lokasi pendidikan klinis menjadi suatu isu terpisah untuk diskusi berikutnya. Juga, ada yang menolak istilah “laboratorium manusia”.
Syarat-Syarat Pengawas Pendeta
· lulus dari sekolah teologi terakreditasi, 3 tahun gelar sarjana muda atau sederajat
· pentahbisan, sesudah masa pengalaman pastoral yang memadai
· paling tidak pendidikan pastoral klinis 1 tahun penuh, serta mengajar pastoral klinis dengan pengawasan
· keahlian profesional , termasuk studi sarjana, pengalaman masa lalu, dan kinerja yang telah ditampilkan.
· syarat-syarat pribadi diuji oleh komite akreditasi dalam wawancara tatap muka.
Berikutnya diterangkan Syarat-syarat untuk Pusat Pelatihan Klinis, Esensi-Esensi Minimum PPK, Program minimum yang disarankan untuk PPK, dan rekomendasi-rekomendasi spesial.
Bab 7: Tahun-Tahun Dialog
Standard bagi PPK yang dipersiapkan oleh Komite Dua Belas diterima. Dan sebuah pergerakan PPK yang bersatu nampaknya sudah dekat. Tidak ada yang menduga perwujudan impi itu akan ditunda selama hampir dua dekade. Persepakatan tentang kesamapentingannya intelek dan emosional dalam belajar pelayanan pastoral ternyata lebih sulit daripada yang dulu dibayangkan. Selama tahun 1950an Komite Dua Belas melanjutkan diskusi-diskusi mereka dan memberi dukungan bagi konferensi-konferensi nasional yang membawa semua persaturan orang-orang yang terlibat dalam pendidikan pastoral klinis.
Pada tahun 1951, CCT dan IPC mensponsori konferensi nasional kedua dengan Sekolah Teologi Univ. Boston sebagai tuan rumah. Program 1951 membawa tema, “Relevansi Pelatihan Pastoral Klinis”. Program ini meliputi suatu seksi mengenai tema umum, “Tanggung jawab Moral dalam Konseling dan Psikoterapi”, yang mempunyai seksi tentang masalah-masalah praktis seperti, “Menghadapi Konflik Teologis dalam Mahasiswa”, “Asal dan Perawatan Permusuhan dalam Mahasiswa”Hubungan Konseling Pengawas-Mahasiswa.” Konferensi Ketiga pada tgl 28 September-1 Oktober 1952, di Camp Nothover, Bound Brook, New Jersey. Wayne E. Oates memberikan pidaro utama tentang “Masalah-Masalah dalam Memadukan Pelatihan Pastoral Klinis dengan Pendidikan teologi”.
Bagian 3
Musyawarah Yang Dihasilkan
Bab 4: Belajar Hidup Bersama
Penyatuan Pergerakan PPK diwujudkan pada tahun 1960an. Setelah tahun-tahun dialog, selama mana jumlah program PPk menjamur dan pendidikan teologi dan gereja baru menerima pendidikan pastoral dan mau ambil bagian, maka terjadilah penyatuan pergerakan itu. Dengan adanya kelompok yang menekankan pendekatan konseptual dan pendekatan eksperiental pada kelompok lain, Pergerakan PPK lambat laun mengakui perlunya memadukan kedua pendekatan itu. Masyarakat Amerika mulai mejadi lebih sadar akan pentingnya praktik pstoral yang kompeten. Nilai pendidikan klinis dilihat dalam kependetaan militer selama dan sesudah Perang Dunia kedua. Alumni mahasiswa PPK yang melayani di jemaat menawarkan konseling untuk pernikahan dan masalah keluarga, dan krisis kehidupan lain. Seward Hiltner, Carrol Wise, Russel Dicks, Wayne Oates, Paul Johnson dll menerbitkan buku bagi para pendeta jemaat berdasarkan prinsip-prinsip PPK.
Bab 9: Pengadilan dan Pernikahan
Ketika Intitut dan Dewan belajar hidup bersama dalam menjalankan fungsi secara bersama dan berencana melakukan persatuan, proses itu sering dibandingkan dengan sebuah pengadilan dan pernikahan. Ketika kedua kelompok berjuang dengan berbagai isu, ada hubungan anta pribadi yang mengingatkan seseorang kepada pengadilan. Menggabungkan dua organisasi menjadi satu agaknya menyerupai pernikahan, sebab komitmen untuk berfungsi bersama dengan tujuan yang sama adalah kuat dan semangat untuk berhasil dalam persekutuan itu adalah besar.
Pergerakan PPK adalah kisah pengembangan metode pendidikan yang teologis-klinis untuk mempersiapkan orang-orang menjadi pendeta. Demikian juga, ia adalah kisah daripada suatu pembaharuan daripada pendidikan teologi.
Bagian 4
Kekuatan yang Baru dalam PPK
Bab 10: Persatuan dalam keberagaman
23 tahun setelah perkumpulan nasional pertama pada tahun 1944, keempat organisasi pendidikan pastoral klinis dipersatukan oleh pembentukan Asosiasi Pendidikan Pastoral Klinis. Ia memakan waktu 2 dekade untuk mengembangkan kesatuan roh dalam pergerakan PPK. Selama dekade itu tema-tema penting dan metode pendidikan yang perkenalkan oleh para pendidri dan perintis dikembangkan. Mendekati tahun 1967, setiap orang menerima berbagi tema dan metode, yang termasuk menerapkan teologi dalam pastoral, mengembangkan kecakapan pastoral, mempelajari teologi dari dokumen mansia hidup, memahami kehidupan emosional pendeta dan jemaat dan melayani dari dan ke kepala dan hati. Anggota-anggota organisasi yang baru bersifat plural dalam perspektif, menawarkan para mahasiswa teologi dan pendeta kesempatan untuk mencari teologi klinis dan pengungkapannya dalam pelayanan pastoral.
Ketika anggota-anggota Pergerakan PPK itu menerima semua aspek pergerakan dari awal perkembangannya, yang konseptual dan yang eksperiental, kepala dan hati dalam pendidikan untuk pelayanan dan menjadi satu organisasi kesatuan semangat memungkinkan adanya berbagai ekspressi dan penggunaan metode pendidikan PPK di banyak tempat.
Bab 7: Keterbukaan (Sikap Inklusif)
Dalam membentuk Asosiasi Pendidikan Pastoral Klinis (ACPE), keputusan dibuat mencakup semua partisipan Pergerakan PPK dalam organisasi. Tambahan kepada pengawas PPK, ada kelompok keanggotaan untuk sekolah-sekolah teologi, denominasi dan agensi-agensi mereka menyangkut pendidikan pelayanan, dewan-dewan gereja, Asosiasi Sekolah Teologi, Dewan Gereja Nasional, dan perorangan non-pengawas. Setiap orang yang tertarik dalam tujuan ACPEakan menjadi anggota, menerima jurnal Pelayanan Pastoral, Warta ACPE, dan mengikuti konferensi regional dan nasional. Anggota non-pengawas memberikan para pengawas PPK kesempatan untuk dialog dengan sekolah teologi dan perwakilan gereja, alumni mahasiswa PPK dan anggota-anggota dari bidang profesi lain.
Dalam bidang-bidang lain ACPE telah berupaya terus terbuka. Sejumlah mahasiswa dari kelompok konservatif, evangelis, dan kekudusan telah bergabung. Mahasiswa dari kelompok fundamental dan kharismatis, jika teologi mereka tidak dipertanyakan oleh pengawas denominasional arus utama ketika mereka memulai PPK, berjuang dengan kongruensi atau kurangnya antara pengalaman klinis dan teologi konseptual mereka.
Bab 12: Memperluas Cakrawala
Kesatuyan semangat, keterbukaan dan penerimaan keberagaman dalam pendidikan pastoral klinis memberikan dorongan kepada perluasan cakrawala wawasan. Dua arahan yang paing dramatis dalam ACPE adalah perkembangan internasional dan perkumpulan semua organisasi pelayanan pastoral, konseling pastoral, dan PPK, bersama dengan agensi gereja dalam Kongres Pelayanan dalam Latar-Latar Terspesialisasi (COMISS).
Setelah pembentukan ACPE, perkembangan baru menjaga para pemimpin dalam proses evaluasi yang tetap. Satu stude setelah yang lain terus dijalankan: komite jangka panjang; proyel pelayanan kesehatan; proyek riset perihal kerja pengawas PPK; sebuah komite studi khusus; kerjasama ACPE dan Asosiasi Sekolah Teologi (ATS), satu menekankan strategi pendidian dengan fokus utama pada pengawasan dan yang satunya pada kepedulian dengan satu sama lain dalam akreditasi.

RITUAL : SUATU KERANGKA METODOLOGIS

Disarikan dari bab I. buku: The Ideology of Ritual: Space, Time and Status in the Priestly Theology (Frank H. Gorman, Jr.).

