Selasa, 31 Januari 2017

Lokakarya Penerjemahan PL Bahasa Mee (Papua)

Di antara Orang-orang Mee, Papua

Oleh: Jadesmon Saragih


Jakarta, 31 Januari 2017
Pembina yang bertugas: Lady Mandalika, Jadesmon Saragih
Tanggal kegiatan: 24-26 Januari 2017
Catatan kecil ini dibuat setelah melakukan perjalanan dinas  pertama sejak keberangkatan dari Jakarta pada 22 Januari sampai 28 Januari 2017. Perjalanan tersebut bertujuan untuk menfasilitasi kegiatan Pelatihan Tim Penerjemah dan Seminar Hamba Tuhan di gereja KINGMI, Papua. Kegiatan ini merupakan pembinaan kepada calon-calon penerjemah Perjanjian Lama ke Bahasa Mee, dan diselenggarakan oleh koordinasi 3 (tiga) klasis yang masing-masing berkedudukan di kabupaten Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Ketiga kabupaten tersebut terletak di Provinsi Papua dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Nabire. Penutur bahasa ini pun ada di luar ketiga kabupaten tersebut. Menurut beberapa sumber, Bahasa Mee adalah bahasa terbesar kedua yang dituturkan di Papua. Oleh suku sekitarnya, orang Mee dikenal sebagai orang Ekari. Namun mereka lebih memilih disebut sebagai orang Mee.

Menuju lokasi

Pemandangan Danau Tigi
Tiba pada tanggal 23 Januari, Tim LAI dijemput dari Bandara Douw Atuture, Nabire. Di sana tim LAI bergabung dengan tim Gereja KINGMI, yang dikoordinasi oleh Yulianus Anouw dan Dominggus Bobii dan segera menuju lokasi kegiatan, Waghete, Kabupaten Deiyai. Perjalanan darat dari Kota Nabire memakan waktu -/+ 7 jam. Di sana sudah berkumpul para peserta dari koordinasi 3 klasis Gereja KINGMI. Masing-masing mewakili 3 wilayah tersebut di atas. Tim disambut dengan hangat kendati cuaca dingin pegunungan di Alyatei dan melewati malam di sana. Dan agenda padat di hari berikutnya menanti.

Seminar & Pelatihan

Hari berikutnya, 24 Januari, di aula mereka diadakan perkenalan Tim LAI sesudah ibadah pembuka yang dipimpin Pdt. Dominggus Bobii. Khotbah disampaikan oleh pendeta dari klassis koordinasi Dogiyai. Seluruh kegiatan diberi tema “Berubah untuk menjadi kuat”. Di samping itu panitia membuat subtema yang cukup mencerminkan pergumulan hamba-hamba Tuhan dan jemaat mereka: “Prioritaskan persatuan hamba Tuhan demi mempertahankan kualitas dan kuantitas umat Tuhan dalam pelayanan untuk menghadapi era globalisasi”. Sesuai dengan agenda yang ditunjukkan pada hari itu, acara seminar dan pelatihan dari tim LAI akan dimulai esok harinya, 25 Januari, bertempat di aula yang sama. Sementara untuk pembuka, 2 materi seminar diberikan oleh Yulianus Anouw dan Dominggus Bobii, yang bertajuk pendidikan dan globalisasi.
Tema-tema pilihan untuk seminar merupakan permintaan dari pihak Gereja KINGMI demi meningkatkan kualitas pelayanan para hamba Tuhan di sana. Seminar dimulai dengan materi yang diberikan Sdri. Lady Mandalika. Materi bertajuk karakter dan etika hamba Tuhan. Lady memaparkan sisi-sisi sosial etis pelayanan gereja berangkat dari teks-teks Alkitab. Ditekankan bagaimana gereja perlu melebarkan pelayanan tidak hanya pada pelayanan ritual/seremonial. Kemudian materi berikutnya mengenai asal usul Alkitab disampaikan oleh Jadesmon Saragih. Pemaparan materi berkisar apa sebenarnya Alkitab yang kita miliki dan sejarah uniknya. Kepelbagaian tema di Alkitab dan sejarahnya juga mengarahkan audiens untuk terbuka kepada tradisi gereja yang berbeda. Kedua materi yang diberikan disambut baik dengan beberapa pertanyaan. Tidak semua pertanyaan bisa dijawab karena berhubungan dengan sejarah masyarakat Mee dan penginjilan di antara mereka. Misalnya, setelah materi asal-usul Alkitab seseorang bertanya tentang siapakah yang membawa Alkitab kepada orang-orang Mee. Selain itu, melalui pertanyaan audiens nampak ketidaksediaan sebagian terhadap ide pelayanan dari segi sosial ekonomi. Bagi sebagian kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan gereja.
Sdri. Lady menyampaikan materi
Setelah jam makan siang (13.00-14.00 WIT) kegiatan lanjut ke pelatihan tim penerjemah. Kali ini Sdri. Lady Mandalika memulai dengan pemaparan dasar “Dinamika Penerjemahan”. Materi diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan kepada pemateri dan diskusi di antara audiens dalam bahasa mereka. Di tengah kesulitan mengikuti diskusi mereka, melalui beberapa klarifikasi Tim LAI bisa memastikan mereka memahami materi yang ada. Dari bahasan yang diberikan persoalan idiom dan metafor diberi perhatian khusus dalam usaha penerjemahan bahasa Mee.
Pada 26 Januari, Sdr. Jadesmon Saragih memulai dengan materi bertajuk “Mencari Makna Kata”. Melalui ini pemahaman calon tim penerjemah diasah mengenai bagaimana konteks menentukan arti suatu kata. Dengan demikian, penerjemahan yang (terlalu) literal akan dihindari. Selanjutnta, Sdri. Lady Mandalika membimbing untuk menerjemahkan puisi yang kaya dengan metafora. Materi-materi ini diharapkan meningkatkan pemahaman peserta dengan adanya contoh-contoh dan latihan.
Sesudah makan siang, diadakan sesi latihan menerjemahkan teks narasi. Dipandu oleh Sdr. Jadesmon, peserta dibagi ke dalam 3 kelompok. Mereka diberikan kesempatan menerjemahkan Kejadian 26:1-6, teks narasi yang tidak ada dalam Perjanjian Lama Mee. Masing-masing menerjemahkan 2 ayat dari teks tersebut. Secara keseluruhan latihan ini menunjukkan sejauh mana mereka bisa bekerja berkaitan dengan teks narasi. Tim LAI menilai mereka dapat mengerjakannya dengan baik. Sdri. Lady kemudian melanjutkan dengan paparan mengenai alur penyiapan naskah sesuai dengan ketentuan LAI (Prosedur Pengendalian Penerjemahan). Dengan itu peserta diharapkan memahami bagaimana proses yang akan dilalui, teknologi apa yang dipakai (untuk memeriksa kesalahan), serta peran tim penerjemah yang akan dibentuk. Penjelasan Sdr. Lady ini memungkas rangkaian seminar dan pelatihan yang berlangsung sejak 2 hari lalu.

