Selasa, 31 Oktober 2017

The Jewish Gospels:The History of the Jewish Christ

The Jewish Gospels:The History of the Jewish Christ ditulis oleh Daniel Boyarin, terbit di tahun 2012. Boyarin adalah Professor kebudayaan Talmud dan retorika di Universitas California, Berkeley.

Secara garis besar Boyarin mengamati semakin diakui bahwa kitab-kitab (Injil maupun surat-surat) yang dipegang orang Kristen merupakan bagian dari keagamaan umat Israel di abad pertama Masehi. Ia melihat bahwa apa yang dipahami sebagai Kristologi Kristen, yaitu Yesus sebagai Mesias, yang manusia sekaligus ilahi itu,  juga ada dalam ranah keagamaan Yahudi pada masanya (hlm. 22).

Kuncinya adalah keberagaman Yudaisme pada abad-abad pertama. Dan menurut Boyarin sudah sepatutnya batasan-batasan antara Yahudi dan Kristen di masanya tidak lagi dipertajam. Sebaliknya harus dikaburkan! Dengan demikian, kita bisa memahami situasi sejarah dengan lebih jelas berkaitan dengan perkembangan Kekristenan mula-mula dan agama Yahudi. Konsep-konsep tentang Yesus sebagai anak Allah, dan bahkan Tritunggal (hlm. 102), ternyata bukanlah barang baru dan mengejutkan dalam konteks agama Yahudi abad pertama. Kepercayaan para pengikut Kristus mula-mula harus dilihat dalam konteks keberagaman dalam agama Yahudi sendiri.

Seperti diungkapkan salah satu endorser-nya (J. J. Collins, Yale), buku ini termasuk provokatif. Ya, sangat provokatif untuk sebuah buku kecil dengan beberapa argumen yang tidak mudah diterima. Mungkinlah tujuan penulis semata memprovokasi diskusi yang lebih tentang hubungan Yahudi dan Kristen di abad pertama. Schaefer dalam tinjauannya terhadap buku ini menyesali minimnya originalitas Boyarin dan menganggapnya sangat spekulatif. Buku ini nampaknya gagal memperhitungkan kebaharuan ide-ide gerakan kekristenan yang berlainan dari matriks agama Yahudi. Mengaburkan batasan antara keduanya sungguh mengecewakan dan membuat pembaca mengernyitkan dahi. Seperti yang diingatkan Larry Hurtado dalam blog post-nya, salah satu keunikan para pengikut Kristus adalah kepercayaan kepada Kristus yang bangkit dan memberi-Nya devosi yang sama seperti kepada Allah sendiri. Memang, masih sulit membayangkan bagaimana sebuah gerakan Kristen yang begitu distinctive dan berpengaruh bisa muncul dan menjadi identitas tersendiri di lingkungan Yahudi seperti yang digambarkan Boyarin. Walaupun demikian, gagasan bahwa tidak ada pemisah yang jelas antara Kristen Yahudi dan Yahudi sendiri beralasan ketika kita menelisik apa itu identitas bagi masing-masing mereka. Apa yang ciri seorang Kristen pada waktu itu? Boyarin menyadari betul permasalahan menyangkut identitas yang dicirikan seumpama membuat checklists fitur-fitur yang menandakan suatu kelompok. Ia mau katakan bahwa pada masa ketika Injil ditulis identitas Kristen masih sangat terpaut dengan Keyahudian sehingga nyaris tidak mungkin untuk melihat Kekristenan sebagai suatu identitas tersendiri yang kemudian berhasil menjadi agama berbeda. Misalnya, selama berabad-abad di antara penganut Agama Yahudi yang taat ada yang juga mengimani keilahian Yesus. Bahkan, istilah "keyahudian" atau "Agama Yahudi" sarat dengan gagasan identitas yang mengandaikannya sebagai kategori yang jelas dan mudah dibedakan. Pertanyaan berikut menarik: Bagaimana kita dapat berbicara tentang Kristen dan Yahudi di abad-abad pertama ketika kedua kategori tersebut belum dapat mewakili situasi sebenarnya? Itulah yang patut diapresiasi dari buku kecil Boyarin ini.


Jumat, 27 Oktober 2017

Betulkah Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani?


Ketika duduk di bangku sekolah dan menerima pelajaran Agama Kristen, kita sudah belajar bahwa Alkitab ditulis dalam 2 bahasa utama, yakni Ibrani untuk PL dan Yunani Koine untuk PB. Adapun Yunani Koine merupakan ragam bahasa Yunani yang dipakai dalam masyarakat yang dipengaruhi budaya Helenis (Yunani) dari abad ke-3 SM hingga ke-2 M. Syukurlah jika masih banyak di antara kita mengingat pelajaran berharga ini. Namun, ternyata banyak orang berpandangan yang berbeda mengenai PB.


