Analisis Terhadap Tiga Pendekatan Kristen
Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme
A. Pendahuluan
Fakta bahwa ada suatu kemajemukan agama-agama besar di dunia dialami oleh orang-orang Kristen pada masa kini baik sebagai masalah praktis maupun masalah intelektual. Pluralitas ini menuntut orang-orang untuk merumuskan dan menentukan pendekatan-pendekatan apa yang seharusnya diambil untu mengatasi hal ini. Kemajemukan beragama di sejarah bukanlah fenomena baru. Kesadaran saat ini di dunia Barat mungkin lebih menyebar daripada pada masa lain sejak abad-abad pertama keberadaan agama Kristen. Tradisi Kristen sendiri berkembang di tengah suatu kemajemukan beragama pada abad pertama. Pesan Kristiani harus berjuang untuk mendapatkan tempat di antara banyaknya agama-agama yang ada saat itu.
Sebagaimana kemajemukan beragama dalam sejarah masa lalu merupakan masalah dan menuntut sikap setiap orang, maka pada masa kinipun ia tetap memuntut kita untuk mengambil sikap yang tepat. Meskipun sikap yang paling tepat sangat sulit (bahkan mustahil) untuk diambil. Kalangan Kristen maupun kalangan lainnya pada umumnya mengambil tiga pendekatan berikut: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan gambaran pemikiran mendasar dari tiap-tiap pendekatan, dasar teologisnya, analisis kekuatan dan kelemahan serta model dialog yang dikembangkan.
B. Pembahasan
1. Eksklusivisme
1.1. Deskripsi
Eksklusivisme yang disiratkan dalam teks-teks Perjanjian Baru diterjemah ke dalam posisi-posisi keistimewaan dan superioritas dalam sejarah Kekristenan. Contohnya, pada abad ke-14 Paus Bonifacius VIII menyatakan: “Kita dituntut iman untuk percaya dan memegang bahwa ada gereja yang esa, kudus, am dan rasuli; kita mempercayainya dengan teguh dan mengakuinya; di luarnya tidak ada keselamatan ataupun penghapusan dosa.” Pada tahun 1970-an, berkenaan dengan dunia non-Kristen, Deklarasi Frankfurt menyatakan: “Oleh sebab itu kami menantang semua orang non-Kristen, yang kepunyaan Allah atas dasar ciptaan, untuk percaya kepada Dia [Yesus Kristus] dan dibaptis dalam nama-Nya, sebab dalam Dia sajalah keselamatan kekal dijanjikan bagi mereka.”
Tipe Kekristenan yang evangelis ini tidak lahir dari prasangka buruk terhadap agama-agama lain melainkan lahir dari keyakinan bahwa Injil Kristen adalah satu-satunya jalan keselamatan. Lesslie Newbigin menyatakan posisi ini dengan tajam dalam bukunya The Finality of Christ:
“Injil dalam bentuknya yang asli adalah pemberitaan suatu peristiwa yang menentukan bagi semua manusia dan bagi seluruh kehidupan mereka. Peristiwa itu adalah peristiwa yang digambarkan dalam bahasa-bahasa universal, kosmis. Pemberitaan itu menyiratkan bahwa dalam peristiwa ini semua tujuan Allah bagi dunia sedang dibawa kepada pemenuhannya. Di sini kita tidak berurusan dengan suatu pesan agamawi yang membawa ajaran agamawi di segala zaman kepada kelengkapan dan kesempurnaan; kita berurusan dengan suatu pemberitaan yang berkenaan dengan akhir dunia. Arti sesungguhnya dari 'finalitas' yang berhubungan dengan Yesus akan didapati dengan menembus ke dalam arti pemberitaan ini.”
