Jadesmon Saragih, M.Theol.
/ Dep Penerjemahan, Lembaga Alkitab Indonesia (Disampaikan pada 17 Juni 2016)
Beberapa hari yang lalu saya dengan teman-teman menonton
film “Conjuring 2” di bioskop. Saya menemukan bagian yang menarik pada film
yang bergenre horror ini. Bagian itu adalah ketika pasangan Ed dan Lorraine
berangkat untuk kembali ke AS setelah merasa pekerjaan mereka tidak membuahkan hasil.
Diiringi alunan soundtrack dari The Bee Gees, “I Started A Joke,” dalam
perjalanan pulang itu, mereka berdua secara tiba-tiba menemukan sesuatu yang
mengharuskan mereka kembali lagi. Sesuatu yang di luar sangkaan mereka. Sesuatu
yang mengubah cara pandangan, mereka dapati dalam momen kembali, momen pulang
mereka.
Pencerahan terjadi pada saat-saat ketika keputusasaan bersaing
dengan rasa kepedulian mereka. Pencerahan bisa terjadi pada momen-momen kembali,
kegagalan dan kekecewaan. Karena sering kali melalui kegagalan serta kekecewaan, kita
mengalami kejelasan/kejernihan dalam merasa dan bahkan menemukan jati diri kita
sesungguhnya. Ini menarik perhatian saya.
Saya memilih teks Firman Tuhan
dari Kejadian 50:1-14. Teks kita ini naratif, sebuah cerita tentang Yusuf yang
berkabung atas meninggalnya Yakub, ayahandanya. Kisah ini sungguh vivid,
hidup. Pembaca bisa membayangkan betapa wah-nya peristiwa perkabungan Yakub
disertai kesedihan Yusuf. Kita telah mengenal Yusuf sebagai orang yang dijual
oleh saudara-saudaranya, hingga akhirnya ia menjadi penolong keluarga di masa terjadi
bencana. Ketika membaca teks ini, saya penasaran apakah Yusuf merasa jika
perginya ke tanah Kanaan untuk menguburkan sang bapak juga sebagai momen pulang
kembali ke tanah asalnya? Bukankah Yusuf sekarang adalah pejabat Mesir, berkarya untuk Mesir dan dicintai oleh rakyat Mesir? Di mata saya pengalaman Yusuf adalah pengalaman yang emosional, yang menarik-nariknya antara Kanaan dan Mesir.

Saya berasal dari sebuah daerah kecil, nyaris desa, di Barito Timur, Kalimantan Tengah. Ada
tiga momentum ketika saya harus meninggalkan kampung halaman saya ini. Pertama ketika saya melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di kota
Banjarmasin, tujuh jam perjalanan darat dari Ampah. Saya berkuliah di Sekolah
Tinggi Teologi di kota itu, tinggal dalam lingkungan kampus dan asrama selama
lima tahun. Keputusan saya untuk berstudi teologi sebenarnya termasuk pilihan
yang random. Ini terutama karena keterbatasan finansial keluarga. Tapi setelah
menjalani beberapa lama berkuliah di sana, saya baru mulai menggemari studi
tentang Alkitab. Pada masa itu, sekali dua kali saya berkesempatan pulang.
Sangat menyenangkan dan mengharu biru jika mengingat momen pulang kampung pada
masa itu. Saya dapat merasakan bagaimana pulang kampung mempunyai efek menguatkan
bagi jiwa-jiwa mahasiswa-perantau seperti saya (dan teman-teman lain).
