Jadesmon
Saragih, M.Theol. / Departemen Penerjemahan - Lembaga Alkitab Indonesia.
Disampaikan dalam
Ibadah Pendalaman Alkitab, BAPEKKRIS, PT BTN (Persero) Tbk, Menara BTN
Lt. 12 (Jakarta, 22 Juli 2016)
Kiranya Engkau berkenan dengan ucapan mulutku dan renungan hati kami, ya Tuhan, Gunung Batu dan Penebus kami. Amin
Saudara-saudari sekalian,
beberapa waktu
yang lalu, di bulan Desember, di tengah-tengah ingar-bingar persiapan perayaan
Natal, saya mendapat kesempatan menyusun liturgi untuk ibadah natal sebuah
persekutuan. Bagian menarik sekaligus menyita pikiran dari penyusunan ini adalah
menentukan pesan apa yang hendak disampaikan melalui liturgi. Mulai dari nas
mana yang digunakan. Maka diputuskanlah untuk menggunakan teks dari Injil Lukas 2:
8-
20. Nas ini menarik karena
digunakan begitu sering untuk menggambarkan bagaimana suasana Natal
perdana. Ada kesukaan yang mengatasi ketakutan para gembala. Ada sejumlah besar
bala tentara surga yang memuji Allah. Sesudah melihat sang bayi yang baru
lahir, para gembala pulang sambil memuji dan memuliakan Allah. Pokoknya, gegap
gempita di malam Natal perdana sebagaimana kita bisa rasakan berasal dari teks
Lukas ini. Lukisan-lukisan bertema Natal pun banyak mengambil inspirasi dari
teks ini.
Namun, apa yang
dikatakan tentang Maria, ibunda Yesus? Perempuan yang baru melahirkan sang
putra ini digambarkan dalam satu ayat, ayat 19. Dikatakan bahwa ia “menyimpan
segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” Bagaimana sikap Maria
ini dilukiskan dalam kisah-kisah atau drama Natal kita selama ini? Suatu sikap
yang seolah-olah kontras dengan gambaran Natal yang penuh semarak, kesukaaan, dan, mudah-mudahan tidak berlebihan,
ingar bingar perayaan. Alih-alih bersorai-sorai dalam perayaan ini, sosok Maria
menyimpan segala perkara dalam hatinya dan merenungkannya. Ada keheningan.
Kesendirian. Sebentuk kekhusukan dalam diri sang bunda Tuhan!
Saudara-saudari
sekalian, kita berhadapan dengan gaya kesaksian penginjil Lukas yang menarik. Teks
yang kita dengarkan bersama-sama adalah kesaksian Kitab Injil tentang bagaimana
Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama. Kalau kita membandingkan versi
Lukas dengan kisah yang sama dalam Matius 4:18-22 dan Markus 1:16-20, kita bisa
langsung menemukan apa yang berbeda. Versi Markus dan Matius begitu ringkas:
Yesus menjumpai mereka, yakni Simon dan Andreas, Yakobus dan Yohanes, mengajak
mereka untuk ikut menjala manusia, kemudian mereka ikut. Selesai. Versi Lukas
jelas lebih panjang dan lebih dramatis. Memang Lukas dikenal dalam sejarah
Kekristenan sebagai seorang yang berpendidikan, seorang tabib, dan karena itu
menguasai cara mengungkapkan pemikiran lewat lisan maupun tulisan. Melalui
tangannya peristiwa pemanggilan murid-murid pertama diungkapkan secara khas
lewat kitab Injilnya.
Dua Injil yang lain, Matius dan Markus, memulai dengan Yesus yang berjalan sendirian di
tepi danau Galilea. Tetapi Lukas memulai dengan Yesus yang dikerumuni orang-orang yang
ingin mendengarkan firman Allah. Penginjil satu ini nampaknya memberikan lukisan yang lebih vivid bagaimana Yesus mengajar dari atas perahu lalu meninggalkan kerumunan orang itu
dan bertolak untuk menjala ikan bersama Simon dan rekan-rekan lain.
Ada lebih banyak percakapan antara Yesus dan Simon jika dibandingkan dalam versi Matius dan Markus. Tepatnya
ada dua babak percakapan:
Pertama, Yesus menyuruh Simon untuk bertolak ke
tempat yang dalam dan menebarkan jalanya di sana. Kemudian dijawab oleh Simon
dengan bercerita tentang pekerjaannya sepanjang malam dan hasil yang nihil.
