Di antara Orang-orang Mee, Papua
Oleh: Jadesmon Saragih
Jakarta, 31 Januari 2017Pembina yang bertugas: Lady Mandalika, Jadesmon SaragihTanggal kegiatan: 24-26 Januari 2017
Catatan kecil ini dibuat setelah melakukan perjalanan dinas pertama
sejak keberangkatan dari Jakarta pada 22 Januari sampai 28 Januari 2017.
Perjalanan tersebut bertujuan untuk menfasilitasi kegiatan Pelatihan
Tim Penerjemah dan Seminar Hamba Tuhan di gereja KINGMI, Papua. Kegiatan
ini merupakan pembinaan kepada calon-calon penerjemah Perjanjian Lama
ke Bahasa Mee, dan diselenggarakan oleh koordinasi 3 (tiga) klasis yang
masing-masing berkedudukan di kabupaten Dogiyai, Deiyai, dan Paniai.
Ketiga kabupaten tersebut terletak di Provinsi Papua dan merupakan
pemekaran dari Kabupaten Nabire. Penutur bahasa ini pun ada di luar
ketiga kabupaten tersebut. Menurut beberapa sumber, Bahasa Mee adalah
bahasa terbesar kedua yang dituturkan di Papua. Oleh suku sekitarnya,
orang Mee dikenal sebagai orang Ekari. Namun mereka lebih memilih
disebut sebagai orang Mee.
Menuju lokasi
![]() |
Pemandangan Danau Tigi |
Tiba pada tanggal 23 Januari, Tim LAI dijemput
dari Bandara Douw Atuture, Nabire. Di sana tim LAI bergabung dengan tim Gereja
KINGMI, yang dikoordinasi oleh Yulianus Anouw dan Dominggus Bobii dan segera
menuju lokasi kegiatan, Waghete, Kabupaten Deiyai. Perjalanan darat dari Kota
Nabire memakan waktu -/+ 7 jam. Di sana sudah berkumpul para peserta dari
koordinasi 3 klasis Gereja KINGMI. Masing-masing mewakili 3 wilayah tersebut di
atas. Tim disambut dengan hangat kendati cuaca dingin pegunungan di Alyatei dan
melewati malam di sana. Dan agenda padat di hari berikutnya menanti.
Seminar & Pelatihan
Hari berikutnya, 24 Januari, di aula mereka
diadakan perkenalan Tim LAI sesudah ibadah pembuka yang dipimpin Pdt. Dominggus
Bobii. Khotbah disampaikan oleh pendeta dari klassis koordinasi Dogiyai.
Seluruh kegiatan diberi tema “Berubah untuk menjadi kuat”. Di samping itu
panitia membuat subtema yang cukup mencerminkan pergumulan hamba-hamba Tuhan
dan jemaat mereka: “Prioritaskan persatuan hamba Tuhan demi mempertahankan
kualitas dan kuantitas umat Tuhan dalam pelayanan untuk menghadapi era
globalisasi”. Sesuai dengan agenda yang ditunjukkan pada hari itu, acara
seminar dan pelatihan dari tim LAI akan dimulai esok harinya, 25 Januari,
bertempat di aula yang sama. Sementara untuk pembuka, 2 materi seminar
diberikan oleh Yulianus Anouw dan Dominggus Bobii, yang bertajuk pendidikan dan
globalisasi.
Tema-tema pilihan untuk seminar merupakan
permintaan dari pihak Gereja KINGMI demi meningkatkan kualitas pelayanan para
hamba Tuhan di sana. Seminar dimulai dengan materi yang diberikan Sdri. Lady
Mandalika. Materi bertajuk karakter dan etika hamba Tuhan. Lady memaparkan
sisi-sisi sosial etis pelayanan gereja berangkat dari teks-teks Alkitab.
Ditekankan bagaimana gereja perlu melebarkan pelayanan tidak hanya pada
pelayanan ritual/seremonial. Kemudian materi berikutnya mengenai asal usul
Alkitab disampaikan oleh Jadesmon Saragih. Pemaparan materi berkisar apa
sebenarnya Alkitab yang kita miliki dan sejarah uniknya. Kepelbagaian tema di
Alkitab dan sejarahnya juga mengarahkan audiens untuk terbuka kepada tradisi
gereja yang berbeda. Kedua materi yang diberikan disambut baik dengan beberapa
pertanyaan. Tidak semua pertanyaan bisa dijawab karena berhubungan dengan
sejarah masyarakat Mee dan penginjilan di antara mereka. Misalnya, setelah
materi asal-usul Alkitab seseorang bertanya tentang siapakah yang membawa Alkitab
kepada orang-orang Mee. Selain itu, melalui pertanyaan audiens nampak
ketidaksediaan sebagian terhadap ide pelayanan dari segi sosial ekonomi. Bagi
sebagian kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan
gereja.