Ketika Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menghadapi gugatan kalangan tertentu yang mengecam Alkitab terjemahan LAI di meja hijau, ada hal yang menarik untuk diamati. Saksi ahli dari pihak penggugat menyampaikan argumentasinya dengan mengutip ayat-ayat dari PB dengan merujuk pada bahasa aslinya, yang menurut keyakinannya adalah bahasa Ibrani. Saksi ahli itu dengan lancar mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Ibrani. Bahkan ia menyebutkan nama-nama kitab secara berbeda dari yang lazimnya, semisal Injil Yohanes disebutnya dengan Injil Yokhanan. Jelas sekali, baginya, PB berasal dari bahasa Ibrani dan nama-nama yang sudah dikenal pun sejatinya adalah nama-nama Ibrani. Alasan utama mengapa demikian adalah fakta bahwa Yeshua (memang demikian nama Yesus dalam bahasa Ibrani) berbahasa Ibrani (bukan Aram apalagi Yunani) sehingga tidaklah wajar apabila kitab-kitab PB kemudian ditulis dalam bahasa Yunani. Selain itu, ia meyakini nama tidak dapat diterjemahkan! Benarkah demikian?


Rylands Library Papyrus P52
Namun, perlu diketahui bahwa tidak ada bukti jika kitab-kitab PB ditulis dalam bahasa Ibrani. Kenyataannya, kita memiliki lebih dari 5800 manuskrip kuno PB dalam bahasa Yunani yang kemudian menjadi dasar penerjemahan PB ke dalam berbagai bahasa. Fragmen PB paling tua berasal dari akhir abad ke-2 dan kini tersimpan di John Rylands University Library, Manchester, Inggris. Memang ada juga beberapa manuskrip dalam bahasa Ibrani, semisal Du Tillet yang barangkali berasal dari Italia abad ke-14. Tidak banyak, dan bisa dipastikan naskah semacamnya merupakan terjemahan dari bahasa Yunani (atau bahasa lain). Jika demikian, dari manakah saksi ahli penggugat LAI itu mendapat teks PB dalam bahasa Ibrani yang dipakainya dan diyakininya sebagai PB yang asli? Tidak lain terjemahan dari bahasa Yunani atau bahkan dari bahasa lain! Berdasarkan keyakinan bahwa PB yang asli dalam bahasa Ibrani, pendukung teori ini berusaha merekonstruksi “teks asli” dengan menerjemahkan balik ke bahasa Ibrani. Mengherankan sekali bagaimana teori semacam ini begitu banyak peminatnya dan bukti tekstual yang ada dengan begitu saja diabaikan.


Sebenarnya alasan kelompok "Ibrani" begitu yakin PB pertama kali ditulis dalam bahasa Semit ini adalah kenyataan bahwa ada Semitisme (pengaruh bahasa Ibrani/Aram) dalam bahasa Yunani yang dipakai dalam naskah-naskah yang ada. Berangkat dari fakta inilah muncul anggapan bahwa PB Yunani yang ada merupakan terjemahan yang "gagal" dari teks Ibrani yang asli. Namun, pendekatan ini jelas mengabaikan fakta lain, bahwa orang-orang Yahudi dan para pengikut Yesus pada abad pertama juga bisa berbahasa Yunani. Mereka multilingual! Kalau dikatakan Yesus berbahasa Ibrani (konsensus para pakar PB menyebutkan Aram sebagai bahasa Tuhan Yesus), hal ini tidak serta merta mengharuskan kita menyimpulkan PB pasti ditulis dalam bahasa yang sama. Bahasa Yunani sudah begitu berakar dalam kehidupan umat pada masa pelayanan Tuhan Yesus, bahkan sebelum dan sesudahnya. Bahasa Yunani koine (koine= umum) telah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca) di Alexandria (Mesir) dan daerah timur Mediterania sedini abad ke-3 SM. Hal ini terbukti dengan digunakannya terjemahan Kitab Suci umat Yahudi ke dalam bahasa Yunani, yakni yang kini dikenal sebagai LXX (Septuaginta). Well, tidak tepat juga menyebutnya sebagai terjemahan, karena ada beberapa kitab yang memang ditulis asli dalam bahasa Yunani. Keterangan mengenai terjemahan yang berotoritas ini diperoleh dari Surat Aristeas dan catatan sejarahwan. Bagaimana kita tahu LXX digunakan pada waktu itu? Sejarah teks Alkitab sendiri yang mengungkapkannya. Contoh, ketika Matius mengutip Yes 7:14 (Sesungguhnya, seorang perempuan muda [Ibr. haʿalmanah] mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel), ia tidak secara persis mengutip perkataan Yesaya "Sesungguhnya, anak dara itu [Yun. hē parthenos] akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” (Mat 1:23). Bagaimana “perempuan muda” menjadi “anak dara” (atau perawan) dalam tulisan Matius? Dalam Yes 7:14, LXX ternyata menyebut parthenos (anak dara atau perawan), kata yang sama seperti dalam Matius. Dengan kata lain, dasar penulisan Matius adalah terjemahan Yunani itu sendiri, bukan Alkitab Ibrani! Hal yang sama berlaku setiap kali penulis kitab PB mengutip PL: mereka selalu mengutip berdasarkan terjemahan LXX.