Contoh yang lebih jauh dari sikap ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan Hendrik Kraemer. Hendrik Kraemer adalah seorang misiolog besar pada dasawarsa pertengahan abad ini yang karyanya sangat berpengaruh luas, khususnya di kalangan Protestant. Ia percaya bahwa pewahyuan Kristen unik tetapi tidak bersikeras untuk mempertahankan superioritas kekristenan. Walaupun demikian ia sungguh menyatakan:
“Hanya ada satu perbedaan besar antara kekristenan empiris dan iman-iman lain. Kekristenan empiris telah berdiri dan sekarang berdiri di bawah pengaruh dan penghakiman yang terus-menerus dan langsung dari wahyu dalam Kristus dan ada dalam kebajikan oleh karena itu berada dalam posisi yang berbeda dari agama-agama lain.” <span class="fullpost">
Hanya dalam Kristus keselamatan bisa terjadi, dan Kristus itu hanya ditemukan dalam Kekristenan. Walaupun demikian, Kraemer bukanlah seseorang yang menolak 'dialog' dengan agama lain. Tapi 'dialog' itu jelas-jelas bukan dialog yang akan membuka kemungkinan pertobatan kepada agama lain. Dialog itu akan sangat berharga dan bermanfaat untuk saling pengertian dan pemahaman, tapi bukan untuk pengujian secara kritis terhadap posisi Kristen. Dalam pikiran Karl Barth, semua agama, termasuk Kekristenan, adalah upaya sia-sia manusia untuk mencapai keselamatan. Namun, agama Kristen memiliki sedikit kelebihan karena ada Kristus. Mamang, pendekatan Barth bersifat kristosentrik yang eksklusif.
Jadi bagi penganut eksklusivisme, pengakuan terhadap kebenaran atau kuasa keselamatan dari agama atau tokoh agama lain merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah, suatu pencemaran terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus.
1.2. Dasar Teologis
Istilah eksklusivisme sering membawa konotasi yang negatif pada masa sekarang. Namun ada alasan untuk pembenarannya dalam Alkitab, sejarah Kekristenan, dan tradisi-tradisi banyak ragam gereja Kristen. Ungkapan dalam Perjanjian Baru:
“Akulah Jalan dan kebenaran dan hidup; tidak seorangpun dapat datang kepada Bapa tanpa melalui Aku.” (Yoh. 14:6);
“Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp. 2:8-11);
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kis. 4:12).
Semua ayat ini menunjukkan dengan jelas ketuhanan Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Tidak hanya itu, teks ini semua juga menyiratkan suatu penilaian negatif terhadap agama-agama lain atau jalan keselamatan lain.
1.3. Kekuatan dan Kelemahan
Kelebihan sikap ini adalah kesetiaan, bahkan militansi terhadap agamanya. Kelemahannya adalah bahwa pendekatan ini akan menciptakan konflik antar umat beragama. Ia menghasilkan sikap dikotomi: kami vs mereka, terang vs gelap, baik vs jahat. Keyakinan mereka adalah bahwa semua orang yang berada di luar Kristus adalah sesat, pengikut setan, dan masuk neraka dan tidak mendapat keselamatan. Sikap inilah mendorong Marcopolo melaksanakan ‘misi suci’ membantai puluhan ribu Indian yang menolak Injil Kristus.
1.4. Model Dialog
Model dialog yang dikembangkan oleh kaum eksklusif adalah dialog yang bertujuan untuk menegaskan kebenaran dari apa yang dipercaya dalam agamanya. Orang Kristen dalam model dialog eksklusif akan berupaya untuk meyakinkan “lawan”nya bahwa apa yang ia percaya adalah benar dan apa yang “lawan”nya percaya adalah salah. Jadi dialog polemik yang mencoba menyerang segi-segi keimanan agama lain adalah model dialog yang kaum eksklusif kembangkan.