Pendahuluan
Konteks sosio-kultural mengacu terutama kepada konteks arti yang memberi kebangkitan kepada dan tertanam dalam ritual-ritual. ia adalah suatu dunia arti yang memneri bentuk kepada dan dibentuk oleh ritual-ritual itu. Dengan demikian, ritual imamat harus dimengerti dalam konteks dunia arti yang bersifat operatif dalam dan melalui ritual.
Pandangan Dunia dan Ritual: Sebuah Struktur yang Dinamis
adalah jelas bahwa cara di mana seseorang memendang struktur dan operasi dunia memiliki hubungan yang rumit dengan keyakinan agama dan ritual. pandangan dunia adalah satu cara dengan mana masyarakat mencoba menstrukturkan dunia dan keberadaan manusia dalam dunia itu. Ia mencoba membawa ketertiban ke dalam dunia.
Pandangan dunia yang dipakai di sini adalah nosi yang dinamis dan dibuat dari tiga unsur yang terkait. pertama: ada badan pengetahuan yang berguna untuk mengenali dan mengelompokkan dunia 'di luar' atau dunia 'nyata'. kedua: ada seperangkat arti yang terkait dengan struktur dunia yang berguna melokasikan keberadan manusia dalam kosmos dan memberi arti bagi keberadaan manusia itu.
Praksis, berkaitan dengan ethos yang lebih umum, tidak selalu tercakup sebagai suatu unsur pandangan dunia. Geertz misalnya membedakan ethos, unsur-unsur moral dan evaluatif kebudayaan, dari 'pandangan dunia', aspek kognitif dan eksistensial budaya. Ia melihat mereka sebagai terkait erat, walaupun demikian, dalam kepercayaan agamawi dan ritual.
ritual
Seseorang mungkin memakai ritual dengan acuan kepada kelompok aksi sosial umum yang meliputi serangkaian luas perilaku. pemakaian demikian menekankan bahwa perilaku itu adalah perilaku sosial dan tidak membedakan sebagai contoh, antara ritual sakral dan ritual duniawi dalam definisi yang luas dan umum daripada ritual. ritual yang dipakai di sini mengacu kepada suatu penampilan yang kompleks daripada akta-akta simbolis, yang diberi ciri khas oleh formalitas, aturan, dan rangkaiannya, yang cenderung terjadi dalam situasi-situasi spesifik, dan memiliki peraturan tata sosial sebagai tujuan sentralnya.
Penampilan Yang Kompleks
Ritual selalu melibatkan aksi --- sesuatu yang dilakukan atau diperankan. meskipun penampilan selalu memainkan peran dalam diskusi ritual, ia telah menerima banyak perhatian dari para antropologis. Penampilan di sini mengacu ukan hanya kepada manifestasi bentuk, tetapi juga kepada arti proses daripada 'membawa kepada kegenapan' atau 'menyelesaikan'. dalam konteks 'drama sosial' ia mengacu pada pemeranan suatu proses dengan mana drama itu dibawa kepada resolusi. Bagi Turner, proses itu mulai ketika ada pelanggaran atau pemutusan dalam tatanan sosial yang sudah ditetapkan yang menghendaki resolusi.
Ide ritual sebagai penampilan walaupun demikianmengangkat isu riual sebagai bentuk komunikasi. ritual, demikian dipahami, menyiratkan adanya pengirim dan penerima ---mereka yang menampilkan ritual itu dan mereka yang kepadanya penampilan itu ditujukan. Satu kekhasan komunikasi ritual adalah bahwa si pengirim dan penerima sering adalah orang-orang yang sama.
Akta-akta Simbolis
Pembangun dasariah daripada penampilan ritual adalah simbol, sehingga aksi ritual selalu aksi simbolis. simbol di sini mengacu kepada obyek, aktivitas, gerakan, hubungan, peristiwa, isyarat, kesatuan ruang, atau kesatuan temporer apa pun yang berfungsi sebagai alat bagi suatu konsepsi dan/atau menghantarkan pesan yang bermakna sosial. Simbolik ritual mengambil artinya dari sistem budaya dalam mana manusia hidup. Budaya di sini dilihat sebagai sistem simbol-simbol berarti yang memberikan kerangka dalam mana umat menanggapi dan mengerti diri mereka, orang lain dan dunia.
Formalitas, Tatanan, dan Rangkaian
Aksi ritual dikarakterisasikan oleh formalitas, tatanan, dan rangkaian. Aksi ritual, sebagai kelompok aksi umum, merefleksikan suatu pola normatif. Sungguh, pemeranan perilaku yang terpola ada pada jantung ritual. Perilaku yang terpola itu adalah perilaku yang terformalisasi, atau perbuatan yang mempengaruhi perwujudan suatu bentuk. Bentuk sebagaimana dipakai di sini, lebih berarti dari rangkaian; Ia juga mengacu kepada mutu perbuatan-perbuatan yang diadakan dan gaya di mana perbuatan-perbuatan itu dilaksanakan.
Ditampilkan dalam Situasi yang Spesifik
Mengatakan bahwa penampilan ritual terjadi dalam situasi-situasi spesifik adalah mengakui hubungan yang integral antara konteks dan perbuatan. Ritual sebagai suatu kelompok perbuatan dimengerti sebagai perbuatan yang didatangkan oleh situasi-situasi yang khusus. Dua unsur yang mendasar daripada situasi budaya adalah waktu dan tempat.
Peraturan Tata Kemasyarakatan
Ritual adalah sarana mengatur, atau mengendalikan, struktur-struktur, proses-proses, dan hubungan kemasyarakatan. Ia melakukan ini dalam dua cara: pertama, ritual menyediakan suatu sarana untuk mempertahankan sistem sosio-budaya yang sudah ada. Dalam hal ini, akta ritual adalah bagian dari operasi kemasyarakatan yang teratur. Cara kedua di mana ritual berfungsi mengatur masyarakat muncul ketika tata normatif telah dilanggar. Dalam situasi ini, ritual menyediakan sarana untuk memulihkan tata masyarakat.
Masalah-Masalah dan Pragmatis
Satu masalah yang muncul adalah apakah seseorang bisa menafsirkan teks dengan memakai model-model dan metode analisis yang dikembangkan bersambungan dengan analisis masyarakat. Jika ini semua adalah metode analisis yang telah dikembangkan dan diterapkan 'di bidang itu', apakah mungkin menerapkannya kepada teks yang tidak menawarkan kesempatan bagi pengamatan aktual terhadap proses-proses sosial yang sedang dianalisis? Akankah data mengijinkan analisis yang memadai ketika sumber-sumber primer informasi adalah teks?
Unsur-Unsur Ritual
Ruang Ritual
Aksi ritual pada umumnya efektif dan bermakna hanya ketika ditampilkan dalam suatu latar ruang yang sesuai. Ruang ritual adalah tipe yang tertentu dan unik dari ruang sosial. Kategori spasial kunci dari ritual Imamat adalah kemah suci.
Waktu Ritual
Waktu juga adalah pertemuan sosial. Waktu sering dipandang dalam hal ukuran, tetapi juga dalam hal mutu atau ciri khasnya. Ada macam-macam waktu yang khas. Ritual membangun waktu yang sesuai untuk penampilan ritual spesifik.
Obyek Ritual
Dalam menganalisis obyek-obyek ritual dan bahan-bahannya adalah perlu untuk mencari arti dalam pemakaiannya. Apa yang disumbangkan oleh obyek-obyek atau bahan-bahan khusus ini bagi pelaksanaan ritual?
Peran-Peran Ritual
adalah penting untuk menanyakan siapa yang terlibat dalam pelaksanaan ritual dan peran apa atau peran-peran apa yang mereka mainkan dalam menyelesaikan ritual itu. Dalam hal apa suatu peran khusus berfungsi dalam pelaksanann ritual. Ada tiga kategori dasar peran ritual yang perlu dibedakan: 1) spesialis ritual, para imam; 2) orang yang situasinya membangkitkan ritual itu; 3) Orang atau orang-orang kepada mana ritual itu ditampilkan.
Aksi Ritual
Aksi adalah jantung ritual. Ritual menghasilkan pengaruhnya hanya dalam dan melalui penampilan dan pemeranan aksi-aksi tertentu.
Bunyi dan Bahasa Ritual
ada sangat sedikit petunjuk perkataan yang diberikan dalam teks, kebanyakan kasus-kasusnya sebagai deklarasi, oleh imam, dari keadaan ada yang dicapai oleh peserta ritual. Namun sesungguhnya, seseorang harus yakin bahwa imam-imam memimpikan kultus yang diam bagi orang-orang awam.
Apa yang dikomunikasikan
Diskusi tentang 'apa' yang dikomunikasikan oleh ritual akan berfokus pada siste ritual Imamat. Harus diingat bahwa teks ritual Imamat menghadirkan suatu sistem kepercayaan yang bagian-bagainnya terhubungan satu sama lain. Dengan demikian, sementara bagian-bagain itu boleh dipisahkan untuk tujuan-tujuan diskusi, ada koneksi-koneksi dan hubungan-hubungan antara mereka dalam operasi kultus. Ini berarti bahwa ketika sebuah ritual diperankan, ia mungkin menghasilkan efek dalam beberapa area yang saling berhubungan.
PUJIAN KEPADA ALLAH SEBAGAI PERISTIWA KULTIS

Oleh: Gary Anderson

Adalah suatu kebenaran yang tidak bisa dipungkiri dalam kebanyakan buku pegangan tentang ritual dan kehidupan kultis dalam Alkitab mengatakan bahwa doa dan persembahan adalah kegiatan yang berkoordinasi. ini paling jelas dari pembukaan kitab pertama Mishna:

Sejak kapan di petang hari Shema boleh diucapkan? Sejak waktu para imam masuk ke dalam Bait Suci untuk memakan persembahan (kurban) sampai akhir bagian pertama petang itu (Ber. 1. 1).

