Selasa, 31 Oktober 2017

The Jewish Gospels:The History of the Jewish Christ

The Jewish Gospels:The History of the Jewish Christ ditulis oleh Daniel Boyarin, terbit di tahun 2012. Boyarin adalah Professor kebudayaan Talmud dan retorika di Universitas California, Berkeley.

Secara garis besar Boyarin mengamati semakin diakui bahwa kitab-kitab (Injil maupun surat-surat) yang dipegang orang Kristen merupakan bagian dari keagamaan umat Israel di abad pertama Masehi. Ia melihat bahwa apa yang dipahami sebagai Kristologi Kristen, yaitu Yesus sebagai Mesias, yang manusia sekaligus ilahi itu,  juga ada dalam ranah keagamaan Yahudi pada masanya (hlm. 22).

Kuncinya adalah keberagaman Yudaisme pada abad-abad pertama. Dan menurut Boyarin sudah sepatutnya batasan-batasan antara Yahudi dan Kristen di masanya tidak lagi dipertajam. Sebaliknya harus dikaburkan! Dengan demikian, kita bisa memahami situasi sejarah dengan lebih jelas berkaitan dengan perkembangan Kekristenan mula-mula dan agama Yahudi. Konsep-konsep tentang Yesus sebagai anak Allah, dan bahkan Tritunggal (hlm. 102), ternyata bukanlah barang baru dan mengejutkan dalam konteks agama Yahudi abad pertama. Kepercayaan para pengikut Kristus mula-mula harus dilihat dalam konteks keberagaman dalam agama Yahudi sendiri.

Seperti diungkapkan salah satu endorser-nya (J. J. Collins, Yale), buku ini termasuk provokatif. Ya, sangat provokatif untuk sebuah buku kecil dengan beberapa argumen yang tidak mudah diterima. Mungkinlah tujuan penulis semata memprovokasi diskusi yang lebih tentang hubungan Yahudi dan Kristen di abad pertama. Schaefer dalam tinjauannya terhadap buku ini menyesali minimnya originalitas Boyarin dan menganggapnya sangat spekulatif. Buku ini nampaknya gagal memperhitungkan kebaharuan ide-ide gerakan kekristenan yang berlainan dari matriks agama Yahudi. Mengaburkan batasan antara keduanya sungguh mengecewakan dan membuat pembaca mengernyitkan dahi. Seperti yang diingatkan Larry Hurtado dalam blog post-nya, salah satu keunikan para pengikut Kristus adalah kepercayaan kepada Kristus yang bangkit dan memberi-Nya devosi yang sama seperti kepada Allah sendiri. Memang, masih sulit membayangkan bagaimana sebuah gerakan Kristen yang begitu distinctive dan berpengaruh bisa muncul dan menjadi identitas tersendiri di lingkungan Yahudi seperti yang digambarkan Boyarin. Walaupun demikian, gagasan bahwa tidak ada pemisah yang jelas antara Kristen Yahudi dan Yahudi sendiri beralasan ketika kita menelisik apa itu identitas bagi masing-masing mereka. Apa yang ciri seorang Kristen pada waktu itu? Boyarin menyadari betul permasalahan menyangkut identitas yang dicirikan seumpama membuat checklists fitur-fitur yang menandakan suatu kelompok. Ia mau katakan bahwa pada masa ketika Injil ditulis identitas Kristen masih sangat terpaut dengan Keyahudian sehingga nyaris tidak mungkin untuk melihat Kekristenan sebagai suatu identitas tersendiri yang kemudian berhasil menjadi agama berbeda. Misalnya, selama berabad-abad di antara penganut Agama Yahudi yang taat ada yang juga mengimani keilahian Yesus. Bahkan, istilah "keyahudian" atau "Agama Yahudi" sarat dengan gagasan identitas yang mengandaikannya sebagai kategori yang jelas dan mudah dibedakan. Pertanyaan berikut menarik: Bagaimana kita dapat berbicara tentang Kristen dan Yahudi di abad-abad pertama ketika kedua kategori tersebut belum dapat mewakili situasi sebenarnya? Itulah yang patut diapresiasi dari buku kecil Boyarin ini.


Jumat, 27 Oktober 2017

Betulkah Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Ibrani?


Ketika duduk di bangku sekolah dan menerima pelajaran Agama Kristen, kita sudah belajar bahwa Alkitab ditulis dalam 2 bahasa utama, yakni Ibrani untuk PL dan Yunani Koine untuk PB. Adapun Yunani Koine merupakan ragam bahasa Yunani yang dipakai dalam masyarakat yang dipengaruhi budaya Helenis (Yunani) dari abad ke-3 SM hingga ke-2 M. Syukurlah jika masih banyak di antara kita mengingat pelajaran berharga ini. Namun, ternyata banyak orang berpandangan yang berbeda mengenai PB.