Dialog bagi kaum eksklusif bukanlah mencoba mendapatkan penghargaan yang lebih terhadap Allah, atau wahyu dari Allah. Hal itu mereka yakin sudah mereka miliki dalam bentuk yang definitif. Tidak ada wahyu yang layak dan pantas di luar Kristus dan Kekristenan. Niat mereka adalah mengikuti kata-kata amanat Perjanjian baru untuk mengajar semua bangsa. Tidak sedikitpun mereka ingin menerima jiwa kompromi. Perjanjian Lausanne pada tahun 1974 sangat eksplisit dalam perlindungannya terhadap klaim Kristen dan menjadi contoh posisi eksklusif.
2. Inklusivisme
2.1. Deskripsi
Sikap ini dianut oleh gereja Katolik. Konsili Vatikan II merupakan lompatan besar dalam teologi agama-agama gereja Katolik. Sebelumnya, gereja Katolik bersikap ekklesiosentris yang berpendapat “tidak ada keselamatan di luar gereja.” Dalam perkembangannya ekklesiosentris bergeser pada kristosentrik yang menempatkan Kristus sebagai ukuran satu-satunya dalam keselamatan. Tetapi kristo-sentrik di sini tidak seperti kristosentrik model Barth. Di sini kristosentrik lebih inklusif. Dalam Konsili Vatikan II, gereja Katolik bersikap lebih positif tentang kebenaran dan nilai-nilai agama lain. Karl Rahner yang meletakkan dasar positif gereja Katolik terhadap agama-agama lain. Rahner berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi bahkan harus menganggap agama-agama lain sebagai “sah” dan juga merupakan “jalan keselamatan.” Rahner melihat betapa banyaknya umat beragama lain yang baik hati dan penuh kasih.
Secara ringkas posisi inklusivisme adalah bahwa mereka yang dibawa kepada keselamatan dan kebebasan terakhir diselamatkan entah secara sadar atau tidak sadar oleh kematian dan kebangkitan Kristus, entah ya atau tidak mereka menyatakan iman kepada Kristus. Untuk mewakili posisi inklusivisme berikut dua teolog dari dua tradisi gereja berbeda. John Cobb dari Protestant dan Karl Rahner dari Katolik.
Dalam bukunya Christ in a Pluralistic Age, John Cobb, seorang teolog proses menguji isu pluralisme dan dilema Kekristenan dan agama-agama dunia. Cobb tidak mau meninggalkan nosi Kristus sebagai inkarnasi Logos di dunia, tetapi ia ingin memberikan penafsiran baru terhadap realitas itu. “tepatnya melalui memperdalam keyakinan sentralnya terhadap inkarnasi, iman Kristen bergerak menuju transformasinya sendiri melalui keterbukaan bagi semua iman (agama). Transformasi yang kreatif dari teologi yang membawa kepada kesemestaan dapat dikenali dengan bertanggung jawab sebagi Kristus.”
Kristus seharusnya dilihat bukan sebagai mode pembatasan atau pola eksklusivitas, melainkan sebagai jalan kepada keterbukaan terhadap jalan-jalan keselamatan yang lain. Istilah Kristus harus diwakili dengan suatu fokus yang baru dan yang mampu merangkul semua. Bagi Cobb Kristus adalah proses transformasi yang kreatif yang bisa menyediakan 'suatu kesatuan yang di dalam mana banyak pusat makna dan keberadaan bisa dihargai dan didorong dan yang melalui mana keterbukaan kepada jalan-jalan Besar lain dari umat manusia bisa membawa kepada suatu pendalaman keberadaan Kristus'. Pandangan ini menghadirkan Kristus sebagai jalan kepada Allah yang tidak dari situ mengesampingkan jalan-jalan lain tetapi justru merangkulnya.