Sebagaimana sudah disinggung di atas, upaya menemukan kembali teks Ibrani PB dengan menerjemahkan balik (dari bahasa sasaran ke bahasa sumber) pada dasarnya bermasalah. Memang penerjemahan balik masih dilakukan guna menguji sebuah terjemahan. Lembaga Alkitab Indonesia juga memanfaatkan cara ini dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa daerah. Namun, jika untuk merekonstruksi bentuk asli sebuah teks yang dihasilkan ribuan tahun silam, penerjemahan balik (back-translation) merupakan upaya yang beresiko. Dulu, seorang Yahudi, profesor bahasa Arab di Universitas Oxford, David S. Margoliouth (1858-1940) menerjemahkan balik Kitab Ben Sirakh ke dalam bahasa Ibrani. Aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani, Ben Sirakh terpelihara dalam bahasa Yunani. Namun, apa yang terjadi dengan upaya sang profesor? Ketika beberapa porsi Ben Sira dalam bahasa Ibrani akhirnya ditemukan di Cairo Geniza, ternyata tidak ada satu ayat pun yang dengan tepat diterjemahkan balik oleh Prof. D. S. Margoliouth. Jadi, penerjemahan balik sama yang dilakukan para pendukung teori PB Ibrani sebenarnya tidak mungkin mengembalikan teks asli PB jika betul ditulis dalam bahasa Ibrani.


Seandainya betul PB Yunani adalah terjemahan dari PB yang asli dalam bahasa Ibrani, mengapa masih muncul istilah atau ungkapan Aram dalam sebuah terjemahan? Sulit membayangkan bagaimana seorang penerjemah tidak menerjemahkan kata-kata Aram itu. Tulisan yang bukan terjemahan akan lebih cenderung mempertahankan ungkapan asing yang terdapat dalam sumber laporannya. Uraian kita sejauh ini memang tidak memungkiri kemungkinan PB aslinya ditulis dalam bahasa Semit. Namun, belum ada bukti yang kuat untuk meyakini hal itu sebagai kebenaran. Kenyataan lain yang menguatkan PB asli ditulis dalam bahasa Yunani adalah beragamnya gaya bahasa Yunani yang dipakai. Markus menulis dengan gaya bahasa (style) yang sederhana, berbeda dari Lukas yang lebih mendekati gaya tulisan Yunani klasik. Gaya yang berbeda-beda mengindikasikan kemampuan menulis yang berbeda. Berbeda sekali jika seandainya PB merupakan terjemahan karena terjemahan cenderung menggunakan bahasa yang seragam sehingga kecil kemungkinan untuk perbedaan gaya bahasa. Selain memiliki gaya bahasa yang bermacam, kitab-kitab dalam PB berawal dari situasi jemaat yang notabene tidak dominan Yahudi. Injil Markus misalnya ditulis untuk jemaat di Roma yang tidak mengerti bahasa Ibrani. Perjumpaan imam Kristen dengan bangsa-bangsa lain merupakan alasan lain kenapa bahasa Yunani dipakai untuk menyebarkan Kabar Sukacita itu.



Sesungguhnya, tidak keliru jika kita berusaha untuk menggali Alkitab (khususnya PB) dalam terang kebudayaan Semitik di Palestina abad pertama. Namun, menerima PB ditulis dalam bahasa Yunani tidak mesti berarti mengabaikan kenyataan bahwa ruang pelayanan dan berpikir para rasul dan Sang Guru sendiri adalah Semitik (Ibrani atau Aram). Kita harus siap menerima kenyataan bahwa oleh kuasa Roh Kudus Perjanjian Lama ditulis dan dipelihara sampai kini dalam bahasa Ibrani dan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Dan kini setiap orang percaya mereguk air kehidupan dari Firman yang tertulis dalam bahasa mereka masing-masing. Bukankah hal demikian keajaiban yang hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri? (Jadesmon Saragih)

Selasa, 31 Januari 2017

Lokakarya Penerjemahan PL Bahasa Mee (Papua)

Di antara Orang-orang Mee, Papua

Oleh: Jadesmon Saragih


Jakarta, 31 Januari 2017
Pembina yang bertugas: Lady Mandalika, Jadesmon Saragih
Tanggal kegiatan: 24-26 Januari 2017
Catatan kecil ini dibuat setelah melakukan perjalanan dinas  pertama sejak keberangkatan dari Jakarta pada 22 Januari sampai 28 Januari 2017. Perjalanan tersebut bertujuan untuk menfasilitasi kegiatan Pelatihan Tim Penerjemah dan Seminar Hamba Tuhan di gereja KINGMI, Papua. Kegiatan ini merupakan pembinaan kepada calon-calon penerjemah Perjanjian Lama ke Bahasa Mee, dan diselenggarakan oleh koordinasi 3 (tiga) klasis yang masing-masing berkedudukan di kabupaten Dogiyai, Deiyai, dan Paniai. Ketiga kabupaten tersebut terletak di Provinsi Papua dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Nabire. Penutur bahasa ini pun ada di luar ketiga kabupaten tersebut. Menurut beberapa sumber, Bahasa Mee adalah bahasa terbesar kedua yang dituturkan di Papua. Oleh suku sekitarnya, orang Mee dikenal sebagai orang Ekari. Namun mereka lebih memilih disebut sebagai orang Mee.