Tetapi, lanjut Simon, ia akan tetap pergi menebarkan jalanya karena perkataan
Yesus.
Kedua, ketika mukjizat terjadi sampai mereka kewalahan menghadapi
tangkapan yang luar biasa banyaknya, Simon berkata kepada Yesus: “Tuhan,
pergilah dari hadapanku karena aku ini seorang berdosa.” Penginjil Lukas
menjelaskan kenapa Simon bisa berkata demikian: karena mereka menyaksikan
betapa banyaknya ikan yang mereka tangkap. Suatu mukjizat yang terjadi di depan
mata mereka. Apa yang disaksikan oleh mereka membawa Simon kepada satu
pengakuan tentang dirinya. Suatu kacamata baru untuk melihat dirinya sendiri
diberikan melalui peristiwa mukjizat kala itu.
Saya bertanya
dalam hati, bukankah ini tujuan dari mukjizat bagi setiap orang yang
mengalaminya: untuk membawa seseorang kepada pengertian dan pengakuan yang
jelas dan jernih tentang dirinya. Dalam pengalaman Simon dan kawan-kawan,
peristiwa mukjizat tangkapan besar tidak ada nilai pada peristiwa itu sendiri.
Itu hanya alat untuk hal yang jauh lebih mendasar dan krusial: suatu pengakuan
di hadapan Tuhan sendiri. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati, bukankah
pengakuan di hadapan Tuhan sendiri tentang siapa diri kita semestinya jauh lebih
“mencemaskan” daripada pengakuan dan kesaksian di hadapan orang-orang lain, publik,
sidang jemaat, pemimpin jemaat, dsb? Apalagi ketika kesaksian iman di hadapan
orang-orang dianggap lebih menarik daripada aktivitas doa pribadi yang harus
kita lakukan di hadapan Tuhan. Kita bisa berada di dua wilayah: antara mengaku
di hadapan Tuhan dan mengaku di hadapan manusia. Antara menampakkan kehidupan
kudus kita di hadapan manusia dan mengenal lebih baik lagi siapa diri kita di
hadapan Tuhan. Yang satu sebenarnya tidak bisa lepas dari yang lain.
Peristiwa itu
membawa pencerahan kepada Simon. Ada dua hal yang dicerahkan sekaligus:
Pertama, cara Simon melihat Yesus dan caranya melihat dirinya sendiri. Mukjizat
itu membuka matanya akan siapa Yesus sejatinya. Simon awalnya melihat tidak
lebih dari seorang guru Taurat yang patut ia hormati. Ketaatannya kepada
perkataan Yesus hanyalah ketaatan permukaan saja. Ketaatan sopan-santun. Tetap
ada keraguan di dirinya mengingat pengalaman semalam suntuk tidak membuahkan
hasil. Tetapi kemudian apa yang baru dialaminya mengubah pandangannya. Yesus
kini diakui sebagai Tuhan yang sungguh berbeda dari dirinya. Kedua, matanya
dibukakan perihal siapa dirinya sejati: seorang yang berdosa! Respons bagaimana
lagi yang lebih pantas ketika berhadapan dengan dia yang mengendalikan
kehidupan? Sikap Simon menandakan kerendahan yang sepatutnya dimiliki setiap
orang percaya.
Jika Maria menyimpan semua perkara dan merenungkannya dalam
hati, itu bukan dimengerti sebagai tindakan yang pasif, yang egosentris, yang
tidak ekspresif terhadap karya penyelamatan dari Tuhan. Bukan juga dikarenakan Maria adalah seorang
perempuan. Sikap ini adalah satu sikap reflektif yang memungkinkan seseorang
bisa melihat arti sesuatu bagi dirinya, untuk mengenal dirinya dengan lebih
jelas. Maria jelas memandang dirinya sebagai hamba Tuhan, sebagaimana
dikatakannya kepada malaikat, "Sesungguhnya aku ini
adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Luk 1:38).
Ada kaitan yang
menarik kalau kita melihat antara sikap Maria Ibunda Yesus dengan ungkapan
Simon kala pertama berjumpa Yesus. Maria sudah berjumpa dengan malaikat sebelum
ia melahirkan bayi Yesus. Ia sudah mendengar dan menyimpan serta merenungkan
banyak perkara dalam hatinya. Ia telah menerima dirinya sebagai hamba sejak
saat itu. Dan hingga saat ketika melahirkan sang bayi kudus, ia tetap setia
sebagai hamba Allah. Bagi Maria menyimpan perkara dan merenungkannya adalah
bagian dari kehidupannya di hadapan Tuhan. Ia pula pada saatnya menjadi saksi
mata untuk berita Injil. Tugas Maria menyimpan semua perkara itu. Perkara dan
peristiwa yang berharga tentang Yesus. Ingatan sang ibunda Allah menjadi tempat
bagi peristiwa suci, momen-momen kudus Yesus yang dilahirkan. Keheningan dan
ketenangan Maria adalah keheningan kudus. Perenungan yang ia lakukan adalah
perenungan yang menjaga peristiwa-peristiwa kudus itu dalam ingatannya.
