Kamis, 05 Januari 2017

Memandang Diri Kita di hadapan Kristus (Lukas 5:1-11)


Jadesmon Saragih, M.Theol. / Departemen Penerjemahan - Lembaga Alkitab Indonesia. 
Disampaikan dalam Ibadah Pendalaman Alkitab, BAPEKKRIS, PT BTN (Persero) Tbk, Menara BTN Lt. 12 (Jakarta, 22 Juli 2016)

Kiranya Engkau berkenan dengan ucapan mulutku dan renungan hati kami, ya Tuhan, Gunung Batu dan Penebus kami. Amin
Saudara-saudari sekalian,
beberapa waktu yang lalu, di bulan Desember, di tengah-tengah ingar-bingar persiapan perayaan Natal, saya mendapat kesempatan menyusun liturgi untuk ibadah natal sebuah persekutuan. Bagian menarik sekaligus menyita pikiran dari penyusunan ini adalah menentukan pesan apa yang hendak disampaikan melalui liturgi. Mulai dari nas mana yang digunakan. Maka diputuskanlah untuk menggunakan teks dari Injil Lukas 2:8-20. Nas ini menarik karena digunakan begitu sering untuk menggambarkan bagaimana suasana Natal perdana. Ada kesukaan yang mengatasi ketakutan para gembala. Ada sejumlah besar bala tentara surga yang memuji Allah. Sesudah melihat sang bayi yang baru lahir, para gembala pulang sambil memuji dan memuliakan Allah. Pokoknya, gegap gempita di malam Natal perdana sebagaimana kita bisa rasakan berasal dari teks Lukas ini. Lukisan-lukisan bertema Natal pun banyak mengambil inspirasi dari teks ini.

Namun, apa yang dikatakan tentang Maria, ibunda Yesus? Perempuan yang baru melahirkan sang putra ini digambarkan dalam satu ayat, ayat 19. Dikatakan bahwa ia “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” Bagaimana sikap Maria ini dilukiskan dalam kisah-kisah atau drama Natal kita selama ini? Suatu sikap yang seolah-olah kontras dengan gambaran Natal yang penuh semarak, kesukaaan, dan, mudah-mudahan tidak berlebihan, ingar bingar perayaan. Alih-alih bersorai-sorai dalam perayaan ini, sosok Maria menyimpan segala perkara dalam hatinya dan merenungkannya. Ada keheningan. Kesendirian. Sebentuk kekhusukan dalam diri sang bunda Tuhan!

Saudara-saudari sekalian, kita berhadapan dengan gaya kesaksian penginjil Lukas yang menarik. Teks yang kita dengarkan bersama-sama adalah kesaksian Kitab Injil tentang bagaimana Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama. Kalau kita membandingkan versi Lukas dengan kisah yang sama dalam Matius 4:18-22 dan Markus 1:16-20, kita bisa langsung menemukan apa yang berbeda. Versi Markus dan Matius begitu ringkas: Yesus menjumpai mereka, yakni Simon dan Andreas, Yakobus dan Yohanes, mengajak mereka untuk ikut menjala manusia, kemudian mereka ikut. Selesai. Versi Lukas jelas lebih panjang dan lebih dramatis. Memang Lukas dikenal dalam sejarah Kekristenan sebagai seorang yang berpendidikan, seorang tabib, dan karena itu menguasai cara mengungkapkan pemikiran lewat lisan maupun tulisan. Melalui tangannya peristiwa pemanggilan murid-murid pertama diungkapkan secara khas lewat kitab Injilnya.

Dua Injil yang lain, Matius dan Markus, memulai dengan Yesus yang berjalan sendirian di tepi danau Galilea. Tetapi Lukas memulai dengan Yesus yang dikerumuni orang-orang yang ingin mendengarkan firman Allah. Penginjil satu ini nampaknya memberikan lukisan yang lebih vivid bagaimana Yesus mengajar dari atas perahu lalu meninggalkan kerumunan orang itu dan bertolak untuk menjala ikan bersama Simon dan rekan-rekan lain.

