Rabu, 10 Februari 2010


Analisis Terhadap Tiga Pendekatan Kristen
Eksklusivisme, Inklusivisme dan Pluralisme



A. Pendahuluan

 Fakta bahwa ada suatu kemajemukan agama-agama besar di dunia dialami oleh orang-orang Kristen pada masa kini baik sebagai masalah praktis maupun masalah intelektual. Pluralitas ini menuntut orang-orang untuk merumuskan dan menentukan pendekatan-pendekatan apa yang seharusnya diambil untu mengatasi hal ini. Kemajemukan beragama di sejarah bukanlah fenomena baru. Kesadaran saat ini di dunia Barat mungkin lebih menyebar daripada pada masa lain sejak abad-abad pertama keberadaan agama Kristen. Tradisi Kristen sendiri berkembang di tengah suatu kemajemukan beragama pada abad pertama. Pesan Kristiani harus berjuang untuk mendapatkan tempat di antara banyaknya agama-agama yang ada saat itu.
 Sebagaimana kemajemukan beragama dalam sejarah masa lalu merupakan masalah dan menuntut sikap setiap orang, maka pada masa kinipun ia tetap memuntut kita untuk mengambil sikap yang tepat. Meskipun sikap yang paling tepat sangat sulit (bahkan mustahil) untuk diambil. Kalangan Kristen maupun kalangan lainnya pada umumnya mengambil tiga pendekatan berikut: eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan gambaran pemikiran mendasar dari tiap-tiap pendekatan, dasar teologisnya, analisis kekuatan dan kelemahan serta model dialog yang dikembangkan. 


B. Pembahasan

1. Eksklusivisme
1.1. Deskripsi

Eksklusivisme yang disiratkan dalam teks-teks Perjanjian Baru diterjemah ke dalam posisi-posisi keistimewaan dan superioritas dalam sejarah Kekristenan. Contohnya, pada abad ke-14 Paus Bonifacius VIII menyatakan: “Kita dituntut iman untuk percaya dan memegang bahwa ada gereja yang esa, kudus, am dan rasuli; kita mempercayainya dengan teguh dan mengakuinya; di luarnya tidak ada keselamatan ataupun penghapusan dosa.” Pada tahun 1970-an, berkenaan dengan dunia non-Kristen, Deklarasi Frankfurt menyatakan: “Oleh sebab itu kami menantang semua orang non-Kristen, yang kepunyaan Allah atas dasar ciptaan, untuk percaya kepada Dia [Yesus Kristus] dan dibaptis dalam nama-Nya, sebab dalam Dia sajalah keselamatan kekal dijanjikan bagi mereka.”
Tipe Kekristenan yang evangelis ini tidak lahir dari prasangka buruk terhadap agama-agama lain melainkan lahir dari keyakinan bahwa Injil Kristen adalah satu-satunya jalan keselamatan. Lesslie Newbigin menyatakan posisi ini dengan tajam dalam bukunya The Finality of Christ:
“Injil dalam bentuknya yang asli adalah pemberitaan suatu peristiwa yang menentukan bagi semua manusia dan bagi seluruh kehidupan mereka. Peristiwa itu adalah peristiwa yang digambarkan dalam bahasa-bahasa universal, kosmis. Pemberitaan itu menyiratkan bahwa dalam peristiwa ini semua tujuan Allah bagi dunia sedang dibawa kepada pemenuhannya. Di sini kita tidak berurusan dengan suatu pesan agamawi yang membawa ajaran agamawi di segala zaman kepada kelengkapan dan kesempurnaan; kita berurusan dengan suatu pemberitaan yang berkenaan dengan akhir dunia. Arti sesungguhnya dari 'finalitas' yang berhubungan dengan Yesus akan didapati dengan menembus ke dalam arti pemberitaan ini.”
Contoh yang lebih jauh dari sikap ini bisa dilihat dari tulisan-tulisan Hendrik Kraemer. Hendrik Kraemer adalah seorang misiolog besar pada dasawarsa pertengahan abad ini yang karyanya sangat berpengaruh luas, khususnya di kalangan Protestant. Ia percaya bahwa pewahyuan Kristen unik tetapi tidak bersikeras untuk mempertahankan superioritas kekristenan. Walaupun demikian ia sungguh menyatakan:
“Hanya ada satu perbedaan besar antara kekristenan empiris dan iman-iman lain. Kekristenan empiris telah berdiri dan sekarang berdiri di bawah pengaruh dan penghakiman yang terus-menerus dan langsung dari wahyu dalam Kristus dan ada dalam kebajikan oleh karena itu berada dalam posisi yang berbeda dari agama-agama lain.” <span class="fullpost">
Hanya dalam Kristus keselamatan bisa terjadi, dan Kristus itu hanya ditemukan dalam Kekristenan. Walaupun demikian, Kraemer bukanlah seseorang yang menolak 'dialog' dengan agama lain. Tapi 'dialog' itu jelas-jelas bukan dialog yang akan membuka kemungkinan pertobatan kepada agama lain. Dialog itu akan sangat berharga dan bermanfaat untuk saling pengertian dan pemahaman, tapi bukan untuk pengujian secara kritis terhadap posisi Kristen. Dalam pikiran Karl Barth, semua agama, termasuk Kekristenan, adalah upaya sia-sia manusia untuk mencapai keselamatan. Namun, agama Kristen memiliki sedikit kelebihan karena ada Kristus. Mamang, pendekatan Barth bersifat kristosentrik yang eksklusif.
Jadi bagi penganut eksklusivisme, pengakuan terhadap kebenaran atau kuasa keselamatan dari agama atau tokoh agama lain merupakan suatu tamparan terhadap muka Allah, suatu pencemaran terhadap apa yang telah dilakukan Allah dalam Yesus.
1.2. Dasar Teologis
  Istilah eksklusivisme sering membawa konotasi yang negatif pada masa sekarang. Namun ada alasan untuk pembenarannya dalam Alkitab, sejarah Kekristenan, dan tradisi-tradisi banyak ragam gereja Kristen. Ungkapan dalam Perjanjian Baru:

“Akulah Jalan dan kebenaran dan hidup; tidak seorangpun dapat datang kepada Bapa tanpa melalui Aku.” (Yoh. 14:6);
“Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: "Yesus Kristus adalah Tuhan," bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Flp. 2:8-11);
 “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan." (Kis. 4:12).

Semua ayat ini menunjukkan dengan jelas ketuhanan Yesus Kristus sebagai satu-satunya jalan keselamatan. Tidak hanya itu, teks ini semua juga menyiratkan suatu penilaian negatif terhadap agama-agama lain atau jalan keselamatan lain.
1.3. Kekuatan dan Kelemahan
 Kelebihan sikap ini adalah kesetiaan, bahkan militansi terhadap agamanya. Kelemahannya adalah bahwa pendekatan ini akan menciptakan konflik antar umat beragama. Ia menghasilkan sikap dikotomi: kami vs mereka, terang vs gelap, baik vs jahat. Keyakinan mereka adalah bahwa semua orang yang berada di luar Kristus adalah sesat, pengikut setan, dan masuk neraka dan tidak mendapat keselamatan. Sikap inilah mendorong Marcopolo melaksanakan ‘misi suci’ membantai puluhan ribu Indian yang menolak Injil Kristus.
1.4. Model Dialog
Model dialog yang dikembangkan oleh kaum eksklusif adalah dialog yang bertujuan untuk menegaskan kebenaran dari apa yang dipercaya dalam agamanya. Orang Kristen dalam model dialog eksklusif akan berupaya untuk meyakinkan “lawan”nya bahwa apa yang ia percaya adalah benar dan apa yang “lawan”nya percaya adalah salah. Jadi dialog polemik yang mencoba menyerang segi-segi keimanan agama lain adalah model dialog yang kaum eksklusif kembangkan.
Dialog bagi kaum eksklusif bukanlah mencoba mendapatkan penghargaan yang lebih terhadap Allah, atau wahyu dari Allah. Hal itu mereka yakin sudah mereka miliki dalam bentuk yang definitif. Tidak ada wahyu yang layak dan pantas di luar Kristus dan Kekristenan. Niat mereka adalah mengikuti kata-kata amanat Perjanjian baru untuk mengajar semua bangsa. Tidak sedikitpun mereka ingin menerima jiwa kompromi. Perjanjian Lausanne pada tahun 1974 sangat eksplisit dalam perlindungannya terhadap klaim Kristen dan menjadi contoh posisi eksklusif.