![]() |
Sdri. Lady menyampaikan materi |
Setelah jam makan siang (13.00-14.00 WIT)
kegiatan lanjut ke pelatihan tim penerjemah. Kali ini Sdri. Lady Mandalika
memulai dengan pemaparan dasar “Dinamika Penerjemahan”. Materi diselingi dengan
pertanyaan-pertanyaan kepada pemateri dan diskusi di antara audiens dalam bahasa
mereka. Di tengah kesulitan mengikuti diskusi mereka, melalui beberapa
klarifikasi Tim LAI bisa memastikan mereka memahami materi yang ada. Dari
bahasan yang diberikan persoalan idiom dan metafor diberi perhatian khusus
dalam usaha penerjemahan bahasa Mee.
Pada 26 Januari, Sdr. Jadesmon Saragih memulai
dengan materi bertajuk “Mencari Makna Kata”. Melalui ini pemahaman calon tim
penerjemah diasah mengenai bagaimana konteks menentukan arti suatu kata. Dengan
demikian, penerjemahan yang (terlalu) literal akan dihindari. Selanjutnta,
Sdri. Lady Mandalika membimbing untuk menerjemahkan puisi yang kaya dengan
metafora. Materi-materi ini diharapkan meningkatkan pemahaman peserta dengan
adanya contoh-contoh dan latihan.
Sesudah makan siang, diadakan sesi latihan
menerjemahkan teks narasi. Dipandu oleh Sdr. Jadesmon, peserta dibagi ke dalam
3 kelompok. Mereka diberikan kesempatan menerjemahkan Kejadian 26:1-6, teks
narasi yang tidak ada dalam Perjanjian Lama Mee. Masing-masing menerjemahkan 2
ayat dari teks tersebut. Secara keseluruhan latihan ini menunjukkan sejauh mana
mereka bisa bekerja berkaitan dengan teks narasi. Tim LAI menilai mereka dapat
mengerjakannya dengan baik. Sdri. Lady kemudian melanjutkan dengan paparan
mengenai alur penyiapan naskah sesuai dengan ketentuan LAI (Prosedur
Pengendalian Penerjemahan). Dengan itu peserta diharapkan memahami bagaimana
proses yang akan dilalui, teknologi apa yang dipakai (untuk memeriksa
kesalahan), serta peran tim penerjemah yang akan dibentuk. Penjelasan Sdr. Lady
ini memungkas rangkaian seminar dan pelatihan yang berlangsung sejak 2 hari
lalu.
Suku Mee dan Alkitab
![]() | |
Merajut noken (Sumber: http://kebudayaanindonesia.net) |
Orang Mee mengenal Allah dengan sebutan
Ugatamee, yang artinya “Pencipta manusia”. Menarik menurut orang-orang Mee,
mereka telah memiliki “Sepuluh Hukum” sebelum kedatangan Injil. Oleh karena itu
mereka bisa menerima Injil “dengan hati terbuka”. Contohnya, mereka sejak dulu
melarang zinah dan akan menghukum mati siapa saja yang melakukannya. Termasuk
hari Sabat sudah dikenal, kata mereka, sebelum datangnya Injil. Tidak heran,
kenyataan ini memberi kekhasan bagi orang-orang Mee dibandingkan suku-suku lain
di sekitar mereka. Tentu saja hal ini menarik untuk ditelusuri lebih lanjut
terutama sejarah Injil itu masuk dalam kehidupan orang Mee.
Akhir kata
Seluruh kegiatan secara resmi ditutup dalam
doa dan foto bersama. Di akhir itu pula laporan dari panitia disampaikan,
menjelaskan bagaimana seluruh kegiatan khususnya dari segi pendanaan bisa
dilangsungkan. Kembali pada momen ini kebutuhan untuk bersatu menjadi sangat
penting bagi jemaat dan pendeta mereka. Antusiasme peserta dalam mengikuti
kegiatan seminar dan pelatihan serta apiknya koordinasi panitia dalam
penyelenggaraannya menegaskan bahwa semua dapat tercapai dalam persatuan tidak
hanya di antara jemaat tetapi hamba-hamba-Nya. Kegiatan bukan hanya perihal
penerjemahan tetapi menyentuh hal yang mendasar dalam tubuh jemaat dan hamba
Tuhan di sana.
Injil yang berakar dalam identitas diri orang Mee adalah kekuatan mereka. Sulit mengatakan Injil mengubah hidup mereka. Barangkali, lebih tepatnya orang Mee memberi tempat bagi Injil. Mereka bisa menunjukkan bagaimana beriman secara Mee. Hanya saja, tantangan globalisasi mendorong
mereka untuk memperlengkapi diri mereka sebaik-baiknya. Benar saja, hal utama yang mereka perlukan adalah semangat untuk bersatu.
*semua foto adalah dokumentasi penulis kecuali yang disebut sumbernya.