Ada lebih banyak percakapan antara Yesus dan Simon jika dibandingkan dalam versi Matius dan Markus. Tepatnya ada dua babak percakapan:
Pertama, Yesus menyuruh Simon untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jalanya di sana. Kemudian dijawab oleh Simon dengan bercerita tentang pekerjaannya sepanjang malam dan hasil yang nihil. Tetapi, lanjut Simon, ia akan tetap pergi menebarkan jalanya karena perkataan Yesus.
Kedua, ketika mukjizat terjadi sampai mereka kewalahan menghadapi tangkapan yang luar biasa banyaknya, Simon berkata kepada Yesus: “Tuhan, pergilah dari hadapanku karena aku ini seorang berdosa.” Penginjil Lukas menjelaskan kenapa Simon bisa berkata demikian: karena mereka menyaksikan betapa banyaknya ikan yang mereka tangkap. Suatu mukjizat yang terjadi di depan mata mereka. Apa yang disaksikan oleh mereka membawa Simon kepada satu pengakuan tentang dirinya. Suatu kacamata baru untuk melihat dirinya sendiri diberikan melalui peristiwa mukjizat kala itu.

Saya bertanya dalam hati, bukankah ini tujuan dari mukjizat bagi setiap orang yang mengalaminya: untuk membawa seseorang kepada pengertian dan pengakuan yang jelas dan jernih tentang dirinya. Dalam pengalaman Simon dan kawan-kawan, peristiwa mukjizat tangkapan besar tidak ada nilai pada peristiwa itu sendiri. Itu hanya alat untuk hal yang jauh lebih mendasar dan krusial: suatu pengakuan di hadapan Tuhan sendiri. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati, bukankah pengakuan di hadapan Tuhan sendiri tentang siapa diri kita semestinya jauh lebih “mencemaskan” daripada pengakuan dan kesaksian di hadapan orang-orang lain, publik, sidang jemaat, pemimpin jemaat, dsb? Apalagi ketika kesaksian iman di hadapan orang-orang dianggap lebih menarik daripada aktivitas doa pribadi yang harus kita lakukan di hadapan Tuhan. Kita bisa berada di dua wilayah: antara mengaku di hadapan Tuhan dan mengaku di hadapan manusia. Antara menampakkan kehidupan kudus kita di hadapan manusia dan mengenal lebih baik lagi siapa diri kita di hadapan Tuhan. Yang satu sebenarnya tidak bisa lepas dari yang lain.

Peristiwa itu membawa pencerahan kepada Simon. Ada dua hal yang dicerahkan sekaligus: Pertama, cara Simon melihat Yesus dan caranya melihat dirinya sendiri. Mukjizat itu membuka matanya akan siapa Yesus sejatinya. Simon awalnya melihat tidak lebih dari seorang guru Taurat yang patut ia hormati. Ketaatannya kepada perkataan Yesus hanyalah ketaatan permukaan saja. Ketaatan sopan-santun. Tetap ada keraguan di dirinya mengingat pengalaman semalam suntuk tidak membuahkan hasil. Tetapi kemudian apa yang baru dialaminya mengubah pandangannya. Yesus kini diakui sebagai Tuhan yang sungguh berbeda dari dirinya. Kedua, matanya dibukakan perihal siapa dirinya sejati: seorang yang berdosa! Respons bagaimana lagi yang lebih pantas ketika berhadapan dengan dia yang mengendalikan kehidupan? Sikap Simon menandakan kerendahan yang sepatutnya dimiliki setiap orang percaya.

Jika Maria menyimpan semua perkara dan merenungkannya dalam hati, itu bukan dimengerti sebagai tindakan yang pasif, yang egosentris, yang tidak ekspresif terhadap karya penyelamatan dari Tuhan. Bukan juga dikarenakan Maria adalah seorang perempuan. Sikap ini adalah satu sikap reflektif yang memungkinkan seseorang bisa melihat arti sesuatu bagi dirinya, untuk mengenal dirinya dengan lebih jelas. Maria jelas memandang dirinya sebagai hamba Tuhan, sebagaimana dikatakannya kepada malaikat, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Luk 1:38).