Nats ini sering disebut sebagai petunjuk bagaimana doa telah menggantikan kurban persembahan dalam kesalehan para rabi, motivasi-motivasi untuk tindakan demikian yang dimengerti berakar dalam suatu respon terhadap kehancuran bait Allah pada tahun 70 M. Namun persamaan antara doa dan persembahan bukanlah asli dari situasi pasca tahun itu.

1.

Saya hendak melihat satu bentuk doa doa pujian, sebagai suatu komponen yang penting daripada suatu rubrik rabinis. Humbert berupaya menjelaskan bagaimana istilah sukacita dalam Alkitab (syimkha) berfungsi dalam konteks kultis. dalam studinya Humbert mencatat hubungna yang erat antara sukacita dengan nyanyian dalam Mzm. Sedangkan Ulangan menghubungkan sukacita dengan pesta kurban, pemazmur lebih menekankah segi pujian. Asosiasi ini juga jelas dalam teks-teks prosa yang sering berbicara tentang sukacita. Contoh: Ketika Salomo diangkat sebagai raja, Adonia dan teman-temannya mendengar keributan besar. Ketika Adonia mencari tahu sebabnya, dia diberitahukan bahwa ketika Salomo berarak ke Yerusalem, ada begitu besar sukacita sorak sorai (1 Raj. 1:45). Dalam Nehemia 12:43 dinyatakan bahwa sorak sorai Yerusalem bisa didengar dari jauh.

Analisis Humbert perihal peran nyanyian pujian dalam Mzm patut diperhatikan dalam banyak hal. Ia menghargai arti ritual nyata yang tersirat di dalamnya. Dalam konteks ini, pujian sukacita lebih dari sekedar perasaan spontan, ia adalah suatu ritual yang sangat diperintahkan oleh keadaan-keadaan itu....dan dibebankan kepada semua dengan paksaan aksi sakral.

Suatu cara yang lebih baik untuk menangkap peran pujian sukacita dalam Mzm bisa diperoleh dengan memperhatikan studi-studi baru-baru ini tentang peran pujian pada umumnya. Sedangkan kepentingan utama Humbert adalah mempertentangkan sukacita orang-orang Kanaan dengan orang Israel (sukacita Kanaan adalah sukacita yang cabul-pestapora, teriakan-teriakan kultis, sementara sukacita Israel bersifat refleksitif dan pujian yang saleh).

Pemahaman pujian sebagai aktivitas yang bukan sikap semata-mata paling baik dipahami ketika kultis Sitz im Leben dimengerti. Sebagaimana ditunjukkan oleh Westermann dan Kugel, pada tingkat yang paling dasar, pujian dan kurban adalah dua kegiatan yang sejajar.

Peran kultis pujian dihargai oleh Gunkel dan Begrich. Mereka memperhatikan bahwa Mzm ucapan syukur menunjukkan suatu kesamaan yang mencolok dengan monumen epigrafis pujian yang ditemukan dalam atau dekat kuil-kuil di seluruh Timur Tengah kuno. Karya mereka telah menerima penegasan yang dramatis pada generasi terakhir. Pada tulisan tugu Bir Hadad, patung itu sendiri mewakili respons terima kasih Bir Hadad kepada dewanya. Mzm Alkitab jelas beda dalam hal bahwa respons kepada doa yang terjawab adalah pujian yang paling banyak dipakai.

Tidaklah cukup untuk dengan begitu saja menggambarkan pujian sebagai yang mempunyai sifat kultis yang penting, sejajar dalam banyak hal dengan kurban sendiri.

C. Westermann membedakan pujian menjadi dua macam: deklaratif dan deskriptif. Pujian dekralatif adalah pujian yang diarahkan kepada apa yang Allah telah perbuat. Fungsinya adalah menggambarkan siapakah Allah itu dulu dan sekarang (dengan penuh harapan). Pada sisi lain pujian deskriptif tertarik pada yang di sini dan sekarang. bahwa yang baru saja Allah perbuat adalah apa yang menjamin perhatian pribadi si pemazmur. sebagai suatu contoh: Westermann menunjuk kepada tipe-tipe pujian yang ada dalam Yes. 6:3 (Sanctus) dan Kel. 15 dan Hak. 5. Dua terakhir adalah deklaratif, yang pertama adalah deskriptif.

2.

Dalam bahasa Ibrani dan bahasa Semit lain istilah sukacita bukanlah hanya istilah untuk kebahagiaan emosional umum, melainkan berkonotasi kesenangan khusus yang dihubungkan dengan pengamatan ritual-ritual spesifik. Secara khusus kesenangan yang adalah pengalaman yang paling khas dari sukacita adalah kesenangan yang bertentangan secara tipologis dengan dukacita (berkabung).

Sebagaimana pembaca Mazmur tahu keadaan peratap adalah sangat dekat sejajar dengan keadaan si pekabung. Mereka mengalami aksi ritual yang sama macamnya. Keduanya sama-sama merobek pakaian mereka, meratap dan berpuasa. Baik peratap dan pekabung mengenali diri mereka dengan orang mati.

Atas pelepasan, pemazmur sering langsung ke Bait Allah untuk memenuhi ikrar kurban dan pujian. Pernyataan publik dan sukacita atas pembebasan adalah suatu bagian yang terpadu dari proses ritual.

Secara ringkas bisa saya katakan bahwa sebagaimana kehidupan dialami dalam kultus sebagaimana ada di hadapan hadirat Allah dalam bait surgawi-Nya, demikian pula kematian dialami dalam kultus sebagaimana diputuskan dari hadirat di luar bait Allah. Baik turun ke Sheol maupun naik ke bait Allah memiliki unsur ritual. Momen ketidakhadiran Allah sering digambarkan sebagai suatu perjumpaan dengan maut dan dengan demikian pemazmur sering menggambarkannya sebagai turun ke perut Sheol.

LARANGAN MENGENAI 'MAKAN' DARAH DALAM IMAMAT 17

Oleh: Baruch J. Schwartz

Sekarang ini pada umumnya diakui bahwa prose, puisi, nubuatan dan doa dalam Alkitab memerlukan pembacaan yang teliti sebagai karya sastra. Ada dua alasan utama untuk bisa mempercayai bahwa hukum dalam Alkitab adalah karya seni sastra. pertama, atas pengujian hukum-hukum dalam totah menampilkan banyak ciri-ciri sastra yang tidak legal: rumusan-rumusan yang beragam, konteks yang asing, pilihan kata yang luar biasa dan peristilahan dengan kuasa semantis yang jauh lebih besar dari permintaan keras ketepatan yang legal, klausa-klausa yang eksplanatoris dan motivasional dari semua tipe, pengulangan dan secara legal penghilangan yang tidak logis, himbauan yang terjalin dalam serat pernyataan legal, dan banyak lagi.

1.

Dalam pasal 17 Allah memerintahkan Musa untuk mengirimkan kepada Harun dan anak-anaknya, dan kepada segenap komunitas Israel, lima pernyataan, yang berisi lima hukum dan merupakan lima paragraf yang mana terdiri badan pasal itu. Ini bukan hukum-hukum apodiktik, bukan juga hukum-hukum kasuistik dalam arti konvensional. Mereka adalah deklarasi; Tujuan mereka adalah untuk mengumumkan apa yang akan terjadi jika pelanggaran tertentu dilakukan atau perintah tertentu tidak dipatuhi.

Kesimpulan: Semua kelima paragraf itu berkenaan dengan cara yang sah dan benar untuk membuang darah binatang yang boleh dimakan. Dua yang pertama berbicara tentang binatang kurban, yang menurut pandangan pasal ini harus dikurbankan, dan dua yang terakhir berbicara tentang binatang yang, meskipun boleh dimakan tidak boleh dikurbankan. Pada pusatnya, di antara dua yang pertama dan terakhir ada aksioma di atas mana keempat itu tergantung: bahwa ambil bagian dari darah dilarang. Dua yang pertama membawa kepada aksioma ini dan menyediakan rasionalnya; Dua yang terakhir berasal dari aksioma ini dan melaksanakannya.