Menuju lokasi

Pemandangan Danau Tigi
Tiba pada tanggal 23 Januari, Tim LAI dijemput dari Bandara Douw Atuture, Nabire. Di sana tim LAI bergabung dengan tim Gereja KINGMI, yang dikoordinasi oleh Yulianus Anouw dan Dominggus Bobii dan segera menuju lokasi kegiatan, Waghete, Kabupaten Deiyai. Perjalanan darat dari Kota Nabire memakan waktu -/+ 7 jam. Di sana sudah berkumpul para peserta dari koordinasi 3 klasis Gereja KINGMI. Masing-masing mewakili 3 wilayah tersebut di atas. Tim disambut dengan hangat kendati cuaca dingin pegunungan di Alyatei dan melewati malam di sana. Dan agenda padat di hari berikutnya menanti.

Seminar & Pelatihan

Hari berikutnya, 24 Januari, di aula mereka diadakan perkenalan Tim LAI sesudah ibadah pembuka yang dipimpin Pdt. Dominggus Bobii. Khotbah disampaikan oleh pendeta dari klassis koordinasi Dogiyai. Seluruh kegiatan diberi tema “Berubah untuk menjadi kuat”. Di samping itu panitia membuat subtema yang cukup mencerminkan pergumulan hamba-hamba Tuhan dan jemaat mereka: “Prioritaskan persatuan hamba Tuhan demi mempertahankan kualitas dan kuantitas umat Tuhan dalam pelayanan untuk menghadapi era globalisasi”. Sesuai dengan agenda yang ditunjukkan pada hari itu, acara seminar dan pelatihan dari tim LAI akan dimulai esok harinya, 25 Januari, bertempat di aula yang sama. Sementara untuk pembuka, 2 materi seminar diberikan oleh Yulianus Anouw dan Dominggus Bobii, yang bertajuk pendidikan dan globalisasi.
Tema-tema pilihan untuk seminar merupakan permintaan dari pihak Gereja KINGMI demi meningkatkan kualitas pelayanan para hamba Tuhan di sana. Seminar dimulai dengan materi yang diberikan Sdri. Lady Mandalika. Materi bertajuk karakter dan etika hamba Tuhan. Lady memaparkan sisi-sisi sosial etis pelayanan gereja berangkat dari teks-teks Alkitab. Ditekankan bagaimana gereja perlu melebarkan pelayanan tidak hanya pada pelayanan ritual/seremonial. Kemudian materi berikutnya mengenai asal usul Alkitab disampaikan oleh Jadesmon Saragih. Pemaparan materi berkisar apa sebenarnya Alkitab yang kita miliki dan sejarah uniknya. Kepelbagaian tema di Alkitab dan sejarahnya juga mengarahkan audiens untuk terbuka kepada tradisi gereja yang berbeda. Kedua materi yang diberikan disambut baik dengan beberapa pertanyaan. Tidak semua pertanyaan bisa dijawab karena berhubungan dengan sejarah masyarakat Mee dan penginjilan di antara mereka. Misalnya, setelah materi asal-usul Alkitab seseorang bertanya tentang siapakah yang membawa Alkitab kepada orang-orang Mee. Selain itu, melalui pertanyaan audiens nampak ketidaksediaan sebagian terhadap ide pelayanan dari segi sosial ekonomi. Bagi sebagian kesejahteraan masyarakat merupakan tanggung jawab pemerintah, bukan gereja.
Sdri. Lady menyampaikan materi
Setelah jam makan siang (13.00-14.00 WIT) kegiatan lanjut ke pelatihan tim penerjemah. Kali ini Sdri. Lady Mandalika memulai dengan pemaparan dasar “Dinamika Penerjemahan”. Materi diselingi dengan pertanyaan-pertanyaan kepada pemateri dan diskusi di antara audiens dalam bahasa mereka. Di tengah kesulitan mengikuti diskusi mereka, melalui beberapa klarifikasi Tim LAI bisa memastikan mereka memahami materi yang ada. Dari bahasan yang diberikan persoalan idiom dan metafor diberi perhatian khusus dalam usaha penerjemahan bahasa Mee.
Pada 26 Januari, Sdr. Jadesmon Saragih memulai dengan materi bertajuk “Mencari Makna Kata”. Melalui ini pemahaman calon tim penerjemah diasah mengenai bagaimana konteks menentukan arti suatu kata. Dengan demikian, penerjemahan yang (terlalu) literal akan dihindari. Selanjutnta, Sdri. Lady Mandalika membimbing untuk menerjemahkan puisi yang kaya dengan metafora. Materi-materi ini diharapkan meningkatkan pemahaman peserta dengan adanya contoh-contoh dan latihan.
Sesudah makan siang, diadakan sesi latihan menerjemahkan teks narasi. Dipandu oleh Sdr. Jadesmon, peserta dibagi ke dalam 3 kelompok. Mereka diberikan kesempatan menerjemahkan Kejadian 26:1-6, teks narasi yang tidak ada dalam Perjanjian Lama Mee. Masing-masing menerjemahkan 2 ayat dari teks tersebut. Secara keseluruhan latihan ini menunjukkan sejauh mana mereka bisa bekerja berkaitan dengan teks narasi. Tim LAI menilai mereka dapat mengerjakannya dengan baik. Sdri. Lady kemudian melanjutkan dengan paparan mengenai alur penyiapan naskah sesuai dengan ketentuan LAI (Prosedur Pengendalian Penerjemahan). Dengan itu peserta diharapkan memahami bagaimana proses yang akan dilalui, teknologi apa yang dipakai (untuk memeriksa kesalahan), serta peran tim penerjemah yang akan dibentuk. Penjelasan Sdr. Lady ini memungkas rangkaian seminar dan pelatihan yang berlangsung sejak 2 hari lalu.