Ada kaitan yang menarik kalau kita melihat antara sikap Maria Ibunda Yesus dengan ungkapan Simon kala pertama berjumpa Yesus. Maria sudah berjumpa dengan malaikat sebelum ia melahirkan bayi Yesus. Ia sudah mendengar dan menyimpan serta merenungkan banyak perkara dalam hatinya. Ia telah menerima dirinya sebagai hamba sejak saat itu. Dan hingga saat ketika melahirkan sang bayi kudus, ia tetap setia sebagai hamba Allah. Bagi Maria menyimpan perkara dan merenungkannya adalah bagian dari kehidupannya di hadapan Tuhan. Ia pula pada saatnya menjadi saksi mata untuk berita Injil. Tugas Maria menyimpan semua perkara itu. Perkara dan peristiwa yang berharga tentang Yesus. Ingatan sang ibunda Allah menjadi tempat bagi peristiwa suci, momen-momen kudus Yesus yang dilahirkan. Keheningan dan ketenangan Maria adalah keheningan kudus. Perenungan yang ia lakukan adalah perenungan yang menjaga peristiwa-peristiwa kudus itu dalam ingatannya.

Berbeda dari Maria, Simon mengenal Yesus secara sebagian saja dan dalam waktu yang tidak lama. Perjumpaannya dengan Kristus seolah-olah tiba-tiba. Terkesan terlalu cepat. Pernyataannya pun nampak tergesa-gesa. Namun yang pasti Simon mengungkapkan apa yang dialaminya secara jujur. Ia mengalami ketakutan ketika berhadapan dengan yang ilahi, dengan Pribadi yang sama sekali berbeda derajatnya dengan dirinya: Yang ilahi yang bisa mematikan dirinya bagaikan rumput kering yang siap terbakar oleh api. Permintaan Simon agar Yesus menjauhinya bukan tanpa alasan. Namun pengalaman menakutkan ini berubah menjadi pengalaman yang mencerahkan dan membebaskan.

Perubahan itu terjadi dan ini sekali lagi hanya dimungkinkan oleh prakarsa Tuhan. Jawaban Yesus, “Jangan takut” adalah sama dengan yang disampaikan malaikat kepada Maria (Luk 1:30). Kali ini kata-kata ini diucapkan oleh Yesus kepada Simon yang tengah ketakutan. Rasa ketakutan adalah reaksi yang wajar dalam diri manusia ketika berhadapan dengan apa yang lebih berkuasa dari dirinya. Namun ketakutan Simon dijawab dengan penerimaan dari Tuhan. Pada titik inilah perubahan terjadi dalam diri Simon (dan kawan-kawan), ia dijadikan “penjala manusia.” Ia tidak lagi memikirkan perihal duniawi, melainkan kerajaan Allah. Dari penjala ikan menjadi penjala manusia! Dari kehidupan yang bercirikan urusan duniawi kepada kehidupan bercirikan kerajaan Allah. Dari mengejar kebutuhan-kebutuhan tubuh / daging kepada mencari kebenaran dan kehendak Allah. Penginjil Matius menjelaskan hal ini dalam bagian tentang kekuatiran (Mat 6:25-34). Kita pastinya tahu sekali dengan ayat dalam Matius yang berbunyi, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kehendak-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (pasal 6, ayat 33). Namun dalam kisah pemanggilan para murid, seorang Simon berhadapan dengan Tuhan sendiri yang mengubah dirinya. Ia tidak mendengarkan pengajaran, arahan dan nasehat dari sang guru. Ia mengalami sendiri melalui perjumpaannya dengan Yesus. Hal itu mengubahkan hidupnya. Hal itu membulatkan hatinya untuk mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus. Ia tidak HANYA MENGIKUTI tetapi juga MENINGGALKAN semuanya! Benar sekali, dalam Injil Lukas, Yesus menuntut radikalitas semacam ini dalam diri setiap orang yang dipanggil-Nya. Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman, pernah menulis seperti ini: "Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan untuk mati!" Spirit inilah yang dituntut ketika seseorang memutuskan untuk mengikuti Tuhan. Bonhoeffer membuktikan apa yang ia tulis: di usia muda ia mati dalam pengasingan Nazi sebagai martir demi kebenaran.