Berbeda dari
Maria, Simon mengenal Yesus secara sebagian saja dan dalam waktu yang tidak
lama. Perjumpaannya dengan Kristus seolah-olah tiba-tiba. Terkesan terlalu cepat. Pernyataannya pun nampak
tergesa-gesa. Namun yang pasti Simon mengungkapkan apa yang dialaminya secara jujur. Ia mengalami ketakutan ketika berhadapan dengan yang ilahi, dengan Pribadi yang sama
sekali berbeda derajatnya dengan dirinya: Yang ilahi yang bisa mematikan
dirinya bagaikan rumput kering yang siap terbakar oleh api. Permintaan Simon
agar Yesus menjauhinya bukan tanpa alasan. Namun pengalaman menakutkan ini berubah menjadi pengalaman yang mencerahkan dan membebaskan.
Perubahan itu terjadi dan ini sekali lagi hanya dimungkinkan oleh prakarsa Tuhan. Jawaban Yesus,
“Jangan takut” adalah sama dengan yang disampaikan malaikat kepada Maria (Luk
1:30). Kali ini kata-kata ini diucapkan oleh Yesus kepada Simon yang tengah
ketakutan. Rasa ketakutan adalah reaksi yang wajar dalam diri manusia ketika
berhadapan dengan apa yang lebih berkuasa dari dirinya. Namun ketakutan Simon
dijawab dengan penerimaan dari Tuhan. Pada titik inilah perubahan terjadi dalam
diri Simon (dan kawan-kawan), ia dijadikan “penjala manusia.” Ia tidak lagi
memikirkan perihal duniawi, melainkan kerajaan Allah. Dari penjala ikan menjadi
penjala manusia! Dari kehidupan yang bercirikan urusan duniawi kepada kehidupan
bercirikan kerajaan Allah. Dari mengejar kebutuhan-kebutuhan tubuh / daging
kepada mencari kebenaran dan kehendak Allah. Penginjil Matius menjelaskan hal
ini dalam bagian tentang
kekuatiran (Mat 6:25-34). Kita pastinya tahu sekali dengan ayat
dalam
Matius yang berbunyi, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kehendak-Nya,
maka
semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (pasal 6, ayat 33). Namun dalam
kisah
pemanggilan para murid, seorang Simon berhadapan dengan Tuhan sendiri
yang
mengubah dirinya. Ia tidak mendengarkan pengajaran, arahan dan nasehat
dari
sang guru. Ia mengalami sendiri melalui perjumpaannya dengan Yesus. Hal
itu
mengubahkan hidupnya. Hal itu membulatkan hatinya untuk mengambil
keputusan
untuk mengikuti Yesus. Ia tidak HANYA MENGIKUTI tetapi juga MENINGGALKAN
semuanya! Benar sekali, dalam Injil Lukas, Yesus menuntut radikalitas
semacam
ini dalam diri setiap orang yang dipanggil-Nya. Dietrich Bonhoeffer, seorang
teolog Jerman, pernah menulis seperti ini: "Ketika Kristus memanggil
seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan untuk mati!" Spirit inilah yang dituntut ketika seseorang memutuskan untuk mengikuti Tuhan. Bonhoeffer membuktikan apa yang ia tulis: di usia muda ia mati dalam pengasingan Nazi sebagai martir demi kebenaran.
Pengalaman berjumpa dengan Yesus diberi
perhatian dalam kisah pemanggilan ini. Jika dalam Injil Matius dan Markus,
Yesus berkata: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat
4:19; Mar 1:17), Yesus dipandang sebagai pribadi yang berkuasa. Ia memanggil
dan menjadikan nelayan itu penjala manusia. Dan mereka pun ikut. Penginjil
Lukas memberikan nuansa yang berbeda dan menarik. Kata-kata Yesus dalam kisah
pemanggilan dalam Injil Lukas berbunyi: “Jangan takut, mulai sekarang engkau
akan menjala manusia.” Perhatikan bagaimana kata aku (Yesus) tidak dipakai.