Cobb tidak ingin berpindah dari Kristus, tetapi ia ingin menjauhkan diri dari kebanyakan tradisi Kekristenan. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa: “tesis buku ini adalah bahwa Kristus tidak lagi terikat oleh sistem kepercayaan dan praktik agama tertentu mana pun melainkan lebih sebagai kuasa seni yang kreatif bagi gaya tertentu mana pun.” Cobb secara spesifik menyamakan Kristus-sebagai-transformasi-kreatif dengan Logos. Kristus sebagai transformasi kreatif bersifat ontologis, universal, transenden dan imanen. “Kristus adalah Logos yang berinkarnasi. Logos itu adalah prinsip keteraturan kosmis, dasar makna, dan sumber tujuan [telos].”
Karl Rahner dari kalangan Katolik merumuskan pandangan teologinya mengenai agama-agama lain berdasarkan pendapat bahwa anugerah Allah ditawarkan kepada semua orang di seluruh dunia. Kalau Allah berkenan demikian, maka Ia pun bertindak demikian. Memang keselamatan ada dalam Yesus Kristus, namun gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna yang ada dalam gereja, namun karena anugerah yang bersifat universal itu, maka keselamatan dalam Kristus pun ada di sana walaupun tidak memakai nama Kristus. Jadi dalam agama-agama lain, Kristus yang menyelamatkan itupun ada di sana tanpa bernama Kristus. Ini dinamakan oleh Rahner sebagai “anonymous Christ” (Kristus yang tanpa nama) dan oleh sebab itu penganut agama-agama lain adalah sebenarnya juga orang-orang Kristen tanpa nama.
Rahner mengusulkan agar pekabaran injil bukan lagi memanggil orang untuk meninggalkan agama mereka dan masuk ke dalam agama Kristen dan menjadi anggota gereja. Sebaliknya, pekabaran injil haruslah menjadi usaha untuk menyadarkan orang-orang beragama lain tentang hadirnya Kristus yang menyelamatkan sebagai anugerah Allah di tengah mereka.
Kaum inklusif bersikeras bahwa keselamatan dapat diperoleh secara universal melalui penggenapan dan mereka percaya bahwa penebusan mungkin melalui agama-agama lain – itu berarti mereka percaya bahwa keselamatan mungkin melalui penyataan umum.
2.2. Dasar Teologis
Dengan pendekatan inklusif, ada keyakinan di kalangan pendukung pendekatan ini bahwa anugerah Allah tersedia bagi setiap orang tanpa memandang agama mana atau latar belakang sosial mana dan penyertaan Allah [providensia], kebaikan-Nya yang nyata serta rencana keselamatan meluas bagi semua orang (umat).
"Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka,” (Kis. 17:26)
“Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, (Rom 2:6) yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan,” (Rom 2:7 )
“...yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim. 2:4)
2.3. Kekuatan dan Kelemahan
Kelebihan sikap inklusif adalah sikapnya yang positif terhadap agama-agama lain. Tidak muncul permusuhan dan pandangan yang negatif terhadap keberadaan agama dan keyakinan lain.
Kekurangannya adalah anggapan bahwa keselamatan umat lain bukan berasal dari agamanya sendiri tetapi dari Kristus yang bekerja dalam agama-agama tersebut. Dengan demikian, sikap positif Rahner terhadap agama lain muncul karena hakikat dan eksistensi agama lain itu telah ia ganti dengan isi yang baru, yaitu Kristus. Eksistensi agama lain direndahkan nilainya, diturunkan posisinya di bawah kekristenan.
2.4. Model Dialog
Swidler mendefinisikan dialog sebagai suatu percakapan tentang pokok umum antara dua orang atau lebih dengan berbagai pandangan, yang mana tujuan utamanya bagi masing-masing peserta adalah untuk belajar dari yang lain sehingga ia dapat berubah dan bertumbuh. Berangkat dari keyakinan bahwa Kristus berkarya bukan hanya dalam tradisi Kristen namun berkarya secara universal. Kaum inklusif dalam dialog berupaya menemukan titik temu di mana mereka mampu melihat peran Kristus dalam segi-segi tradisi keimanan agama lain. Sebagaimana Cobb menyebut Kristus sebagai suatu transformasi kreatif, Kristus adalah energi ilahi yang bekerja dalam agama-agama lain. Kaum inklusif dalam dialog tetap meyakini dan percaya Kristus namun Kristus yang bekerja universal.