2.

A. Larangan ini terjadi di luar pasal ini dalam dua tempat lain dalam kodeks Imam (sumber P): Im. 3:17 dan 7:26-27. Dalam kasus-kasus ini tujuannya tercakup: tidak hanya darah binatang kurban, tetapi darah mana pun dan apa pun.

Jika, sebagaimana kita telah lihat, ayat 10-12 terdiri dari larangan secara keseluruhan, dua paragraf berikut adalah sub-kasus spesifik, ada nampak penghilangan yang tidak logis. Paragraf pertama berbicara tentang semua darah, yang kedua berbicara tentang darah binatang buruan, dan yang ketiga tentang daging bangkai. Apa yang hilang adalah sebuah paragraf terpisah yang dengan tegas melarang darah binatang kurban! Tempat untuk paragraf demikian pastinya setelah ayat 12 dan sebelum ayat 13. Aturan yang umum, tiga kelas binatang yang diijinkan, 1) kurban; 2) buruan; 3) bangkai. Struktur ini walau bagaimanapun dikesampingkan karena alasan untuk penglarangan itu. karena rasional di belakang aturan umum, alasan bahwa darah dilarang, adalah tidak lain daripada pemakaian darah kurban, kasus pertama ini, kasus darah binatang kurban, digabung dengan aturan umum. Dengan kata lain, karena rasionale yang segera mengikuti penglarangan umum berbicara langsung tentang kasus binatang kurban, pendengar akan segera berpikir tentang kasus ini ketika mendengar ayat 11 dan satu paragraf tambahan yang dibaktikan kepadanya akan menjadi berlebihan.

B. Sekarang kita tiba pada rasionale itu sendiri, seksi motivasional dalam ayat 11-12. dalam seksi ini Allah berbicara tentang anak-anak Israel, sebagai orang ketiga, kepada Musa, dan ada alasan baik untuk percaya bahwa seksi seluruhnya ini, seperti ayat 5-7 di atas dan ayat 14 di bawah, tidak termasuk dalam apa yang diperintahkan kepada Musa untuk dikatakan kepada orang-orang Israel tetapi lebih dimaksudkan bagi telinganya sendiri saja.

C. Motif aktual dari hukum itu dengan demikian terkandung dalam ayat 11; Apa yang mengikuti dalam ayat 12 adalah bagian kutipan sendiri yang mengulangi hukum dalam ayat 10. Motif itu ada dalam tiga klausa: 11aa, 11ab dan 11b. Dua yang pertama meskipun dihubungkan dengan waw, nampak secara keseluruhan sebagai alasan-alasan terpisah. Pada kenyataannya, kebanyakan kritikus menganggap mereka tidak berhubungan, dan menempatkan mereka pada masa dan pengarang yang berbeda. Yang pertama muncul pada masa yang lebih duluan, sedangkan kedua lebih kemudiannya. Namun pengarang pasal ini telah menunjukkan dengan jelas bahwa ia melihat mereka sebagai suatu entitas yang tunggal, karena, tambahan untuk waw, ia telah membuat awalan kata ganti pada kata nattaw yang tidak lain mengacu kepada kata haddam pada klausa pertama. Hal ini adalah masalah sintaksis.

D. Dua klausa pertama harus diperlakukan sebagaimana mestinya.

Klausa 1: nefesy habbasar badam haya'. Tidak ada keraguan bahwa nefesy di sini berarti kehidupan, vitalitas, daya hidup. Apa yang patut dicatat adalah bahwa nefesy dipakai untuk menunjukkan "kehidupan" khususnya dalam kaus-kasus ketika kehilangan kehidupan, atau penyelamatan seseorang dari kehilangan itu, yang dibicarakan khususnya kata itu muncul dalam hubungannya dengan darah (dam), sementara dalam konteks lain kata untuk kehidupan adalah ruakh.

Klausa 2: Ungkapan natan dam al hamizbeakh, 'menempatkan darah pada mezbah', adalah cukup umum. Sebenarnya ada sekelompok ekspresi yang dipakai untuk menunjukkan penempatan darah di atas mezbah: tergantung pada apa yang tengah dilakukan dengna darah itu secara persis, kata kerja bisa jadi syafakh, zaraq, hazah, atau yatsaq, tetapi semua ini termasuk dalam ungkapan umum 'natan dam al hamizbeakh'.

E. Kita sampai pada pertanyaan apa yang manusia perbuat sehingga menimbulkan kesalahan ini yang untuknya ia harus memalsukan hidupnya dan untuk mana oleh konsesi ilahi, ia bisa membayar tebusan dan menebus kehidupan. Milgrom dan Levine merumuskan bahwa setiap kali manusia membuat persembahan kurban ia melakukan suatu kejahatan yang besar, dan harus menebusnya segera dengan perantara darah. Menurut Milgrom dosa yang terlibat adalah dosa membunuh binatang itu sendiri, pembunuhan yang dibicarakan dalam ayat 4.

F. Alasan kenapa darah dilarang adalah tabiatnya (sebab ia adalah tempat duduk kehidupan, tidaklah layak memakannya), atau kepemilikannya - ia milik Allah, seperti lemak binatang. Di sini alasannya bukanlah tabiat darah melainkan perannya. Karena kamu memberikannya kepada-Ku sebagai ganti hidupmu, Allah berfirman, maka tidak boleh dimakan.

G. Sekarang jelas bahwa darah satu-satunya yang ditempatkan di mezbah adalah darah binatang kurban. Maka satu-satunya darah yang berfungsi sebagai tebusan bagi kehidupan manusia adalah darah binatang kurban.

Di sini juga pemberi hukum belum menemukan suatu hukum baru tetapi memberikan penafsiran baru kepada yang lama, sebagaimana ia lakukan dalam ayat 11. Sesungguhnya seluruh seksi itu secara praktik tidak diimpor secara legal. Melainkan, ia dirancang untuk menjelajah arti dan beberapa dari percabangan larangan makan darah.

Secara ringkas, kita boleh mengulang apa yang ditawarkan kepada kita oleh macam..... hukum imamat ini. Pertama, ia menyerahkan secara tekstual kesimpulan yang berdasar mengenai arti kata-kata, frase-frase dan ungkapan-ungkapan, maupun mengenai substansi hukum-hukum dan ritual sendiri --- apa yang sesungguhnya mereka perintahkan dan kenapa. Kedua, dan ini adalah daya dorong/motivasional, ia mencoba menerangkan bagaimana semuanya dikatakan, bukan hanya dalam hal-hal umum, kritik-bentuk tetapi dalam setiap detail tekstual yang spesifik. Ketiga, kita disediakan dengan selayang pandang yang lebih baik dari apa yang pemberi hukum, yaitu pengarang teks-teks legal, lakukan --- ia lebih dari hanya melegislasikan... pada akhirnya, kita mampu mendapat di sini dan di sana suatu pandangan yang baru mengenai kode Imam, penyusunannya, dan hubungan tiap-tiap lapisan dengan satu sama lain.

HUKUM KURBAN DOSA DALAM 'MAZHAB KEKUDUSAN'

(BILANGAN 15:22-31)

Oleh: Israel Knohl

1.

Hukum kurban dosa dalam Bil. 15: 22-31 adalah salah satu dari topik yang lebih sulit dalam hukum Alkitab. Toeg mengulas beragam upaya dalam sastra para rabi dan dalam eksegesis rabinis dan karait untuk memecahkan pertentangan antara Bil. 15 dan teks paralelnya dalam Im. 4, dengan menghadirkan mereka sebagai hukumyang berurusan dengan dua kasus yang berbeda. karena kesulitan-kesulitan yang muncul dari penafsiran ini, Toeg berkesimpulan:

Nampaknya tidak ada cara untuk melepaskan diri dari kesimpulan para penafsir modern bahwa Bil 15 berkenaan dengan pelanggaran oleh kesalahan jemaah secara umum dan dengan kesalahan perorangan secara umum, seperti Im. 4, meskipun berbeda sedikit dalam pem-frase-an. Karena teks-teks ini berkenaan dengan kasus yang identik, maka mereka jelas bertentangan satu dengan yang lain. Pertanyaannya adalah apakah mungkin menemukan hubungan antara mereka.

Walaupun demikian realitas teks berbeda sama sekali. bahasa teks dalam Bil. 15 menyimpang sekali dari bahasa Im. 4. Ganti "jemaah harus mempersembahkan" dalam Im. 4, kita menemukan dalam Bil. 15 "segenap jemaah harus menghadirkan".

2.

Wellhausen, Kuenen dan banyak ahli lain telah mencatat penempatan yang aneh dari perintah untuk membangun mezbah emas dalam Kel. 30, yang nampak setelah kesimpulan dari semua perintah untuk membangun kemah suci dan semua perabotannya. mereka berkesimpulan bahwa ini adalah perintah yang relatif baru kemudian dan bahwa tingkat yang paling awal dari Taurat Imamat (P) hanya mengenal satu mezbah, mezbah kurban bakaran.