Suku Mee dan Alkitab

Merajut noken (Sumber: http://kebudayaanindonesia.net)
Orang Mee mengenal Allah dengan sebutan Ugatamee, yang artinya “Pencipta manusia”. Menarik menurut orang-orang Mee, mereka telah memiliki “Sepuluh Hukum” sebelum kedatangan Injil. Oleh karena itu mereka bisa menerima Injil “dengan hati terbuka”. Contohnya, mereka sejak dulu melarang zinah dan akan menghukum mati siapa saja yang melakukannya. Termasuk hari Sabat sudah dikenal, kata mereka, sebelum datangnya Injil. Tidak heran, kenyataan ini memberi kekhasan bagi orang-orang Mee dibandingkan suku-suku lain di sekitar mereka. Tentu saja hal ini menarik untuk ditelusuri lebih lanjut terutama sejarah Injil itu masuk dalam kehidupan orang Mee.

Akhir kata

Seluruh kegiatan secara resmi ditutup dalam doa dan foto bersama. Di akhir itu pula laporan dari panitia disampaikan, menjelaskan bagaimana seluruh kegiatan khususnya dari segi pendanaan bisa dilangsungkan. Kembali pada momen ini kebutuhan untuk bersatu menjadi sangat penting bagi jemaat dan pendeta mereka. Antusiasme peserta dalam mengikuti kegiatan seminar dan pelatihan serta apiknya koordinasi panitia dalam penyelenggaraannya menegaskan bahwa semua dapat tercapai dalam persatuan tidak hanya di antara jemaat tetapi hamba-hamba-Nya. Kegiatan bukan hanya perihal penerjemahan tetapi menyentuh hal yang mendasar dalam tubuh jemaat dan hamba Tuhan di sana.
Injil yang berakar dalam identitas diri orang Mee adalah kekuatan mereka. Sulit mengatakan Injil mengubah hidup mereka. Barangkali, lebih tepatnya orang Mee memberi tempat bagi Injil. Mereka bisa menunjukkan bagaimana beriman secara Mee. Hanya saja, tantangan globalisasi mendorong mereka untuk memperlengkapi diri mereka sebaik-baiknya. Benar saja, hal utama yang mereka perlukan adalah semangat untuk bersatu.
*semua foto adalah dokumentasi penulis kecuali yang disebut sumbernya.

Kamis, 05 Januari 2017

Memandang Diri Kita di hadapan Kristus (Lukas 5:1-11)


Jadesmon Saragih, M.Theol. / Departemen Penerjemahan - Lembaga Alkitab Indonesia. 
Disampaikan dalam Ibadah Pendalaman Alkitab, BAPEKKRIS, PT BTN (Persero) Tbk, Menara BTN Lt. 12 (Jakarta, 22 Juli 2016)

Kiranya Engkau berkenan dengan ucapan mulutku dan renungan hati kami, ya Tuhan, Gunung Batu dan Penebus kami. Amin
Saudara-saudari sekalian,
beberapa waktu yang lalu, di bulan Desember, di tengah-tengah ingar-bingar persiapan perayaan Natal, saya mendapat kesempatan menyusun liturgi untuk ibadah natal sebuah persekutuan. Bagian menarik sekaligus menyita pikiran dari penyusunan ini adalah menentukan pesan apa yang hendak disampaikan melalui liturgi. Mulai dari nas mana yang digunakan. Maka diputuskanlah untuk menggunakan teks dari Injil Lukas 2:8-20. Nas ini menarik karena digunakan begitu sering untuk menggambarkan bagaimana suasana Natal perdana. Ada kesukaan yang mengatasi ketakutan para gembala. Ada sejumlah besar bala tentara surga yang memuji Allah. Sesudah melihat sang bayi yang baru lahir, para gembala pulang sambil memuji dan memuliakan Allah. Pokoknya, gegap gempita di malam Natal perdana sebagaimana kita bisa rasakan berasal dari teks Lukas ini. Lukisan-lukisan bertema Natal pun banyak mengambil inspirasi dari teks ini.

Namun, apa yang dikatakan tentang Maria, ibunda Yesus? Perempuan yang baru melahirkan sang putra ini digambarkan dalam satu ayat, ayat 19. Dikatakan bahwa ia “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” Bagaimana sikap Maria ini dilukiskan dalam kisah-kisah atau drama Natal kita selama ini? Suatu sikap yang seolah-olah kontras dengan gambaran Natal yang penuh semarak, kesukaaan, dan, mudah-mudahan tidak berlebihan, ingar bingar perayaan. Alih-alih bersorai-sorai dalam perayaan ini, sosok Maria menyimpan segala perkara dalam hatinya dan merenungkannya. Ada keheningan. Kesendirian. Sebentuk kekhusukan dalam diri sang bunda Tuhan!