Walaupun para peserta dalam dialog saling mengemukakan pendapat serta kebenaran, tidak satupun akan mengemukakannya dari satu posisi teologis yang mengklaim dominasi agamanya atas Yang Lain atau menghakimi Yang Lain.
3. Pluralis
3.1. Deskripsi
Kata “Plural” berarti “jamak” dan ketika kata ini ditambah akhirannya menjadi “Pluralitas” ini berarti “kemajemukan”. Dan jika akhir dari kata “plural” ini ditambah dengan kata “isme” ini berarti ada ajaran-ajaran/isme-isme di dalam kemajemukan agama. Jadi arti “Pluralisme Agama” adalah gerakan yang berupaya untuk mempersatukan agama-agama agar kebenaran-kebenaran yang beragam dapat saling mengisi dan melengkapi. Jadi dengan kata lain mereka saling membuka diri untuk saling dapat menerima semua keberadaan agama-agama yang lainnya, dengan tidak membicarakan atau mempertajam keberbedaan pengajaran mereka masing-masing. Knitter mengatakan: “Semakin kebenaran agamaku membuka aku kepada orang-orang lain, semakin aku bisa menegaskan kebenaran agamaku itu sebagai yang mutlak.”
Pandangan pluralisme adalah hasil dari pemikiran filsafat era post-modern yang anti terhadap segala proposisi, anti terhadap segala ide mengenai kemutlakan di mana filsafat post-modern berpijak diatas dasar relativisme murni, walaupun pada kenyataannya terjebak pada kemutlakan pemikiran manusia secara subyektif, yang mengakibatkan timbulnya epistemology subjectivism, yaitu suatu konsep kebenaran yang menganggap bahwa sesuatu adalah benar dan hanya benar jika dinyatakan benar oleh seseorang / sekelompok orang, di mana pada dasarnya pemikiran tersebut tidak akan meng-intervensi pemikiran orang / kelompok lain yang berbeda pandangan dengan kelompoknya selama tidak terjadi konflik atau bersinggungan dengan kepentingan masing-masing kelompok.
Secara umum kita melihat ke-bhinneka tunggal ika-an yang harmonis serta suatu kerukunan yang ditunjukkan oleh masing-masing kelompok, namun pada dasarnya telah menyimpang dari hakikatnya. Permasalahan disini ada pada landasan filosofis-nya di mana pendapat subyektif manusia-lah yang menjadi penentu apakah sesuatu hal itu benar atau tidak benar, karena (secara mutlak) tergantung kepada diri manusia itu sendiri. (bdk. Kejatuhan Manusia – Kejadian 3:1-24)
Kaum pluralis memahami keselamatan sebagai suatu respons terhadap yang nyata dan yang tertinggi, sehingga si pemberi respons itu ditransformasikan dari keberpusatan pada diri kepada keberpusatan pada kenyataan. Pergeseran dari pandangan keselamatan yang “kristosentris” menuju suatu model “teosentris” dan menuju apa yang disebut konsep yang “soteriosentris” menjadikan pluralisme lebih konsisten.
Menurut Ebbie Smith karakteristik teologi pluralis adalah sebagai berikut:
1. Teologi pluralis menganggap doktrin inkarnasi Kristus sebagai hasil mitos;
2. Teologi pluralis mengutamakan sifat keselamatan dari semua agama;
3. Teologi pluralis bergerak dari agama yang kristosentris menuju soteriosentris;
4. Teologi pluralis berbicara tentang Allah yang tidak bisa dikenal dan tidak dikenal.
Kaum pluralis dalam taksonomi Rice lebih cenderung menggunakan pendekatan teosentris. Asumsinya semua agama hasil dari Allah yang satu. Tetapi sebenarnya kaum pluralis tidak satu. Dalam arti ada juga yang melihat persoalan bersama umat manusia atau kemanusiaan itu sendiri sebagai dasar utama dalam kerjasama antar umat beragama. Sesuai dengan namanya kelompok pluralis ini bersifat plural. Anselm Min menyebutkan bahwa paling sedikit ada enam paradigma yang dianut kaum pluralis:
1. Pertama, the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih teosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam konteks historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang tidak diperhitungkan adalah bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya agama Buddha.