Ketika Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) menghadapi gugatan kalangan tertentu yang mengecam Alkitab terjemahan LAI di meja hijau, ada hal yang menarik untuk diamati. Saksi ahli dari pihak penggugat menyampaikan argumentasinya dengan mengutip ayat-ayat dari PB dengan merujuk pada bahasa aslinya, yang menurut keyakinannya adalah bahasa Ibrani. Saksi ahli itu dengan lancar mengucapkan kalimat-kalimat dalam bahasa Ibrani. Bahkan ia menyebutkan nama-nama kitab secara berbeda dari yang lazimnya, semisal Injil Yohanes disebutnya dengan Injil Yokhanan. Jelas sekali, baginya, PB berasal dari bahasa Ibrani dan nama-nama yang sudah dikenal pun sejatinya adalah nama-nama Ibrani. Alasan utama mengapa demikian adalah fakta bahwa Yeshua (memang demikian nama Yesus dalam bahasa Ibrani) berbahasa Ibrani (bukan Aram apalagi Yunani) sehingga tidaklah wajar apabila kitab-kitab PB kemudian ditulis dalam bahasa Yunani. Selain itu, ia meyakini nama tidak dapat diterjemahkan! Benarkah demikian?


Rylands Library Papyrus P52
Namun, perlu diketahui bahwa tidak ada bukti jika kitab-kitab PB ditulis dalam bahasa Ibrani. Kenyataannya, kita memiliki lebih dari 5800 manuskrip kuno PB dalam bahasa Yunani yang kemudian menjadi dasar penerjemahan PB ke dalam berbagai bahasa. Fragmen PB paling tua berasal dari akhir abad ke-2 dan kini tersimpan di John Rylands University Library, Manchester, Inggris. Memang ada juga beberapa manuskrip dalam bahasa Ibrani, semisal Du Tillet yang barangkali berasal dari Italia abad ke-14. Tidak banyak, dan bisa dipastikan naskah semacamnya merupakan terjemahan dari bahasa Yunani (atau bahasa lain). Jika demikian, dari manakah saksi ahli penggugat LAI itu mendapat teks PB dalam bahasa Ibrani yang dipakainya dan diyakininya sebagai PB yang asli? Tidak lain terjemahan dari bahasa Yunani atau bahkan dari bahasa lain! Berdasarkan keyakinan bahwa PB yang asli dalam bahasa Ibrani, pendukung teori ini berusaha merekonstruksi “teks asli” dengan menerjemahkan balik ke bahasa Ibrani. Mengherankan sekali bagaimana teori semacam ini begitu banyak peminatnya dan bukti tekstual yang ada dengan begitu saja diabaikan.


Sebenarnya alasan kelompok "Ibrani" begitu yakin PB pertama kali ditulis dalam bahasa Semit ini adalah kenyataan bahwa ada Semitisme (pengaruh bahasa Ibrani/Aram) dalam bahasa Yunani yang dipakai dalam naskah-naskah yang ada. Berangkat dari fakta inilah muncul anggapan bahwa PB Yunani yang ada merupakan terjemahan yang "gagal" dari teks Ibrani yang asli. Namun, pendekatan ini jelas mengabaikan fakta lain, bahwa orang-orang Yahudi dan para pengikut Yesus pada abad pertama juga bisa berbahasa Yunani. Mereka multilingual! Kalau dikatakan Yesus berbahasa Ibrani (konsensus para pakar PB menyebutkan Aram sebagai bahasa Tuhan Yesus), hal ini tidak serta merta mengharuskan kita menyimpulkan PB pasti ditulis dalam bahasa yang sama. Bahasa Yunani sudah begitu berakar dalam kehidupan umat pada masa pelayanan Tuhan Yesus, bahkan sebelum dan sesudahnya. Bahasa Yunani koine (koine= umum) telah menjadi bahasa pergaulan (lingua franca) di Alexandria (Mesir) dan daerah timur Mediterania sedini abad ke-3 SM. Hal ini terbukti dengan digunakannya terjemahan Kitab Suci umat Yahudi ke dalam bahasa Yunani, yakni yang kini dikenal sebagai LXX (Septuaginta). Well, tidak tepat juga menyebutnya sebagai terjemahan, karena ada beberapa kitab yang memang ditulis asli dalam bahasa Yunani. Keterangan mengenai terjemahan yang berotoritas ini diperoleh dari Surat Aristeas dan catatan sejarahwan. Bagaimana kita tahu LXX digunakan pada waktu itu? Sejarah teks Alkitab sendiri yang mengungkapkannya. Contoh, ketika Matius mengutip Yes 7:14 (Sesungguhnya, seorang perempuan muda [Ibr. haʿalmanah] mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki, dan ia akan menamakan Dia Imanuel), ia tidak secara persis mengutip perkataan Yesaya "Sesungguhnya, anak dara itu [Yun. hē parthenos] akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” (Mat 1:23). Bagaimana “perempuan muda” menjadi “anak dara” (atau perawan) dalam tulisan Matius? Dalam Yes 7:14, LXX ternyata menyebut parthenos (anak dara atau perawan), kata yang sama seperti dalam Matius. Dengan kata lain, dasar penulisan Matius adalah terjemahan Yunani itu sendiri, bukan Alkitab Ibrani! Hal yang sama berlaku setiap kali penulis kitab PB mengutip PL: mereka selalu mengutip berdasarkan terjemahan LXX.