Saudara-saudari sekalian, kita berhadapan dengan gaya kesaksian penginjil Lukas yang menarik. Teks yang kita dengarkan bersama-sama adalah kesaksian Kitab Injil tentang bagaimana Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama. Kalau kita membandingkan versi Lukas dengan kisah yang sama dalam Matius 4:18-22 dan Markus 1:16-20, kita bisa langsung menemukan apa yang berbeda. Versi Markus dan Matius begitu ringkas: Yesus menjumpai mereka, yakni Simon dan Andreas, Yakobus dan Yohanes, mengajak mereka untuk ikut menjala manusia, kemudian mereka ikut. Selesai. Versi Lukas jelas lebih panjang dan lebih dramatis. Memang Lukas dikenal dalam sejarah Kekristenan sebagai seorang yang berpendidikan, seorang tabib, dan karena itu menguasai cara mengungkapkan pemikiran lewat lisan maupun tulisan. Melalui tangannya peristiwa pemanggilan murid-murid pertama diungkapkan secara khas lewat kitab Injilnya.

Dua Injil yang lain, Matius dan Markus, memulai dengan Yesus yang berjalan sendirian di tepi danau Galilea. Tetapi Lukas memulai dengan Yesus yang dikerumuni orang-orang yang ingin mendengarkan firman Allah. Penginjil satu ini nampaknya memberikan lukisan yang lebih vivid bagaimana Yesus mengajar dari atas perahu lalu meninggalkan kerumunan orang itu dan bertolak untuk menjala ikan bersama Simon dan rekan-rekan lain.

Ada lebih banyak percakapan antara Yesus dan Simon jika dibandingkan dalam versi Matius dan Markus. Tepatnya ada dua babak percakapan:
Pertama, Yesus menyuruh Simon untuk bertolak ke tempat yang dalam dan menebarkan jalanya di sana. Kemudian dijawab oleh Simon dengan bercerita tentang pekerjaannya sepanjang malam dan hasil yang nihil. Tetapi, lanjut Simon, ia akan tetap pergi menebarkan jalanya karena perkataan Yesus.
Kedua, ketika mukjizat terjadi sampai mereka kewalahan menghadapi tangkapan yang luar biasa banyaknya, Simon berkata kepada Yesus: “Tuhan, pergilah dari hadapanku karena aku ini seorang berdosa.” Penginjil Lukas menjelaskan kenapa Simon bisa berkata demikian: karena mereka menyaksikan betapa banyaknya ikan yang mereka tangkap. Suatu mukjizat yang terjadi di depan mata mereka. Apa yang disaksikan oleh mereka membawa Simon kepada satu pengakuan tentang dirinya. Suatu kacamata baru untuk melihat dirinya sendiri diberikan melalui peristiwa mukjizat kala itu.

Saya bertanya dalam hati, bukankah ini tujuan dari mukjizat bagi setiap orang yang mengalaminya: untuk membawa seseorang kepada pengertian dan pengakuan yang jelas dan jernih tentang dirinya. Dalam pengalaman Simon dan kawan-kawan, peristiwa mukjizat tangkapan besar tidak ada nilai pada peristiwa itu sendiri. Itu hanya alat untuk hal yang jauh lebih mendasar dan krusial: suatu pengakuan di hadapan Tuhan sendiri. Lagi-lagi saya bertanya dalam hati, bukankah pengakuan di hadapan Tuhan sendiri tentang siapa diri kita semestinya jauh lebih “mencemaskan” daripada pengakuan dan kesaksian di hadapan orang-orang lain, publik, sidang jemaat, pemimpin jemaat, dsb? Apalagi ketika kesaksian iman di hadapan orang-orang dianggap lebih menarik daripada aktivitas doa pribadi yang harus kita lakukan di hadapan Tuhan. Kita bisa berada di dua wilayah: antara mengaku di hadapan Tuhan dan mengaku di hadapan manusia. Antara menampakkan kehidupan kudus kita di hadapan manusia dan mengenal lebih baik lagi siapa diri kita di hadapan Tuhan. Yang satu sebenarnya tidak bisa lepas dari yang lain.

Peristiwa itu membawa pencerahan kepada Simon. Ada dua hal yang dicerahkan sekaligus: Pertama, cara Simon melihat Yesus dan caranya melihat dirinya sendiri. Mukjizat itu membuka matanya akan siapa Yesus sejatinya. Simon awalnya melihat tidak lebih dari seorang guru Taurat yang patut ia hormati. Ketaatannya kepada perkataan Yesus hanyalah ketaatan permukaan saja. Ketaatan sopan-santun. Tetap ada keraguan di dirinya mengingat pengalaman semalam suntuk tidak membuahkan hasil. Tetapi kemudian apa yang baru dialaminya mengubah pandangannya. Yesus kini diakui sebagai Tuhan yang sungguh berbeda dari dirinya. Kedua, matanya dibukakan perihal siapa dirinya sejati: seorang yang berdosa! Respons bagaimana lagi yang lebih pantas ketika berhadapan dengan dia yang mengendalikan kehidupan? Sikap Simon menandakan kerendahan yang sepatutnya dimiliki setiap orang percaya.