2. Kedua, the universalist pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart, dsb). Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama. Kelemahannya adalah pendekatan ini terlalu menekankan universalitas yang bisa mengorbankan partikularis atau kekhasan setiap agama. Pendekatan ini bisa terlalu menekankan persamaan sehingga mengabaikan adanya perbedaan.
3. Ketiga, soteriosentrik pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter) menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia menghindari umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma dan doktrin agama.
4. Keempat, pluralisme ontologis dengan tokohnya Raimundo Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini, Kristus mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda. Kristus dalam agama Kristen menampilkan diri dalam diri Yesus. Kristus dalam agama Hindu menampilkan diri dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus bisa pula menampilkan diri sebagai Tao atau bahkan sebagai Muhammad. Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran Hindu yang memiliki ribuan dewa/dewi.
5. Kelima, Kristosentris pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang Kristen kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif terhadap agama lain, orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya. Kelemahan pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga. Pendekatan ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi teologis yang tidak relevan bagi kehidupan kita kini.
6. Keenam, Kristologi yang Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi ini sangat menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini bukanlah Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini menekankan Yesus sebagai Anak Allah yang peduli kepada manusia dan dunia serta rela berinkarnasi untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus.
3.2. Dasar Teologis
Tiga ayat pertama ini merupakan dasar bagi pembenaran pergeseran keselamatan Kristosentris menuju keselamatan teosentris sebagaimana ditawarkan pendekatan pluralisme.
Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu. Sekiranya kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku. (Yoh 14:28)
Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus. (Yoh 17:3)
Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua. (1 Kor 15:28)
“namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan." (Kis 14:17)
3.3. Kekuatan dan Kelemahan
Dengan pendekatan pluralis, orang-orang Kristen lebih terbuka dan menghargai perbedaan dan menerima orang-orang yang beragama lain dengan sepenuhnya. Dari kaum pluralis kita belajar bahwa kita harus memiliki kerendahan hati, keterbukaan dan kemampuan untuk berelasi dan bekerjasama. Dengan demikian pluralisme membangun masyarakat yang bersatu dan saling menghargai. Potensi konflik dapat diperkecil. Ini merupakan kekuatan pendekatan pluralisme.
Kelemahan pendekatan pluralisme adalah pengorbanan posisi Alkitab sebagai landasan iman Kristen. Posisi Alkitab dan keselamatan dalam Kristus di dalamnya menjadi tidak istimewa lagi. Alkitab diposisikan setara dengan kitab-kitab suci lain dalam menyatakan keselamatan. Berita Alkitab dianggap sebagai hasil pemikiran manusia seperti layaknya mitos. Nyata dengan pendekatan ini orang Kristen mengorbankan kekhasan Kristus demi hubungan dengan orang lain.
3.4. Model Dialog
Dengan pendekatan pluralis, dialog menjadi sangat penting dan merupakan bagian yang terpadu dalam misi Kristen. Walaupun demikian dialog bukan termasuk misi dengan pendekatan evangelistis melainkan misi kesaksian bagi saluran-saluran kasih Allah. Dengan bukan sebagai misi evangelistis maka dialog bukan bertujuan untuk menarik seseorang dari umat beragama lain untuk menjadi anggota gereja, melainkan memberi kesaksian akan kasih Allah yang universal dalam kemanusiaan dan lingkungan. Model dialog yang kaum pluralis kembangkan sangat berlawanan dengan kau eksklusif. Dialog polemik dari kaum eksklusif bagi pluralis tidak menghasilkan buah selain alienasi dan permusuhan.