Kita melihat bahwa teks tentang Hari Penahbisan dan Hari Penebusan (Im. 9 dan 16), di mana penebusan dengan kurban dosa kambing dan kurban bakaran lembu, termasuk stratum (tingkat) awal Torah Imam, sementara Im. 4, di mana penebusan untuk jemaah dengan lembu untuk kurban dosa, termasuk stratum berikutnya. Dalam menghubungkan teks ini dengan Mazhab Kekudusan, saya mengikuti Wellhausen dan Kuenen yang mengemukakan afinitas yang hebat antara Bil 15 dan Kode Kekudusan.

3.

Nampaknya penggantian binatang kurban satu dengan binatang kurban lain dalam menebus pelanggaran oleh kesalahan jemaah, adalah petunjuk ketidaksetujuan yang mendalam dalam pemahaman hakikat ritual penebusan dan metode-metodenya. Dalam sumber-sumber Alkitab non-Imamat (non-Priester), kurban penebusan dan penenangan yang paling utama adalah kurban bakaran. Maka, contohnya, Samuel mempersembahkan anak domba yang belum disapih sebagai kurban bakaran yang utuh sebelum berseru kepada Allah selama puasa di Mizpa menjelang perang dengan orang-orang Filistin (1 Sam. 7:9).

Kualitas penenang daripada kurban bakaran ada pada keterbakarannya secara menyeluruh, dengan demikian memberiakan aroma yang harum yang berkuasa menenangkan dan menghentikan amarah TUHAN sebagaimana digambarkan dalam kisah air bah. Gambar Allah yang mendapat perkenanan dari aroma yang harum dan amarah-Nya reda sebagai akibatnya memiliki anthropomorfisme yang sangat kuat.

Bangkitnya mazhab Kekudusan, yang menurut saya adalah mazhab yang baru kemudian dari Torah Imam, merupakan titik balik yang utama dalam pemikiran imamat. Torah Imam ingin sama sekali memisahkan ritual Imamat dan praktik kultis populer dengan ekspresi antropomorfisme mereka. Mazhab Kekudusan pada lain sisi menerima tradisi kultis populer, menganggapnya penting dan berjuang mencampur tradisi ini dengan praktik ritual imam.

4.

Toeg menulis mengenai popok ini:

Imamat 19 menyediakan dasar ideologis yang mungkin untuk pendekatan ini. dalam pasal ini, pernyataan eksplanatoris yang identik 'Aku TUHAN, Allahmu' dipakai berulang kali untuk hukum-hukum yang berkenaan dengan pokok-pokok yang berbbeda dan dengan formulasi-formulasi yang berbeda ... Hanya pendekatan jenis ini, yang memandang masing-masing dan setiap hukum sebagai ekspresi yang setara dari kehendak Allah bisa membawa pewujudan sehingga pelanggaran yang disengaja terhadap hukum mana saja merupakan pemberontakan total terhadap Allah. sebab jika satu-satunya alasan untuk perintah-perintah kitu adalah ekspresi kehendak Alllah, lantas tidak ada alasan membedakan antara perintah kecil dan keras. dosa yang dasar dengan demikian adalah dosa 'hubris', penghinaan terhadap sorga/langit.

Ide Toeg sesuai dengan kesimpulan saya bahwa bahan itu bisa dihubungkan dengan Mazhab Kekudusan, karena Imamat 19 dikenal sebagai pasal sentral dalam tulisan-tulisan yang dipegang mazhab ini.

Masalah utama bukanlah bahwa pelanggaran yang disengaja menciptakan ketidaksucian, melainkan bahwa ia menunjukkan pemberontakan terhadap Allah yang memerintah yang mana alasan untuk-Nya memberi hukum adalah bahwa "Aku, TUHAN". Pandangan ini diungkapkan dalam Bilangan 15:30-31. unsur positif dalam hubungan personal antara alllah yang memerintahkan dan Israel yang diperintahkan ditekankan dalam nats mengenai tsitsat yang mengakhiri pasal itu. Dalam nats ini, yang membawa jejak yang jelas dari Mazhab Kekudusan kita baca:

Maksudnya supaya kamu mengingat dan melakukan segala perintah-Ku dan menjadi kudus bagi Allahmu. Akulah TUHAN, Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari tanah Mesir, supaya Aku menjadi Allah bagimu; Akulah TUHAN, Allahmu. (Bilangan 15:40-41)

Yesus Sebagai Allah: Pemakaian Theos dalam PB dalam acuan kepada Yesus (Murray J. Harris)


1. Latar belakang penggunaan theos dalam PB
A. Theos dalam Septuaginta
Dalam LXX theos menerjemahkan dua belas kata Ibrani berbeda. Tapi di antara ini semua hanya tiga yang memadai diterjemahkan oleh theos dengan pertimbangan yang pasti ketika memeriksa latar belakang LXX bagi pemakaian dalam PB, yaitu, el (diterjemahkan dengan theos 163 kali), elohim (diterjemahkan dengan theos 2.280 kali), dan yahweh (diterjemahkan dengan theos 353 kali, meskipun sejauh ini LXX umumnya menerjemahkannya dengan kurios).

B. Theos dalam Literatur luar alkitab
karena theos adalahistilah predikatif, pemakaiannya meliputi serangkaian penuh pemikiran agamawi Yunani. Kadang-kadang ia mengacu kepada ilah secara umum; yaitu kuasa ilahi dan sifat-sifat yang umumnya dimiliki ilah-ilah. tapi theos bukan istilah yang eksklusif untuk para ilah di langit atau dunia yang lebih rendah. dalam era pra-Kristen dan abad pertama masehi, gelar theos ini juga dipakai untuk mengacu kepada sosok manusia.
Istilah theos memang kaya konotasi namun pada saat yang sama sangat beragam dalam pemakaian. kaya arti, karena ia meringkas semua hal yang membedakan Allah dari manusia, menunjukkkan keilahian sebagaimana dipertentangkan dengan kemanusiaan dan mewakili dalam Bahasa Yunani dua istilah dasar umumuntuk Allah (el dan elohim)
barangsiap yang membaca PB dalam terang kontraversi trinitas atau teologi skolastis menegaskan bahwa ho theos menunjukkan Allah yang tritunggal dalam arti umum atau satu oknum Tritunggal secara khusus. Karena Allah menandakan oknum yang secara inheen memiliki tabiat ilahi, istilah ini juga bisa berarti masing-masing dari ketiga oknum kepada mana tabiat ini pantas dan bagi semua tiga oknum diperhatikan bersama-sama.
Dalam ajuan pertama ayat 1 Injil Yohanes menegaskan bahwa Logos ada sebelum waktu dan penciptaan dan oleh karena itu secara tersirat menyangkal bahwa Logos adalah ciptaan. pada yang kedua, Yohanes menyatakan bahwa Logos selalau ada dalam persekutuan yang aktif dengan Bapa dan oleh demikian menyratkan bahw Logos tidak bisa secara pribadi diidentikkan dengan Bapa. dalam yang ketiga, ia menyatakan bahwa Logos selalu ambil bagian dalam keilahian jadi menyiratkan sangkalan bahwa Logos pernah dinaikkan ke status ilahi.


Arti Penting Yoh. 1:18
1. Dalam bagian 1:14-18
Kepenuhan yang telah diterima semua orang percaya adalah anugerah dan kebenaran (16b, 17b) yang datang melalui dan diam dalam Yesus Kristus sang Firman (13, 17b). Kebenaran menjadi nyata dalam Yesus Kristus karena, meskipun tidak ada manusia bisa mengklaim telah mendapat pengetahuan yang sempurna tentang Allah dalam keberadaan-Nya yang sejati (18a), Yesus Kristus secara pribadi menyingkapkan pengetahuan-Nya yang intim, kekal akan Bapa.
2. Dalam Pengantar
ayat 18 adalah klimaks pengantar ini. Pertama, ia menggabingkan dua istilah krusial theos dan monogenes yang sudah dipakai terpisah untuk Logos atau Firman. Kedua, sementara ayat 1 menegaskan keilahian Logos dan membenarkan hubungan-Nya sebelum waktu ada dengan Allah, ayat 18 menempatkan keilahian Anak dan perkenalan-Nya yang dekat dengan Bapa sebagai dasar penyingkapan diri Allah, suatu dasar yang menjamin keterpercayaan, sungguh kesempurnaan, dari penyataan diri ilahi.
3. Dalam Injil Keempat ini secara menyeluruh
dalam Injil Yohanes ayat 18 punya fungsi rangkap. ia menghubungkan pengantar dan sisa Injil itu dengan menyorot tema ganda Bapa secara langsung dan sepenuhnya dikenal bagi Anak dan Anak sebagai Ekseget yang unik daripada Bapa.
Pada tempat kedua, bersama dengan ayat pembukaan Pengantar, ayat 18 membentuk salah satu dari dua "akhirbuku" yang mendukung dan memberi bentuk kepada seluruh Injil, bagi 1:1 dan 1:18 (pada bagian awal dan akhir Pengantar) dan 20:28 (pada bagian akhir) semua memakai theos untuk Yesus, apakah Ia dianggap sebagai Logos yang ada sebelum dunia ada secar kekal (1:1), Anak yang berinkarnsi (1:18), atau Kristus yang bangsit (20:28). Yohanes dengan itu menunjukkan bahwa pengakuan kemesiasan Yesus (20:31) perlu melibatkan kepercayaan akan keilahian-Nya.
Satu pekan setelah kebangkitan, dan karena suatu penampakan kebangkitan, Yesus disapa oleh Tomas dengan seruan, "Tuhanku dan Allahku!", suatu penunjukkan yang bersifat pengakuan yang tidak hanya menandai klimaks dari perikop Tomas dan Yoh 20, tepi juga membentuk titik puncak seluruh Injil. Sebagaimana Israel menghormati Yahweh sebagai kurios ho theos hemon dan orang-orang Kristen menghormati Bapa sebagai ho kurios kai ho theos hemon maka orang-orang harus "menghormati anak, bahkan seperti mereka menghormati Bapa" (Yoh. 5:23), dengna menyapa-Nya dengan kata-kata ho kurios kai ho theos mou.