Jika Maria menyimpan semua perkara dan merenungkannya dalam hati, itu bukan dimengerti sebagai tindakan yang pasif, yang egosentris, yang tidak ekspresif terhadap karya penyelamatan dari Tuhan. Bukan juga dikarenakan Maria adalah seorang perempuan. Sikap ini adalah satu sikap reflektif yang memungkinkan seseorang bisa melihat arti sesuatu bagi dirinya, untuk mengenal dirinya dengan lebih jelas. Maria jelas memandang dirinya sebagai hamba Tuhan, sebagaimana dikatakannya kepada malaikat, "Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu." (Luk 1:38).

Ada kaitan yang menarik kalau kita melihat antara sikap Maria Ibunda Yesus dengan ungkapan Simon kala pertama berjumpa Yesus. Maria sudah berjumpa dengan malaikat sebelum ia melahirkan bayi Yesus. Ia sudah mendengar dan menyimpan serta merenungkan banyak perkara dalam hatinya. Ia telah menerima dirinya sebagai hamba sejak saat itu. Dan hingga saat ketika melahirkan sang bayi kudus, ia tetap setia sebagai hamba Allah. Bagi Maria menyimpan perkara dan merenungkannya adalah bagian dari kehidupannya di hadapan Tuhan. Ia pula pada saatnya menjadi saksi mata untuk berita Injil. Tugas Maria menyimpan semua perkara itu. Perkara dan peristiwa yang berharga tentang Yesus. Ingatan sang ibunda Allah menjadi tempat bagi peristiwa suci, momen-momen kudus Yesus yang dilahirkan. Keheningan dan ketenangan Maria adalah keheningan kudus. Perenungan yang ia lakukan adalah perenungan yang menjaga peristiwa-peristiwa kudus itu dalam ingatannya.

Berbeda dari Maria, Simon mengenal Yesus secara sebagian saja dan dalam waktu yang tidak lama. Perjumpaannya dengan Kristus seolah-olah tiba-tiba. Terkesan terlalu cepat. Pernyataannya pun nampak tergesa-gesa. Namun yang pasti Simon mengungkapkan apa yang dialaminya secara jujur. Ia mengalami ketakutan ketika berhadapan dengan yang ilahi, dengan Pribadi yang sama sekali berbeda derajatnya dengan dirinya: Yang ilahi yang bisa mematikan dirinya bagaikan rumput kering yang siap terbakar oleh api. Permintaan Simon agar Yesus menjauhinya bukan tanpa alasan. Namun pengalaman menakutkan ini berubah menjadi pengalaman yang mencerahkan dan membebaskan.

Perubahan itu terjadi dan ini sekali lagi hanya dimungkinkan oleh prakarsa Tuhan. Jawaban Yesus, “Jangan takut” adalah sama dengan yang disampaikan malaikat kepada Maria (Luk 1:30). Kali ini kata-kata ini diucapkan oleh Yesus kepada Simon yang tengah ketakutan. Rasa ketakutan adalah reaksi yang wajar dalam diri manusia ketika berhadapan dengan apa yang lebih berkuasa dari dirinya. Namun ketakutan Simon dijawab dengan penerimaan dari Tuhan. Pada titik inilah perubahan terjadi dalam diri Simon (dan kawan-kawan), ia dijadikan “penjala manusia.” Ia tidak lagi memikirkan perihal duniawi, melainkan kerajaan Allah. Dari penjala ikan menjadi penjala manusia! Dari kehidupan yang bercirikan urusan duniawi kepada kehidupan bercirikan kerajaan Allah. Dari mengejar kebutuhan-kebutuhan tubuh / daging kepada mencari kebenaran dan kehendak Allah. Penginjil Matius menjelaskan hal ini dalam bagian tentang kekuatiran (Mat 6:25-34). Kita pastinya tahu sekali dengan ayat dalam Matius yang berbunyi, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kehendak-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.” (pasal 6, ayat 33). Namun dalam kisah pemanggilan para murid, seorang Simon berhadapan dengan Tuhan sendiri yang mengubah dirinya. Ia tidak mendengarkan pengajaran, arahan dan nasehat dari sang guru. Ia mengalami sendiri melalui perjumpaannya dengan Yesus. Hal itu mengubahkan hidupnya. Hal itu membulatkan hatinya untuk mengambil keputusan untuk mengikuti Yesus. Ia tidak HANYA MENGIKUTI tetapi juga MENINGGALKAN semuanya! Benar sekali, dalam Injil Lukas, Yesus menuntut radikalitas semacam ini dalam diri setiap orang yang dipanggil-Nya. Dietrich Bonhoeffer, seorang teolog Jerman, pernah menulis seperti ini: "Ketika Kristus memanggil seseorang, Ia memanggilnya untuk datang dan untuk mati!" Spirit inilah yang dituntut ketika seseorang memutuskan untuk mengikuti Tuhan. Bonhoeffer membuktikan apa yang ia tulis: di usia muda ia mati dalam pengasingan Nazi sebagai martir demi kebenaran.