Kedua ketika saya mendapat kesempatan emas melanjutkan studi ke jenjang S2 di luar negeri. Di kota Banjarmasin yang hampir tak dikenal itu sayup-sayup saya mendengar betapa bergairahnya studi biblika di kota Hong Kong di samping terutama kesempatan mendapat beasiswa di sana. Saya memutuskan dengan agak tergesa-gesa untuk segera ke sana. Puji Tuhan saya berhasil diterima di kampus itu. Setelah beberapa lama berada di sana, saya pun merasakan kejenuhan. Hari-hari berstudi di sana dipenuhi dengan tugas-tugas kuliah yang, jika kurang iman, bisa mendepresikan. Kadang-kadang saya rasa kesenangan yang awalnya saya bayangkan saat itu tercabik-cabik. Apalagi saya tidak langsung diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di sana. Saya harus menghabiskan setahun program persiapan. Satu tahun itu sangat menentukan. Jika saya tidak bisa membuktikan kemampuan riset yang baik kepada pihak fakultas, maka saya harus kembali dengan tidak mendapat apa-apa selain umur yang bertambah. Tiga tahun lebih berlalu. Selama itu sekali saja saya berkesempatan pulang. Saya pulang ke Indonesia dengan gelar Master dengan perasaan hampir gila. Ada hal yang menarik. Pada satu hari, setahun sudah tinggal di Hong Kong, ketika memeriksa koper untuk membersihkannya, saya menemukan kantong plastik kecil berisi kepingan tanah yang sudah mengering. Teringat seketika oleh saya ide yang saya anggap gila dari Ibunda saya ketika berangkat meninggalkan kampung halaman menuju bandara. Beliau menyarankan membawa sedikit tanah, segenggam banyaknya kira-kira, diambil dari dekat rumah kediaman kami. Kata beliau, “Agar kamu tidak menderita sakit atau terjadi apa-apa di rantau yang jauh.” Mungkin karena keangkuhan dan perasaan risih terhadap hal-hal seperti itu, saya menolak untuk mengikuti saran itu. Ternyata diam-diam beliau memasukkan segenggam tanah dibalut plastik ke dalam koper yang saya bawa. Pada saat saya memegangnya, kepingan-kepingan tanah kering itu pecah dan luruh di jari-jari saya. Tidak menunggu lama, saya tersadar dan menebarkan tanah kering itu di balik jendela. Saya tiba-tiba mulai menghargai hal-hal yang dulunya saya anggap remeh temeh dan tidak penting. Pencerahan semacam ini terjadi pada momen saya kembali.
Ketiga, tidak sampai dua bulan hingga sekarang. Saya meninggalkan lagi kampung halaman menuju kota Jakarta. Tidak sedekat yang pertama tentunya. Tidak sejauh yang kedua. Sekarang dalam rangka pelayanan. Saya tidak se-homesick pada pengalaman sebelumnya. Bahkan sejauh ini tidak sama sekali. Kecintaan saya kepada studi teks Alkitab membawa saya ke sini. Demikian jawaban sederhana saya ketika beberapa sahabat menanyakan kenapa saya mau pergi ke kota ini dan melayani di LAI. Lebih lanjut lagi, saya merasa menemukan spiritualitas yang mendalam di pelayanan ini. Suatu spiritualitas yang menghadapkan diri saya secara langsung kepada teks Firman secara jujur dan penuh kerendahan hati. Jujur ketika menghadapi kompleksitas yang ada dalamnya. Setinggi-tingginya pendidikan seseorang, ketika menghadapi Firman, ia harus merelakan dirinya dibingungkan, diruwetkan; lalu didorong untuk mencari dan bergumul. Tidak ada mental untuk menyederhanakan sesuatu.
Kedua ketika saya mendapat kesempatan emas melanjutkan studi ke jenjang S2 di luar negeri. Di kota Banjarmasin yang hampir tak dikenal itu sayup-sayup saya mendengar betapa bergairahnya studi biblika di kota Hong Kong di samping terutama kesempatan mendapat beasiswa di sana. Saya memutuskan dengan agak tergesa-gesa untuk segera ke sana. Puji Tuhan saya berhasil diterima di kampus itu. Setelah beberapa lama berada di sana, saya pun merasakan kejenuhan. Hari-hari berstudi di sana dipenuhi dengan tugas-tugas kuliah yang, jika kurang iman, bisa mendepresikan. Kadang-kadang saya rasa kesenangan yang awalnya saya bayangkan saat itu tercabik-cabik. Apalagi saya tidak langsung diterima sebagai mahasiswa pascasarjana di sana. Saya harus menghabiskan setahun program persiapan. Satu tahun itu sangat menentukan. Jika