Theos sebagai Gelar Kristologis
Kesimpulan:
Kesimpulan yang umum dari penyelidikan kita boleh dinyatakan secara berikut. Sementara PB biasanya memakai istilah theos untuk Bapa, kadang-kadang ini juga dipakai untuk Yesus dalam keadaan-Nya yang ada sebelum semua ada (prainkarnasi), inkarnasi, atau pasca-kebangkitan. Sebagaimana untuk Bapa, theos adalah suatu nama. Sebagaimana untuk Yesus, theos adalah sebutan umum (generik), yang mendeskripsikan genus Yesus sebagai yang tergolong kategori Ilahi. Dalam pemakaian ini, theos menunjuk tidak kepada fungsi Kristus atau jabatan tetapi tabiat-Nya.
Dalam pemakaian kristologis theos, kita menemukan dasar dan puncak Kristologi PB: dasar, karena theos adalah gelar kristologis yang terutama bersifat ontologis dalam karakter dan karena praduga Kristologi yang paling fungsionalPB adalah Kristologis yang ontologis; puncak, karena theos adalah gelar kristologis yang tegas dan menegaskan keilahian Yesus Kristus.

CLINICAL PASTORAL EDUCATION AND ITS SIGNIFICANCE FOR INDONESIA: Pendidikan Pastoral Klinis Dan Signifikansinya bagi Indonesia (Daniel Susanto)