Pengalaman berjumpa dengan Yesus diberi perhatian dalam kisah pemanggilan ini. Jika dalam Injil Matius dan Markus, Yesus berkata: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia” (Mat 4:19; Mar 1:17), Yesus dipandang sebagai pribadi yang berkuasa. Ia memanggil dan menjadikan nelayan itu penjala manusia. Dan mereka pun ikut. Penginjil Lukas memberikan nuansa yang berbeda dan menarik. Kata-kata Yesus dalam kisah pemanggilan dalam Injil Lukas berbunyi: “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjala manusia.” Perhatikan bagaimana kata aku (Yesus) tidak dipakai. Hanya kata ganti engkau (Simon). Ada perhatian khusus terhadap pergumulan yang dialami Simon dengan kata-kata “Jangan takut.” Kata-kata ini memiliki arti yang luar biasa sebagai jawaban terhadap pergumulan seseorang seperti Simon. Dengan kata-kata ini bagian terlemah seseorang disentuh.
Seketika itu Simon menggumuli keadaannya di hadapan Kristus, Tuhan yang berbeda sama sekali dari dirinya. Ia jatuh tersungkur, tidak mampu (berani) menatap wajah Yesus. Apa yang dianggapnya sebagai penghidupannya tidak berarti apa-apa di hadapan Tuhan. Hal ini ditunjukkan melalui tangkapan yang luar biasa banyak dibandingkan nihilnya hasil selama semalam menebar jala. Kontras ini, antara nihil tangkapan sepanjang malam dan tangkapan yang luar biasa melimpah, tidak mendatangkan sukacita sebagaimana sewajarnya dirasakan oleh nelayan seperti Simon. Justru tangkapan yang luar biasa banyak itu mendatangkan ketakutan. Menarik, bukan? Simon nampaknya menyadari satu hal yang melampaui apa yang biasa dipikirkan manusia. Ia tidak bersukacita karena hasil tangkapan besar itu. Ia melihat lebih jauh, lebih mendasar. Ia melihat dirinya sendiri!

Saudara-saudari sekalian, teks kita luar biasa menyingkapkan bagaimana kita perlu menyediakan waktu untuk melihat diri kita di hadapan Kristus. Seperti Simon (dan kawan-kawan), ia melihat dirinya dalam terang yang baru. Pertama-tama adalah selalu inisiatif / prakarsa Tuhan yang mengubah hidup kita. Kristus yang memanggil kita. Segala bentuk pelayanan yang kita lakukan semestinya memang menolong kita untuk melihat diri kita. Kita adalah pelayan-pelayan Tuhan. Hiruk pikuk pelayanan dan kesibukan kita tidak ada artinya tanpa kesempatan melalui itu untuk melihat kita sebagai pelayan dan hamba Tuhan. Awalan dan muara pelayanan kita seharusnya adalah kerendahan hati yang penuh di hadapan Tuhan.

Kerendahan hati dalam melihat diri kita pula memampukan kita mengasihi dengan lebih baik. Melihat diri kita sebagai orang yang dikasihi dengan sempurna menolong kita mengasihi sesama kita dengan lebih baik. Jujur saja, kita perlu mengakui bahwa kita secara emosional mudah jatuh hati, mengasihi orang lain, menerima mereka apa adanya, serta berkorban bagi mereka. Namun dalam banyak situasi, kita gagal untuk “mengasihi diri kita” karena citra yang buruk tentang diri kita sendiri. Kita malu terhadap gambaran diri kita sendiri. Namun jawaban Tuhan atas ketakutan dan kekuatiran kita mengubah itu. Perintah terbesar yang digemakan oleh Yesus, untuk “Mengasihi Allah dan mengasihi sesama seperti diri sendiri” ternyata kali ini memiliki dimensi yang menarik untuk kita renungkan. Kita harus mengasihi sesama seperti mengasihi diri kita sendiri. Mengasihi diri sendiri tidak dimengerti sebagai cinta-diri, yang narsistis! Panggilan Kristus secara langsung kepada kita memungkinkan adanya penerimaan juga terhadap diri kita, sebentuk kasih diri yang bersumber dari Tuhan.

Saudara-saudari sekalian, ajakan bagi kita untuk menyeimbangkan aktivitas pelayanan kita dengan kesediaan untuk belajar melihat diri kita di hadapan Kristus yang mulia. Hati sebagai hamba demikianlah semestinya yang mendasari setiap bentuk pelayanan kita. Dari Tuhanlah panggilan kita dan kepada Tuhanlah semuanya kita persembahkan. Selamat melayani dengan hati sebagai hamba, seperti Maria, seperti Simon (dan kawan-kawan). Dasar pelayanan ternyata bukan hanya tentang memuji dan memuliakan Nama Tuhan, tetapi juga kesempatan bagi diri kita untuk menghayati kasih karunia dalam saat teduh perjumpaan kita dengan Tuhan yang selalu baru.
Tuhan memberkati kita melalui firman-Nya. Amin.