The Jewish Gospels:The History of the Jewish Christ ditulis oleh Daniel Boyarin, terbit di tahun 2012. Boyarin adalah Professor kebudayaan Talmud dan retorika di Universitas California, Berkeley.
Secara garis besar Boyarin mengamati semakin diakui bahwa kitab-kitab (Injil maupun surat-surat) yang dipegang orang Kristen merupakan bagian dari keagamaan umat Israel di abad pertama Masehi. Ia melihat bahwa apa yang dipahami sebagai Kristologi Kristen, yaitu Yesus sebagai Mesias, yang manusia sekaligus ilahi itu, juga ada dalam ranah keagamaan Yahudi pada masanya (hlm. 22).

Kuncinya adalah keberagaman Yudaisme pada abad-abad pertama. Dan menurut Boyarin sudah sepatutnya batasan-batasan antara Yahudi dan Kristen di masanya tidak lagi dipertajam. Sebaliknya harus dikaburkan! Dengan demikian, kita bisa memahami situasi sejarah dengan lebih jelas berkaitan dengan perkembangan Kekristenan mula-mula dan agama Yahudi. Konsep-konsep tentang Yesus sebagai anak Allah, dan bahkan Tritunggal (hlm. 102), ternyata bukanlah barang baru dan mengejutkan dalam konteks agama Yahudi abad pertama. Kepercayaan para pengikut Kristus mula-mula harus dilihat dalam konteks keberagaman dalam agama Yahudi sendiri.
Seperti diungkapkan salah satu endorser-nya (J. J. Collins, Yale), buku ini termasuk provokatif. Ya, sangat provokatif untuk sebuah buku kecil dengan beberapa argumen yang tidak mudah diterima. Mungkinlah tujuan penulis semata memprovokasi diskusi yang lebih tentang hubungan Yahudi dan Kristen di abad pertama. Schaefer dalam tinjauannya terhadap buku ini menyesali minimnya originalitas Boyarin dan menganggapnya sangat spekulatif. Buku ini nampaknya gagal memperhitungkan kebaharuan ide-ide gerakan kekristenan yang berlainan dari matriks agama Yahudi. Mengaburkan batasan antara keduanya sungguh mengecewakan dan membuat pembaca mengernyitkan dahi. Seperti yang diingatkan Larry Hurtado dalam blog post-nya, salah satu keunikan para pengikut Kristus adalah kepercayaan kepada Kristus yang bangkit dan memberi-Nya devosi yang sama seperti kepada Allah sendiri. Memang, masih sulit membayangkan bagaimana sebuah gerakan Kristen yang begitu distinctive dan berpengaruh bisa muncul dan menjadi identitas tersendiri di lingkungan Yahudi seperti yang digambarkan Boyarin. Walaupun demikian, gagasan bahwa tidak ada pemisah yang jelas antara Kristen Yahudi dan Yahudi sendiri beralasan ketika kita menelisik apa itu identitas bagi masing-masing mereka. Apa yang ciri seorang Kristen pada waktu itu? Boyarin menyadari betul permasalahan menyangkut identitas yang dicirikan seumpama membuat checklists fitur-fitur yang menandakan suatu kelompok. Ia mau katakan bahwa pada masa ketika Injil ditulis identitas Kristen masih sangat terpaut dengan Keyahudian sehingga nyaris tidak mungkin untuk melihat Kekristenan sebagai suatu identitas tersendiri yang kemudian berhasil menjadi agama berbeda. Misalnya, selama berabad-abad di antara penganut Agama Yahudi yang taat ada yang juga mengimani keilahian Yesus. Bahkan, istilah "keyahudian" atau "Agama Yahudi" sarat dengan gagasan identitas yang mengandaikannya sebagai kategori yang jelas dan mudah dibedakan. Pertanyaan berikut menarik: Bagaimana kita dapat berbicara tentang Kristen dan Yahudi di abad-abad pertama ketika kedua kategori tersebut belum dapat mewakili situasi sebenarnya? Itulah yang patut diapresiasi dari buku kecil Boyarin ini.