Bab 1 Pendahuluan
Pendidikan pastoral sangat penting bagi gereja karena pendidikan ini menyiapkan setiap orang untuk melakukan layanan pastoral. Menurut R. J. Hunter pelayanan pastoral biasanya mengacu kepada semua pekerjaan pastoral yang berkenaan dengan dukungan dan pembinaan orang-orang dan hubungan antar pribadi termasuk ekspresi-ekspresi kepedulian dan keprihatinan setiap hari yang mungkin terjadi di tengah-tengah beragam aktivitas pastoral dan hubungan-hubungan.
Bab 2 Pendidikan Pastoral Klinis di Indonesia
Benih Pendidikan Pastoral Klinis (PPK) di Indonesia
PPK datang ke Indonesia melalui para teolog pastoral Indonesia yang berperan serta dalam PPK di America Serikat, maupun di negara lain dan malalui para misioner asing yang bekerja di Indonesia. Berhubungan dengan berkembangnya pendidikan pastoral di Indonesia, beberapa teolog pastoral Indonesia belajar di luar negeri dan mengambil kursus dalam PPK di sana. Contohnya, Adriana Lala belajar PPK di Amerika Serikat dan di Filipina, Mesach Krisetya berpartisipasi dalam PPK di India dan di Amerika Serikat, Totok S. Wiryasaputra dan penulis belajar PPK di Amerika Serikat. Selama beberapa tahun sejak 1982 seorang teolog pastoral Amerika-Belanda, Aart Martin van Beek, bekerja sebagai seorang pendeta rumah sakit dan sebagai guru di Indonesia. Benih PPK di Indonesia ditabur di Rumah Sakit Bethesda di Yogyakarta. Di tahun 1982, setelah lokakarya nasional pertama tentang konseling dan pelayanan pastoral, Departeman Konseling Pastoral dan Pekerjaan Sosial R.S. Bethesda mengadakan lokakarya lokal tentang konseling dan pelayanan pastoral di RS Bethesda.
PPK di UKSW
Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga telah mengadakan program dasar PPK sejak 1985.
Kursus pertama PPK
1985 fakultas teologi UKSW bekerja sama dengan pusat konseling universitasmemulai kursus pendidikan klinis konseling pastoral. Nama program itu adalah “Program Pendidikan Konseling Pastoral”. Program itu adalah reaksi terhadap pendidikan pastoral tradisional di UKSW pada waktu itu yang masih terbatas pada bahan teoritis, akademis dan kognitif.
Program Pendidikan Konseling Pastoral pertama diadakan dari 19 Agustus sampai 9 November 1985 dan dihadiri 15 mahasiswa. Mereka adalah pekerja sosial, doktor, pekerja gereja awam, pendeta, dan dokter.
Kursus PPK 1986
Kursus kedua diadakan pada 16 Juni s/d 12 September 1986 dengan dihadiri 11 mahasiswa. Tujuan umum kursus kedua ini adalah agar setelah menyelesaikan kursus itu para mahasiswa akan memiliki pandangan dan keahlian dasar dalam konseling untuk membantu orang lain. Tujuan khusus adalah : 1) peserta akan mampu memahami teori dasar konseling; 2) peserta akan mampu mempelajari kontribusi-kontribusi relevan dari psikologi, sosiologi, teologi, antropologi, dan dinamika kelompok untuk konseling; 3) peserta akan memiliki pandangan untuk menganalisa situasi konseling; 4) peserta akan memiliki kemampuan dasar konseling; 5) peserta akan memiliki keahlian untuk menganalisa situasi konseling; 6) peserta akan bisa mengintegrasikan pandangan dan keahlian yang diperoleh dalam melayani orang-orang lain.
Kursus PPK 1987
Kursus ketiga diadakan dari 27 April sampai 24 Juli, 1987 dengan 9 mahasiswa yang hadir. Tujuan dari kursus ini tidak berbeda secara mendasar dari yang kedua.
Kursus PPK 1992
Kursus ketujuh diadakan sejak 14 September s/d 27 November. Sebelas mahasiswa berperan serta. Kursus ini diadakan hanya oleh Fakultas Teologi UKSW, karena tahun 1991 perjanjian kerjasam resmi antara UKSW dan Asosiasi layanan Kesehatan Kristen Indonesia, di bawah mana Program Pendidikan Konseling Pastoral adalah salah satu hal utama telah berakhir.
Meskipun teori dan praktek seharusnya terpadu dalam program pembelajaran PPK, pada kenyataannya beberapa mahasiswa cenderung belajar dari teori ke praktik. Selama pekerjaan lapangan mereka cenderung menerapkan teori-teori yang telah dipelajari di kelas ke dalam praktik.
PPK di RS Cikini
Sejak tahun 1992 dalam kerja sama dengan RS Cikini dan STT Jakarta, telah diadakan kursus dasar PPK di RS Cikini. Tujuan umum dari kursus ini adalah: 1) mendidik dan melatih para peserta dalam memperoleh dan meningkatkan pengetahuan dan keahlian dalam pelayanan dan konseling; 2) mendidik dan melatih para peserta melalui pengalaman praktis melayani manusia yang menderiat; 3) mendidik dan melatih para peserta untuk menganalisis problem-problem manusia secara holistik. 4) mendidik dan melatih para peserta untuk memperoleh pandangan teologis melalui methode induktif; 5) membimbing peserta untuk menyadari kekuatan dan kelemahan mereka dalam menolong manusia; dan 6) membimbing peserta mengembangkan pelayanan mereka dan mengevaluasi pelayanan mereka berhubung menjadi kader untuk pelayanan dan konseling pastoral di Indonesia.
Institut Studi PPK Persetia
Pada tanggal 2 sampai 10 Juni, “Persetia” mengadakan konferensi tentang Pastoral Klinis di Salatiga. Tujuan utama konferensi ini adalah belajar dan mengembangkan PPK di Indonesia. Program konferensi itu terdiri dari berbagi pengalaman PPK, kuliah, loka karya. Enam kulaih disampaikan dalam konferensi ini: 1) PPK sebagai model bagi pendidikan pastoral; 2) konseling pastoral lintas budaya; 3) Teologi Pastoral: Klinis atau Empiris?; 4) Pengawasan dalam PPK; 5) Pengalaman Pelayanan di bawah Pengawasan; dan 6) Riset Pastoral dan Metode Studi Kasus.
Studi “Pendidikan Pastoral Klinis sebagai suatu Model Pendidikan Pastoral”
PPK segaris dengan teori pendidikan Dewey. Penulis memilih menghubungkan teori ini dengan PPK karena Dewey mendasarkan teori ini atas pengalaman; maka basisnya sesuai dengan basis PPK. Dalam tesis ini penulis menyampaikan bahwa PPK secara edukasional segaris dengan teori Dewey karena penekanan PPK, yaitu: belajar pelayanan Pastoral melalui pengalaman klinis, sesuai dengan teori pendidikan Dewey yang menyataka bahwa pendidikan bermula dan berdasar pada pengalaman. Di samping itu, serupa dengan pandangan Dewey, dalam PPK pusat aktivitas-aktivitas pendidikan adalah dalam pelajar itu sendiri.
Studi tentang “Pendidikan pastoral Klinis di Jawa: Pertimbangan-Pertimbangan Teologis dan Kultural”
Pada tahun 1990, Krisetya menyelesaikan tulisannya untuk gelar Doktor Ministri proyek profesional yang berjudul “Pendidikan Pastoral Klinis di Jawa: Pertimbangan-Pertimbangan Teologis dan Kultural”. Dalam karyanya, Krisetya pertama mencoba mengenali beberapa faktor teologis dan kultural yang mempengaruhi perkembangan mula-mula PPK di Amerika. Ini ia lakukan dengan memeriksa latar belakang budaya-agama pada masa pelopor PPK sperti Keller, Cabot dan Boisen. Krisetya menyatakan bahwa perkembangan pertama yang kemudian menjadi perkembangan teologis ketika Liberalisme Protestan juga memasuki pergerakan agama dan Kesehatan.
Studi tentang “Menuju suatu Model Kontekstual Pengawasan PPK di Indonesia”
Dalam disertasinya, Lala melaporkan risetnya tentang pengawasan. Ia menggunakan metode riset kualitatatif dan mendasarkan risetnya pada pengalaman pengawasannya dengan beragam 16 mahasiswa PPK dari dua unit PPK yang berlainan yang diadakan di RS Cikini pada tahun 1993 dan 1994 di Jakarta. Dengan menafsirkan pengalaman-pengalaman dari para mahasiswa PPK, Lala mengenali isu-isu penting mengenai pengawasan yang terdiri dari isu-isu pembelajaran klinis dan rintangan-rintangan yang menghalangi proses pembelajaran klinis seperti komunikasi, luka-luka pribadi, dan kekuatan.
Bab 3: Pendiidkan Pastoral Klinis di Amerika Serikat dan Pertumbuhannya
Latar belakang PPK lahir dalam pertengahan konteks Amerika Utara pada tahun 1920-an. Pada masa ini Amerika dipengaruhi oleh liberalisme teologis dan pragmatisme filosofis. Menurut Jenny yates Hammett, seorang professor filsafat di Institut Teknologi Rochester, New York, selama dua dekade pwertama abad ke duapuluh, liberalisme teologis dan pragmatisme filosofis mencapai puncaknya.
Hammett menggambarkan beberapa karakteristik liberalisme teologis sebagai berikut: 1) salah satu prinsip liberalisme dasariah yang dibawa dari abad ke sembilan belas adalah suatu penekanan pada methode ilmiah; 2) lokus kekuasaan nampak dalam contoh kehidupan beragama ketimbang dalam dokrtin Alkitabiah atau teologis; 3) karena kepercayaannya dalam kemajuan ilmu abad kesembilan belas, liberalisme optimis terhadap masa depan umat manusia; 4) perkembangan yang paling berpengaruh dari liberalisme adalah injil sosial karya Walter Rauschenbusch.
Lahirnya PPK
PPK lahir sebagai reaksi terhadap pendidikan tradisional pada waktu itu. Kelahiran PPK dimulai oleh beberapa pelopor, seperti: William S. Keller, Anton T. Boisen, dan Richard C. Cabot. Meskipun hahir di Amerika namun PPK berkembang dan meluas ke nagara-negara lain di seluruh dunia. PPK telah meluas ke Eropa, Asia, Selandia baru dan Australia, Afrika, Kanada, dan Amerika Selatan.
Bab 4: Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Pastoral Klinis
dan Diskusi tentangnya di Amerika Serikat
Tujuan PPK
Tujuan umum PPK sama dengan tujuan pendidikan pastoral: membantu seseorang mempelajari pelayanan pastoral. Tujuan umum ini, menurut beberapa literatur, dapat digambarkan dalam tujuan-tujuan khusus berikut:
1. Membantu mahasiswa sadar akan identitas pastoral mereka. Menurut Thornton, pembentukan dan pusat tujuan PPK adalah pembentukan identitas pastoral dalam diri para mahasiswa teologi dan pendeta.
2. Membantu mahasiswa mengembangkan keahlian pastoral mereka.
3. Membantu mahasiswa memahami diri mereka. Pelatihan klinis adalah pengalaman yang akan mengijinkan seseorang untuk memiliki pandangan yang lebih besar terhadap, dan pemahaman yang lebih baik akan dirinya.
4. Membantu mahasiswa meningkatkan pertumbuhan pribadinya. PPK adalah prosedur yang tepat guna untuk membina pertumbuhan personal. Pertumbuhan personal berkenaan dengan aktualisasi diri.
5. Membantu mahasiswa meningkatkan hubungan mereka dengan orang-orang lain. Tujuan pelatihan klinis adalah paling tidak menyediakan semacam pengalaman kelompok melalui mana seorang mahasiswa dapt tumbuh. Pertumbuhan yang diperlukan adalah berinteraksi yang lebih memadai dan lebih matang denagn orang lain.
6. Membantu mahasiswa meningkatkan hubungan mereka dengan Allah.