Suku Mee dan Alkitab

Merajut noken (Sumber: http://kebudayaanindonesia.net)
Orang Mee mengenal Allah dengan sebutan Ugatamee, yang artinya “Pencipta manusia”. Menarik menurut orang-orang Mee, mereka telah memiliki “Sepuluh Hukum” sebelum kedatangan Injil. Oleh karena itu mereka bisa menerima Injil “dengan hati terbuka”. Contohnya, mereka sejak dulu melarang zinah dan akan menghukum mati siapa saja yang melakukannya. Termasuk hari Sabat sudah dikenal, kata mereka, sebelum datangnya Injil. Tidak heran, kenyataan ini memberi kekhasan bagi orang-orang Mee dibandingkan suku-suku lain di sekitar mereka. Tentu saja hal ini menarik untuk ditelusuri lebih lanjut terutama sejarah Injil itu masuk dalam kehidupan orang Mee.

Akhir kata

Seluruh kegiatan secara resmi ditutup dalam doa dan foto bersama. Di akhir itu pula laporan dari panitia disampaikan, menjelaskan bagaimana seluruh kegiatan khususnya dari segi pendanaan bisa dilangsungkan. Kembali pada momen ini kebutuhan untuk bersatu menjadi sangat penting bagi jemaat dan pendeta mereka. Antusiasme peserta dalam mengikuti kegiatan seminar dan pelatihan serta apiknya koordinasi panitia dalam penyelenggaraannya menegaskan bahwa semua dapat tercapai dalam persatuan tidak hanya di antara jemaat tetapi hamba-hamba-Nya. Kegiatan bukan hanya perihal penerjemahan tetapi menyentuh hal yang mendasar dalam tubuh jemaat dan hamba Tuhan di sana.
Injil yang berakar dalam identitas diri orang Mee adalah kekuatan mereka. Sulit mengatakan Injil mengubah hidup mereka. Barangkali, lebih tepatnya orang Mee memberi tempat bagi Injil. Mereka bisa menunjukkan bagaimana beriman secara Mee. Hanya saja, tantangan globalisasi mendorong mereka untuk memperlengkapi diri mereka sebaik-baiknya. Benar saja, hal utama yang mereka perlukan adalah semangat untuk bersatu.
*semua foto adalah dokumentasi penulis kecuali yang disebut sumbernya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan berikan komentar Anda terhadap artikel situs ini