Tujuan dialog adalah untuk berubah dan bertumbuh dalam persepsi dan pengertian terhadap realitas dan kemudian bertindak sesuai dengan itu. Orang-orang yang terlibat dalam dialog antaragama yang sejati mempelajari apa yang dipercaya dan diyakini oleh orang dari agama lain. Pemahaman ini akan menolong untuk menghilangkan konsep-konsep yang salah dan kabur terhadap agama lain.
C. Penutup
Memelihara kerukunan antar sesama pemeluk agama adalah suatu hal yang sangat penting, demikian pula dengan menghargai pendapat ataupun pandangan orang lain, akan tetapi setiap orang Kristen tidak boleh kehilangan identitas dirinya dengan menyama-ratakan semua pandangan kepercayaan, agama dan keyakinan. Firman Tuhan bersifat mutlak dan merupakan satu-satunya dasar bagi setiap manusia, pemahaman inilah yang seharusnya memberi kita semangat untuk membawa berita Injil, berita keselamatan yang eksklusif didalam Kristus akan tetapi disediakan bagi setiap orang (percaya) tanpa pandang suku, bangsa, ras, golongan atau latar-belakang apa pun juga. Dialog seharusnya bertanggung jawab secara global, hal ini akan menjadi lebih efektif, bermanfaat, dan transformatif dibandingkan dengan yang terjadi di waktu lampau. Di sinilah kebutuhan menjadi suatu kesempatan. Tanggung jawab global dapat memberikan baik suatu kunci teologis untuk mendengar dan memahami Injil dalam keterbukaan yang lebih dialogis terhadap agama-agama lain, maupun suatu kunci hermeneutis untuk mendengar dan memahami keberlainan dan perbedaan yang ada dalam berbagai jalan rohani lainnya.
Agar dialog antar agama bisa lebih dari sekedar suatu pertukaran informasi akademis tentang berbagai tradisi yang berbeda, dialog harus menerapkan semacam taktik korelasional, seanologi dengan metode korelasi yang ada dalam teologi kristen; mitra dialog tidak hanya berbicara tentang tradisi religius mereka masing-masing tetapi juga tentang bagaimana tradisi itu dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer kita.
Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. (Roma 1:16)
Amin
REFERENSI
Buku
Gillis, Chester, A Question of Final Belief: John Hick's Pluralistic Theory of Salvation, London: MacMillan Press (1989)
Hick, John, A Christian Theology of Religions, Louisville: Westminster John Knox Press (1995)
Hutahaean, Tumpal, Finalitas Karya Yesus sebagai Tuhan dan Juruslamat (naskah tidak diterbitkan), tanpa tahun
Knitter, Paul F., Satu Bumi Banyak Agama, Jakarta: Gunung Mulia (2006)
Maleh, Kinurung, A Study of Christian Dialogue on Human Rights and Environmental Problems in Indonesia As an Approach to Muslim, Seoul: Presbyterian College and Theological Seminary (2002)
Rakhmat, Ioanes, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani dalam Fundalisme, Agama-agama, dan Teknologi (disunting oleh Sutarman dkk.), Jakarta: Gunung Mulia (1996)
Tanya, Victor, Gereja dan Umat Beragama Lain dalam Fundalisme, Agama-agama, dan Teknologi (disunting oleh Sutarman dkk.), Jakarta: Gunung Mulia (1996)
Laman Internet
http://www.gkipi.org/files/teologi/07091.htm (diakses pada 3 Desember 2009, pukul 19.00 WITA)
http://www.sarapanpagi.org/sarapanpagi-biblika-vf69.html (diakses pada 5 Desember 2009, pukul 20.00 WITA)
</span>