7. Membantu mahasiswa bekerja sama dengan orang-orang dari kelompok profesi berbeda. Membantu mahasiswa belajar bekerja secara kooperatif dengan perwakila kelompok profesi lain dan agen komunitasmenuju pencegahan dan perbaikan kelemahan-kelemahan manusia dan menuju solusi perorangan dan masalah sosial.
8. Membantu mahasiswa memperoleh pengetahuan pelayanan pastoral, khusunya pelayanan pastoral.
9. Membantu mahasiswa mempelajari refleksi teologis pastoral. Sebagai suatu bentuk pendidikan teologis, PPK membantu mahasiswa mempelajari refleksi teologis pastoral.
Metode PPK
PPK adalah model pendidikan pastoral yang memiliki beberapa tujuan di atas. Metode boleh didefinisikan sebagai cara sistematik untuk sampai kepada objek atau tujuan-tujuan seseorang. Metode PPK didasarkan pada aksi dan refleksi di bawah pengawasan.
Mahasiswa mencapai tujuan pertama-tama dengan melakukan aksi. Mereka mengadakan pelayanan pastoral kepada pasien di RS dan keluarganya. Dalam PPK mahasiswa tidak hanya melakuan aksi tapi juga refleksi atas apa yang telah ia lakukan. Salah satu cara refleksi adalah laporan verbatim yang dialogis. Pengawasan penting bagi mahasiswa. Pengawasan adalah prosedur pendidikan yang unik dan dapat diidentifikasi. Pengawasan ini memerlukan pengawas, latar institusi.
Program-Program PPK
Unit dasar PPK di Ikatan Rumah Sakit Universitas Emory pada musim Panas 1989 diadakan sejak 5 Juni sampai 11 Agustus, 1989 dan terdiri dari sepuluh elemen:
1. Orientasi. Selama pekan pertama PPK, semua mahasiswa diperkenalkan dengan Ikatan Rumah Sakit Universitas Emory melalui informasi tentang kondisi kerja daripada rumah sakit-rumah sakit ini dan tur pengarahan
2. Mengunjungi pasien dan menulis verbatim
3. Tugas siang malam. Setiap mahasiswa bertugas 3-8 kali pada siang hari dan 7 kali malam selama musim panas.
4. Memimpin ibadah
5. Seminar kelompok kecil
6. Seminar kelompok besar
7. Konferensi individual dengan pengawas sekali seminggu
8. Pertemuan giliran. Mahasiswa yang punya pasien di Pusat Kedokteran Rehabilitasi harus menghadiri pertemuan giliran dua atau tiga kali seminggu
9. Seminar didaktik, diadakan setiap Rabu. Semua mahasiswa dasar harus ikut.
10. Pertemuan staff. Sekali seminggu mahasiswa dan pengawas yang ada di RS Univ. Emory bertemu bersama.. dalam 15 menit mereka berbagi pengalaman dan informasi.
Isu-Isu Pendidikan, Pelayanan, dan Teologis
Isu teologis. Kita tahu bahwa beberapa teolog dan pakar PPK di Amerika Serikat seperti Thornton, Bruder, dan Gerkin memberikan perhatian kepada hubungan yang sesuai antara PPK dan pendidikan teologi. Powell berharap lebih ketika ia menyatakan bahwa isu yang krusial yang terlibat dalam pendirian teologis untuk pelayanan pastoral akan muncul dari para pemimpin PPK. Berhubungan dengan itu, teolog-teolog dan para pakar telah mengembangkan aspek teologis PPK. Itu penting karena PPK adalah model pendidikan pastoral. Sebagai model pendidikan pastoral, PPK bukan hanay sebuah metode pendidikan tetapi juga aktivitas teologis. Maka, PPK memerlukan dasar-dasar teologis yang sesehat mungkin.
Isu Pelayanan
Bruder menekankan bahwa pelatihan pastoral klinis harus dibaktikan kepada pelayanan dan tidak boleh dipisahkan dari gereja. Pernyataan Bruder ini sangat penting. Walaupun demikian. Masalah-masalah muncul karena PPK berfokus pada pelayanan tertentu sedangkan pelayanan gereja bersifat umum.
Isu Pendidikan
Bruder dan Gerkin berharap adanya perkembangan konsep pengawasan (pembimbingan). Gerkin menyarankan untuk orang-orang yang terlibat dalam PPK menghasikan literatur yang baik tentang pengawasan. Sebenarnya, apa yang mereka harapkan telah diwujudkan dalam pertumbuhan PPK. Para teolog dan pakar PPK di Amerika Serikat telah mengembangkan aspek pendidikan daripada PPK, khususnya pengawasan PPK.
Bab 5: Pengalihan Pendidikan Pastoral Klinis bagi Belanda
Kelahiran dan Pertumbuhan PPK di Belanda
PPk tiba di belanda pada tahun 1960-an. Model pendidikan pastoral ini telah diterima dan tumbuh dalam cara-cara berbeda. Dari Belanda PPK telah juga menyebar ke Jerman, Swiss, dll.
Sebelum lahir di Belanda, ada dua garis pemahaman Protestan tentang pelayanan Pastoral di belanda. Garis pertama menekankan tradisi Calvin pelayanan pastoral sebagai pelayanan Firman Allah, berhubungan dengan “nasihat dan disiplin”. Garis kedua memperhatikan psikologi dan psikoterapi. Jadi, kedua garis ini relatif terpisah satu sama lain.
Kondisi pelayanan pastoral pasa waktu itu di belanda sangat tidak memuaskan. Karena pelayanan tidak berfungsi denghan memadai.
Sejak perkenalannya pada tahun 1960-an PPK berkembang di belanda. PPK telah diadakan di beberapa tempat dan diterima dalam beberapa universitas atau sekolah teologi di sana.
Isu-Isu Utama dalam Pengalihan PPK ke Belanda
Isu teologis. Di Belanda iklim teologi pada umumnya sangat kuat dan dalam. Akibatnya, orang-orang termotivasi untuk menilai model baru pendidikan pastoral ini dari perspektif teologis. Isu-isu ini bisa dikatakan beberapa isu penting dalam pengalihan PPK di Belanda. PPK dianggap sebagai aktivitas teologis. Isu Kristologi dan Pneumatologi (ilmu tentang ke-Roh-an. penterj.) mewarnai isu teologi di Belanda yang mempengaruhi pertumbuhan PPK. Juga ada diskusi tentang antropologi dan hubungan antara teologi dan Psikologi dalam PPK.
Isu Pelayanan. Dengan ini maksudnya berhubungan dengan pelayanan gereja. Pelayanan terdiri dari beragam fungsi di anataranya adalaha pelayanan pastoral. L. O. Mills menunjukkan bahwa pelayanan pastoral biasanya mengacu kepada dimensi yang lebih intensif dari tugas yanglebih besar pelayanan.
Isu Spesialisasi. Heitink menunjukan bahwa PPK ada dalam contoh pertama yang dikembangkan sebagai suatu model pelatihan untuk pendeta-pendeta yang memilki spesialisasi palayanan. Persyaratan 3 bulan PPK biasanya disebut dalam iklan-iklan untuk berbagai bentuk pelayanan pastoral khusus.
Isu Individualisasi. Isu individualisasi muncul dalam hubungannya dengan pengalihan PPK dari Amerika Serikat ke Belanda. Sebagaimana dinyatakan oleh van Gennep pada tahun 1985, pada 20 tahun terakhir PPK telah disetujui oeh keadaan-keadaan, karena ia bisa sesuai masuk ke dalam individualisasi iman.
Isu Profesionalisasi. Berhubungan dengan pengalihan PPK dari Amerika Serikat ke Belanda bebarapa teolog Belanda mendiskusikan isu profesionalisasi. Isu ini muncul karena PPK telah mendukung professionalisasi dalam pelayanan pastoral.
Isu Pendidikan
Dalam membahas isu pendidikan, para pakar PPK di Belanda lebih menyukai mengembangkan teori pembelajaran dan metode pembelajaranPPK untuk belanda daripada mengkritisi teori pembelajaran PPK Amerika. Konsep pengawasan PPK telah dikembangkan di Belanda, khususnya berhubungan dengan unsur-unsur religius atau kerohanian, dan iman dan teologi (contoh: oleh Andriessen, Heitink, Van Delden dan Houtsma). Para pakar PPK di Belanda menakankan dimensi personal dan professional dari pengawasan PPK (contoh: Zuidgeest, Zijlstra, Van Kessel, dan Bodisco Massink), memberikan perhatian kepada pengawasan kelompok dan individu (contoh: van Delden), dan menunjukkan peran penting seorang pengawas (contoh: Zijlstra).
Bab 6: Pengalihan yang Sesuai Pendidikan Pastoral Klinis ke Indonesia
Membahas masalah ini, kita mengemukakan dua pertanyaan penting: 1) apakah PPK sesuai dengan Indonesia, sebagaimana dipandang dari perspektif kenyataan teologis, pelayanan, dan pendidikan di Indonesia? 2) bagaimana bisa PPK dipakai dalam hal sesuai dengan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu sepenuhnya memperhatikan trend perkembangan teologi, pelayanan, dan pendidikan di Indonesia.
Dari aspek proses teologi yang dikembangkan di Indonesia kiat menyimpulkan bahwa PPK sesuai dengan Indonesia kerena proses refleksi teologi yang dipakai dalam PPK sejalan dengan proses berteologi yang dikembangkan dalam teologi kontekstual di Indoensia. Keduanya menekankan korelasi antara teks dan konteks. Walaupun demikian, dari aspek isu-isu yang dialamatkan oleh para teolog di Indonesia kita menyimpulkan bahwa PPK tidak sesuai dengan Indonesia kerna isu-isu yang berkenaan dalam PPK kebanyakan berhubungan perorangan sementara isu-isu yang dialamatkan oleh apra teolog di Indonesia berhubungan dengan masyarakat.
Untuk menggunakan PPK yang sesuai untuk Indonesia, seseorang harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ini: 1) PPK tidak boleh hanya senbagai model pendidikan tetapi juga aktivitas teologis; 2) ketika melakukan refleksi teologis, PPK harus memperhatikan peran penting teks dan konteks; 3) ketika melakukan refleksi teologis, dimensi konteks dalam PPK harus diperluas, tidak hanya berhubungan dengan individu tetapi juga masyarakat dan lingkungan.
Dari aspek trend perkembangan pelayanan di Indoensia kita simpulkan bahwa PPK tidak sesuai untuk Indonesia karena pelayanan yang dilakukan dalam PPK menekankan perorangan sementara pelayanan yanh dikembangkan di Indonesia menekankan pelayanan kepada masyarakatdengan perhatian penuh kepada lingkungan.
Agar membuat PPK berguna untuk perkembangan pelayanan, termasuk pelayanan pastoral dan konseling di Indonesia, ketika menggunakan PPK di Indonesia seseorang harus memperhatikan pertimbangan-pertimbangan ini: 1) PPK harus berfukus tidak hanya pada individu tetapi lebih luas kepada masyarakat; 2) memberi perhatian penuh kepada dimensi sosial pelayanan; 3) mengurangi efek samping buruk daripada spesialisasi dan menyiapkan mahasiswa PPK untuk praktik umum dalam pelayanan , PPK dapat diadakan dalam gereja setempat; 4) PPK harus terbuka bukan hanya untuk mahasiswa teologi dan pendeta , tetapi juag orang-orang awam; menyediakan pelayanan pastoral bagi umat manusia, PPK harus menggunakan analisis menyeluruh, tidak hanya analisis psikologis.
Dari aspek perkembangan pendidikan di Indonesia dapat disimpulkan bahwa PPK cocok untuk Indonesia karena prinsip-prinsip dasar pendidikan daripada PPK sejalan dengan prionsip-prinsip dasar pendidikan yang dikembangkan di Indonesia. Seseorang juag harus memperhatikan kesulitan-kesulitan orang Indonesia dalam mengungkapkan pengalaman mereka dan masalah pribadi atau perasan kepada orang lain.