Secara garis besar Boyarin mengamati semakin diakui bahwa kitab-kitab (Injil maupun surat-surat) yang dipegang orang Kristen merupakan bagian dari keagamaan umat Israel di abad pertama Masehi. Ia melihat bahwa apa yang dipahami sebagai Kristologi Kristen, yaitu Yesus sebagai Mesias, yang manusia sekaligus ilahi itu, juga ada dalam ranah keagamaan Yahudi pada masanya (hlm. 22).

Kuncinya adalah keberagaman Yudaisme pada abad-abad pertama. Dan menurut Boyarin sudah sepatutnya batasan-batasan antara Yahudi dan Kristen di masanya tidak lagi dipertajam. Sebaliknya harus dikaburkan! Dengan demikian, kita bisa memahami situasi sejarah dengan lebih jelas berkaitan dengan perkembangan Kekristenan mula-mula dan agama Yahudi. Konsep-konsep tentang Yesus sebagai anak Allah, dan bahkan Tritunggal (hlm. 102), ternyata bukanlah barang baru dan mengejutkan dalam konteks agama Yahudi abad pertama. Kepercayaan para pengikut Kristus mula-mula harus dilihat dalam konteks keberagaman dalam agama Yahudi sendiri.
Seperti diungkapkan salah satu endorser-nya (J. J. Collins, Yale), buku ini termasuk provokatif. Ya, sangat provokatif untuk sebuah buku kecil dengan beberapa argumen yang tidak mudah diterima. Mungkinlah tujuan penulis semata memprovokasi diskusi yang lebih tentang hubungan Yahudi dan Kristen di abad pertama. Schaefer dalam tinjauannya terhadap buku ini menyesali minimnya originalitas Boyarin dan menganggapnya sangat spekulatif. Buku ini nampaknya gagal memperhitungkan kebaharuan ide-ide gerakan kekristenan yang berlainan dari matriks agama Yahudi. Mengaburkan batasan antara keduanya sungguh mengecewakan dan membuat pembaca mengernyitkan dahi. Seperti yang diingatkan Larry Hurtado dalam blog post-nya, salah satu keunikan para pengikut Kristus adalah kepercayaan kepada Kristus yang bangkit dan memberi-Nya devosi yang sama seperti kepada Allah sendiri. Memang, masih sulit membayangkan bagaimana sebuah gerakan Kristen yang begitu distinctive dan berpengaruh bisa muncul dan menjadi identitas tersendiri di lingkungan Yahudi seperti yang digambarkan Boyarin. Walaupun demikian, gagasan bahwa tidak ada pemisah yang jelas antara Kristen Yahudi dan Yahudi sendiri beralasan ketika kita menelisik apa itu identitas bagi masing-masing mereka. Apa yang ciri seorang Kristen pada waktu itu? Boyarin menyadari betul permasalahan menyangkut identitas yang dicirikan seumpama membuat checklists fitur-fitur yang menandakan suatu kelompok. Ia mau katakan bahwa pada masa ketika Injil ditulis identitas Kristen masih sangat terpaut dengan Keyahudian sehingga nyaris tidak mungkin untuk melihat Kekristenan sebagai suatu identitas tersendiri yang kemudian berhasil menjadi agama berbeda. Misalnya, selama berabad-abad di antara penganut Agama Yahudi yang taat ada yang juga mengimani keilahian Yesus. Bahkan, istilah "keyahudian" atau "Agama Yahudi" sarat dengan gagasan identitas yang mengandaikannya sebagai kategori yang jelas dan mudah dibedakan. Pertanyaan berikut menarik: Bagaimana kita dapat berbicara tentang Kristen dan Yahudi di abad-abad pertama ketika kedua kategori tersebut belum dapat mewakili situasi sebenarnya? Itulah yang patut diapresiasi dari buku kecil Boyarin ini.