saya tidak bisa membuktikan kemampuan riset yang baik kepada pihak fakultas, maka saya harus kembali dengan tidak mendapat apa-apa selain umur yang bertambah. Tiga tahun lebih berlalu. Selama itu sekali saja saya berkesempatan pulang. Saya pulang ke Indonesia dengan gelar Master dengan perasaan hampir gila. Ada hal yang menarik. Pada satu hari, setahun sudah tinggal di Hong Kong, ketika memeriksa koper untuk membersihkannya, saya menemukan kantong plastik kecil berisi kepingan tanah yang sudah mengering. Teringat seketika oleh saya ide yang saya anggap gila dari Ibunda saya ketika berangkat meninggalkan kampung halaman menuju bandara. Beliau menyarankan membawa sedikit tanah, segenggam banyaknya kira-kira, diambil dari dekat rumah kediaman kami. Kata beliau, “Agar kamu tidak menderita sakit atau terjadi apa-apa di rantau yang jauh.” Mungkin karena keangkuhan dan perasaan risih terhadap hal-hal seperti itu, saya menolak untuk mengikuti saran itu. Ternyata diam-diam beliau memasukkan segenggam tanah dibalut plastik ke dalam koper yang saya bawa. Pada saat saya memegangnya, kepingan-kepingan tanah kering itu pecah dan luruh di jari-jari saya. Tidak menunggu lama, saya tersadar dan menebarkan tanah kering itu di balik jendela. Saya tiba-tiba mulai menghargai hal-hal yang dulunya saya anggap remeh temeh dan tidak penting. Pencerahan semacam ini terjadi pada momen saya kembali.
Ketiga, tidak sampai dua bulan hingga sekarang. Saya meninggalkan lagi kampung halaman menuju kota Jakarta. Tidak sedekat yang pertama tentunya. Tidak sejauh yang kedua. Sekarang dalam rangka pelayanan. Saya tidak se-homesick pada pengalaman sebelumnya. Bahkan sejauh ini tidak sama sekali. Kecintaan saya kepada studi teks Alkitab membawa saya ke sini. Demikian jawaban sederhana saya ketika beberapa sahabat menanyakan kenapa saya mau pergi ke kota ini dan melayani di LAI. Lebih lanjut lagi, saya merasa menemukan spiritualitas yang mendalam di pelayanan ini. Suatu spiritualitas yang menghadapkan diri saya secara langsung kepada teks Firman secara jujur dan penuh kerendahan hati. Jujur ketika menghadapi kompleksitas yang ada dalamnya. Setinggi-tingginya pendidikan seseorang, ketika menghadapi Firman, ia harus merelakan dirinya dibingungkan, diruwetkan; lalu didorong untuk mencari dan bergumul. Tidak ada mental untuk menyederhanakan sesuatu.
Karena latar
belakang pendidikan, acap kali saya berdiri di hadapan orang-orang seiman, membawakan
renungan Firman Tuhan. Namun saya akui sering kali saya melakukannya seolah-olah saya “menguasai” Firman itu. Bukankah justru sebaliknya? Firman
yang lebih dahulu harus menguasai diri si khatib, yang mengubahkan hidup si pewarta, yang memandu akal budinya. Singkat kata,
pelayanan yang saya mulai di bidang ini menegaskan suatu keyakinan, bahwa Firman harus menguasai hidup kita
dan kita menghadapnya dengan kerendahan hati.
Pertanyaan saya ketika berkarya di sini, apakah saya
harus kembali? ke manakah saya akan kembali? Terutama ketika kata kembali
bisa diartikan sebagai perjalanan meninggalkan sesuatu menuju tenpat di mana
kita seharusnya. Entah pencerahan bagaimana lagi yang akan saya alami ketika saya kembali atau pulang selanjutnya?
Kembali kepada Yusuf. Dalam ayat 5 kita mendengar kata-kata Yusuf, "Kemudian aku akan kembali." Dan dalam ayat terakhir dikatakan, "pulanglah Yusuf ke Mesir." Teks ini ditulis dari sudut pandangan Yusuf yang berkarya di Mesir. Terlepas dari kenyataan bahwa ia bertempat asal di Kanaan, ia harus kembali ke Mesir. Di sanalah Yusuf menjalankan perannya dalam rancangan Tuhan. Namun pengalamannya pulang ke Kanaan dalam rangka penguburan ayahandanya juga merupakan momen penguatan jatidirinya sebagai anak Israel. Sekaligus juga hal itu memberikan makna tersendiri bagi pekerjaan dan perannya di tanah Mesir. Pengalaman kembalinya Yusuf ke Kanaan menguatkan dual hal sekaligus: pertama, ia dikuatkan perannya sebagai pemimpin di Mesir, dan kedua, ia menyegarkan jatidirinya sebagai anak Yakub, anak Israel.