Sebagaimana sudah disinggung di atas, upaya menemukan kembali teks Ibrani PB dengan menerjemahkan balik (dari bahasa sasaran ke bahasa sumber) pada dasarnya bermasalah. Memang penerjemahan balik masih dilakukan guna menguji sebuah terjemahan. Lembaga Alkitab Indonesia juga memanfaatkan cara ini dalam proses penerjemahan ke dalam bahasa daerah. Namun, jika untuk merekonstruksi bentuk asli sebuah teks yang dihasilkan ribuan tahun silam, penerjemahan balik (back-translation) merupakan upaya yang beresiko. Dulu, seorang Yahudi, profesor bahasa Arab di Universitas Oxford, David S. Margoliouth (1858-1940) menerjemahkan balik Kitab Ben Sirakh ke dalam bahasa Ibrani. Aslinya ditulis dalam bahasa Ibrani, Ben Sirakh terpelihara dalam bahasa Yunani. Namun, apa yang terjadi dengan upaya sang profesor? Ketika beberapa porsi Ben Sira dalam bahasa Ibrani akhirnya ditemukan di Cairo Geniza, ternyata tidak ada satu ayat pun yang dengan tepat diterjemahkan balik oleh Prof. D. S. Margoliouth. Jadi, penerjemahan balik sama yang dilakukan para pendukung teori PB Ibrani sebenarnya tidak mungkin mengembalikan teks asli PB jika betul ditulis dalam bahasa Ibrani.


Seandainya betul PB Yunani adalah terjemahan dari PB yang asli dalam bahasa Ibrani, mengapa masih muncul istilah atau ungkapan Aram dalam sebuah terjemahan? Sulit membayangkan bagaimana seorang penerjemah tidak menerjemahkan kata-kata Aram itu. Tulisan yang bukan terjemahan akan lebih cenderung mempertahankan ungkapan asing yang terdapat dalam sumber laporannya. Uraian kita sejauh ini memang tidak memungkiri kemungkinan PB aslinya ditulis dalam bahasa Semit. Namun, belum ada bukti yang kuat untuk meyakini hal itu sebagai kebenaran. Kenyataan lain yang menguatkan PB asli ditulis dalam bahasa Yunani adalah beragamnya gaya bahasa Yunani yang dipakai. Markus menulis dengan gaya bahasa (style) yang sederhana, berbeda dari Lukas yang lebih mendekati gaya tulisan Yunani klasik. Gaya yang berbeda-beda mengindikasikan kemampuan menulis yang berbeda. Berbeda sekali jika seandainya PB merupakan terjemahan karena terjemahan cenderung menggunakan bahasa yang seragam sehingga kecil kemungkinan untuk perbedaan gaya bahasa. Selain memiliki gaya bahasa yang bermacam, kitab-kitab dalam PB berawal dari situasi jemaat yang notabene tidak dominan Yahudi. Injil Markus misalnya ditulis untuk jemaat di Roma yang tidak mengerti bahasa Ibrani. Perjumpaan imam Kristen dengan bangsa-bangsa lain merupakan alasan lain kenapa bahasa Yunani dipakai untuk menyebarkan Kabar Sukacita itu.



Sesungguhnya, tidak keliru jika kita berusaha untuk menggali Alkitab (khususnya PB) dalam terang kebudayaan Semitik di Palestina abad pertama. Namun, menerima PB ditulis dalam bahasa Yunani tidak mesti berarti mengabaikan kenyataan bahwa ruang pelayanan dan berpikir para rasul dan Sang Guru sendiri adalah Semitik (Ibrani atau Aram). Kita harus siap menerima kenyataan bahwa oleh kuasa Roh Kudus Perjanjian Lama ditulis dan dipelihara sampai kini dalam bahasa Ibrani dan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani. Dan kini setiap orang percaya mereguk air kehidupan dari Firman yang tertulis dalam bahasa mereka masing-masing. Bukankah hal demikian keajaiban yang hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri? (Jadesmon Saragih)