Hanya kata ganti engkau (Simon). Ada perhatian khusus terhadap pergumulan yang
dialami Simon dengan kata-kata “Jangan takut.” Kata-kata ini memiliki arti yang
luar biasa sebagai jawaban terhadap pergumulan seseorang seperti Simon. Dengan kata-kata ini bagian terlemah seseorang disentuh.
Seketika itu Simon
menggumuli keadaannya di hadapan Kristus, Tuhan yang berbeda sama sekali dari
dirinya. Ia jatuh tersungkur, tidak mampu (berani) menatap wajah Yesus. Apa
yang dianggapnya sebagai penghidupannya tidak berarti apa-apa di hadapan
Tuhan. Hal ini ditunjukkan melalui tangkapan yang luar biasa banyak
dibandingkan nihilnya hasil selama semalam menebar jala. Kontras ini, antara
nihil tangkapan sepanjang malam dan tangkapan yang luar biasa melimpah, tidak
mendatangkan sukacita sebagaimana sewajarnya dirasakan oleh nelayan seperti
Simon. Justru tangkapan yang luar biasa banyak itu mendatangkan ketakutan.
Menarik, bukan? Simon nampaknya menyadari satu hal yang melampaui apa yang biasa
dipikirkan manusia. Ia tidak bersukacita karena hasil tangkapan besar itu. Ia
melihat lebih jauh, lebih mendasar. Ia melihat dirinya sendiri!
Saudara-saudari sekalian, teks kita luar biasa menyingkapkan
bagaimana kita perlu menyediakan waktu untuk melihat diri kita di hadapan
Kristus. Seperti Simon (dan kawan-kawan), ia melihat dirinya dalam terang yang
baru. Pertama-tama adalah selalu inisiatif / prakarsa Tuhan yang mengubah hidup
kita. Kristus yang memanggil kita. Segala bentuk pelayanan yang kita lakukan
semestinya memang menolong kita untuk melihat diri kita. Kita adalah
pelayan-pelayan Tuhan. Hiruk pikuk pelayanan dan kesibukan kita tidak ada
artinya tanpa kesempatan melalui itu untuk melihat kita sebagai pelayan dan hamba Tuhan. Awalan dan muara pelayanan
kita seharusnya adalah kerendahan hati yang penuh di hadapan Tuhan.
Kerendahan hati dalam
melihat diri kita pula memampukan kita mengasihi dengan lebih baik.
Melihat diri kita sebagai orang yang dikasihi dengan sempurna menolong kita
mengasihi sesama kita dengan lebih baik. Jujur saja, kita perlu mengakui bahwa
kita secara emosional mudah jatuh hati, mengasihi orang lain, menerima mereka
apa adanya, serta berkorban bagi mereka. Namun dalam banyak situasi, kita gagal
untuk “mengasihi diri kita” karena citra yang buruk tentang diri kita sendiri.
Kita malu terhadap gambaran diri kita sendiri. Namun jawaban Tuhan atas ketakutan dan kekuatiran kita mengubah itu. Perintah
terbesar yang digemakan oleh Yesus, untuk “Mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti diri sendiri” ternyata kali ini memiliki dimensi yang
menarik untuk kita renungkan. Kita harus mengasihi sesama seperti mengasihi
diri kita sendiri. Mengasihi diri sendiri tidak dimengerti sebagai cinta-diri, yang
narsistis! Panggilan Kristus secara langsung kepada kita memungkinkan adanya
penerimaan juga terhadap diri kita, sebentuk kasih diri yang bersumber dari
Tuhan.
Saudara-saudari
sekalian, ajakan bagi kita
untuk menyeimbangkan aktivitas pelayanan kita dengan kesediaan untuk belajar
melihat diri kita di hadapan Kristus yang mulia. Hati sebagai hamba demikianlah
semestinya yang mendasari setiap bentuk pelayanan kita. Dari Tuhanlah panggilan
kita dan kepada Tuhanlah semuanya kita persembahkan. Selamat melayani dengan
hati sebagai hamba, seperti Maria, seperti Simon (dan kawan-kawan). Dasar pelayanan
ternyata bukan hanya tentang memuji dan memuliakan Nama Tuhan, tetapi juga
kesempatan bagi diri kita untuk menghayati kasih karunia dalam saat teduh
perjumpaan kita dengan Tuhan yang selalu baru.
Tuhan memberkati kita melalui firman-Nya. Amin.