Pengalaman berjumpa dengan Yesus diberi perhatian dalam kisah pemanggilan ini. Jika dalam Injil Matius dan Markus, Yesus berkata: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat 4:19; Mar 1:17), Yesus dipandang sebagai pribadi yang berkuasa. Ia memanggil dan menjadikan nelayan itu penjala manusia. Dan mereka pun ikut. Penginjil Lukas memberikan nuansa yang berbeda dan menarik. Kata-kata Yesus dalam kisah pemanggilan dalam Injil Lukas berbunyi: “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Perhatikan bagaimana kata aku (Yesus) tidak dipakai. Hanya kata ganti engkau (Simon). Ada perhatian khusus terhadap pergumulan yang dialami Simon dengan kata-kata “Jangan takut.” Kata-kata ini memiliki arti yang luar biasa sebagai jawaban terhadap pergumulan seseorang seperti Simon. Dengan kata-kata ini bagian terlemah seseorang disentuh.
Seketika itu Simon menggumuli keadaannya di hadapan Kristus, Tuhan yang berbeda sama sekali dari dirinya. Ia jatuh tersungkur, tidak mampu (berani) menatap wajah Yesus. Apa yang dianggapnya sebagai penghidupannya tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan. Hal ini ditunjukkan melalui tangkapan yang luar biasa banyak dibandingkan nihilnya hasil selama semalam menebar jala. Kontras ini, antara nihil tangkapan sepanjang malam dan tangkapan yang luar biasa melimpah, tidak mendatangkan sukacita sebagaimana sewajarnya dirasakan oleh nelayan seperti Simon. Justru tangkapan yang luar biasa banyak itu mendatangkan ketakutan. Menarik, bukan? Simon nampaknya menyadari satu hal yang melampaui apa yang biasa dipikirkan manusia. Ia tidak bersukacita karena hasil tangkapan besar itu. Ia melihat lebih jauh, lebih mendasar. Ia melihat dirinya sendiri!

Saudara-saudari sekalian, teks kita luar biasa menyingkapkan bagaimana kita perlu menyediakan waktu untuk melihat diri kita di hadapan Kristus. Seperti Simon (dan kawan-kawan), ia melihat dirinya dalam terang yang baru. Pertama-tama adalah selalu inisiatif / prakarsa Tuhan yang mengubah hidup kita. Kristus yang memanggil kita. Segala bentuk pelayanan yang kita lakukan semestinya memang menolong kita untuk melihat diri kita. Kita adalah pelayan-pelayan Tuhan. Hiruk pikuk pelayanan dan kesibukan kita tidak ada artinya tanpa kesempatan melalui itu untuk melihat kita sebagai pelayan dan hamba Tuhan. Awalan dan muara pelayanan kita seharusnya adalah kerendahan hati yang penuh di hadapan Tuhan.

Kerendahan hati dalam melihat diri kita pula memampukan kita mengasihi dengan lebih baik. Melihat diri kita sebagai orang yang dikasihi dengan sempurna menolong kita mengasihi sesama kita dengan lebih baik. Jujur saja, kita perlu mengakui bahwa kita secara emosional mudah jatuh hati, mengasihi orang lain, menerima mereka apa adanya, serta berkorban bagi mereka. Namun dalam banyak situasi, kita gagal untuk “mengasihi diri kita” karena citra yang buruk tentang diri kita sendiri. Kita malu terhadap gambaran diri kita sendiri. Namun jawaban Tuhan atas ketakutan dan kekuatiran kita mengubah itu. Perintah terbesar yang digemakan oleh Yesus, untuk “Mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti diri sendiri” ternyata kali ini memiliki dimensi yang menarik untuk kita renungkan. Kita harus mengasihi sesama seperti mengasihi diri kita sendiri. Mengasihi diri sendiri tidak dimengerti sebagai cinta-diri, yang narsistis! Panggilan Kristus secara langsung kepada kita memungkinkan adanya penerimaan juga terhadap diri kita, sebentuk kasih diri yang bersumber dari Tuhan.

Saudara-saudari sekalian, ajakan bagi kita untuk menyeimbangkan aktivitas pelayanan kita dengan kesediaan untuk belajar melihat diri kita di hadapan Kristus yang mulia. Hati sebagai hamba demikianlah semestinya yang mendasari setiap bentuk pelayanan kita. Dari Tuhanlah panggilan kita dan kepada Tuhanlah semuanya kita persembahkan. Selamat melayani dengan hati sebagai hamba, seperti Maria, seperti Simon (dan kawan-kawan). Dasar pelayanan ternyata bukan hanya tentang memuji dan memuliakan Nama Tuhan, tetapi juga kesempatan bagi diri kita untuk menghayati kasih karunia dalam saat teduh perjumpaan kita dengan Tuhan yang selalu baru.
Tuhan memberkati kita melalui firman-Nya. Amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar Anda terhadap artikel situs ini