Dalam Lukas 4:16-30, Yesus juga mengalami peristiwa kembali-Nya, meskipun
dalam keadaan yang negatif. Ia menerima penolakan di kampung halaman-Nya
sendiri. Saya membayangkan betapa rindunya Kristus kembali ke kampung halaman-Nya
dan bisa berbagi di sana. Sama sekali ia tidak berekspektasi akan penolakan mereka.
Tetapi fakta penolakan terhadap diri-Nya menegaskan kembali tentang peran-Nya. Inilah momen pencerahan yang terjadi dalam pengalaman Kristus ketika
kembali ke Nazaret. Ketika Yesus merenungkan kembali peristiwa penolakan itu dan berkata, "Tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya," hal ini sama-sekali bukan cara Yesus membenarkan diri-Nya. Kesamaan dengan pengalaman Elia dan Elisa dikisahkan untuk menguatkan kembali kesaksian-Nya. Pengalaman Elia dan Elisa dimaknai secara otentik oleh Yesus sendiri dengan pengalaman-Nya. Pengalaman serupa itu disegarkan dalam peristiwa Yesus.
Pada titik inilah saya merenungkan arti kehadiran saya di sini. Dan saya rasa pengalaman serupa bisa terjadi pada setiap orang. Ketika kita menanyakan pada diri kita sendiri apakah kita akan kembali. Pertanyaan kemanakah kita akan kembali mengandung makna: di mana tempat seharusnya kita berada. Lebih jauh lagi kita bisa katakan, Apa yang Allah inginkan melalui keberadaan kita di tempat ini? Pengalaman kembali dan pulang mengingatkan kita lagi akan arti kehadiran kita di suatu tempat, bersama siapa kita berada dan bekerja. Ini memberikan kita kesempatan untuk mengapresiasi lagi dengan lebih jernih peran dan tanggung jawab kita.
Hargailah lebih lagi waktu-waktu kita pulang dan kembali. Entah kembali ke rumah kita masing-masing. Atau kembali ke tempat kita berkarya dan melayani. Ada dinamika yang khas pada pengalaman kembali ini. Sekali lagi kembali bukan dipahami bahwa kita meninggalkan suatu tempat, mengabaikan dan melupakannya. Kembali adalah momen kita untuk menguatkan kembali kesaksian kita di manapun kita berada, di tempat kita bekerja maupun di tempat kita berada bersama orang-orang yang kita kasihi (keluarga dan teman). Saudara-saudari sekalian, kita boleh kembali untuk kembali. Tuhan memberkati kita. Amin.
Pada titik inilah saya merenungkan arti kehadiran saya di sini. Dan saya rasa pengalaman serupa bisa terjadi pada setiap orang. Ketika kita menanyakan pada diri kita sendiri apakah kita akan kembali. Pertanyaan kemanakah kita akan kembali mengandung makna: di mana tempat seharusnya kita berada. Lebih jauh lagi kita bisa katakan, Apa yang Allah inginkan melalui keberadaan kita di tempat ini? Pengalaman kembali dan pulang mengingatkan kita lagi akan arti kehadiran kita di suatu tempat, bersama siapa kita berada dan bekerja. Ini memberikan kita kesempatan untuk mengapresiasi lagi dengan lebih jernih peran dan tanggung jawab kita.
Hargailah lebih lagi waktu-waktu kita pulang dan kembali. Entah kembali ke rumah kita masing-masing. Atau kembali ke tempat kita berkarya dan melayani. Ada dinamika yang khas pada pengalaman kembali ini. Sekali lagi kembali bukan dipahami bahwa kita meninggalkan suatu tempat, mengabaikan dan melupakannya. Kembali adalah momen kita untuk menguatkan kembali kesaksian kita di manapun kita berada, di tempat kita bekerja maupun di tempat kita berada bersama orang-orang yang kita kasihi (keluarga dan teman). Saudara-saudari sekalian, kita boleh kembali untuk kembali. Tuhan memberkati kita. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan berikan komentar Anda terhadap artikel situs ini