2. Inklusivisme
2.1. Deskripsi

Sikap ini dianut oleh gereja Katolik. Konsili Vatikan II merupakan lompatan besar dalam teologi agama-agama gereja Katolik. Sebelumnya, gereja Katolik bersikap ekklesiosentris yang berpendapat “tidak ada keselamatan di luar gereja.” Dalam perkembangannya ekklesiosentris bergeser pada kristosentrik yang menempatkan Kristus sebagai ukuran satu-satunya dalam keselamatan. Tetapi kristo-sentrik di sini tidak seperti kristosentrik model Barth. Di sini kristosentrik lebih inklusif. Dalam Konsili Vatikan II, gereja Katolik bersikap lebih positif tentang kebenaran dan nilai-nilai agama lain. Karl Rahner yang meletakkan dasar positif gereja Katolik terhadap agama-agama lain. Rahner berpendapat bahwa orang Kristen bukan hanya bisa tetapi bahkan harus menganggap agama-agama lain sebagai “sah” dan juga merupakan “jalan keselamatan.” Rahner melihat betapa banyaknya umat beragama lain yang baik hati dan penuh kasih.
Secara ringkas posisi inklusivisme adalah bahwa mereka yang dibawa kepada keselamatan dan kebebasan terakhir diselamatkan entah secara sadar atau tidak sadar oleh kematian dan kebangkitan Kristus, entah ya atau tidak mereka menyatakan iman kepada Kristus. Untuk mewakili posisi inklusivisme berikut dua teolog dari dua tradisi gereja berbeda. John Cobb dari Protestant dan Karl Rahner dari Katolik.
Dalam bukunya Christ in a Pluralistic Age, John Cobb, seorang teolog proses menguji isu pluralisme dan dilema Kekristenan dan agama-agama dunia. Cobb tidak mau meninggalkan nosi Kristus sebagai inkarnasi Logos di dunia, tetapi ia ingin memberikan penafsiran baru terhadap realitas itu. “tepatnya melalui memperdalam keyakinan sentralnya terhadap inkarnasi, iman Kristen bergerak menuju transformasinya sendiri melalui keterbukaan bagi semua iman (agama). Transformasi yang kreatif dari teologi yang membawa kepada kesemestaan dapat dikenali dengan bertanggung jawab sebagi Kristus.”
Kristus seharusnya dilihat bukan sebagai mode pembatasan atau pola eksklusivitas, melainkan sebagai jalan kepada keterbukaan terhadap jalan-jalan keselamatan yang lain. Istilah Kristus harus diwakili dengan suatu fokus yang baru dan yang mampu merangkul semua. Bagi Cobb Kristus adalah proses transformasi yang kreatif yang bisa menyediakan 'suatu kesatuan yang di dalam mana banyak pusat makna dan keberadaan bisa dihargai dan didorong dan yang melalui mana keterbukaan kepada jalan-jalan Besar lain dari umat manusia bisa membawa kepada suatu pendalaman keberadaan Kristus'. Pandangan ini menghadirkan Kristus sebagai jalan kepada Allah yang tidak dari situ mengesampingkan jalan-jalan lain tetapi justru merangkulnya.
Cobb tidak ingin berpindah dari Kristus, tetapi ia ingin menjauhkan diri dari kebanyakan tradisi Kekristenan. Dalam bukunya, ia menyatakan bahwa: “tesis buku ini adalah bahwa Kristus tidak lagi terikat oleh sistem kepercayaan dan praktik agama tertentu mana pun melainkan lebih sebagai kuasa seni yang kreatif bagi gaya tertentu mana pun.” Cobb secara spesifik menyamakan Kristus-sebagai-transformasi-kreatif dengan Logos. Kristus sebagai transformasi kreatif bersifat ontologis, universal, transenden dan imanen. “Kristus adalah Logos yang berinkarnasi. Logos itu adalah prinsip keteraturan kosmis, dasar makna, dan sumber tujuan [telos].”
Karl Rahner dari kalangan Katolik merumuskan pandangan teologinya mengenai agama-agama lain berdasarkan pendapat bahwa anugerah Allah ditawarkan kepada semua orang di seluruh dunia. Kalau Allah berkenan demikian, maka Ia pun bertindak demikian. Memang keselamatan ada dalam Yesus Kristus, namun gereja tidak boleh mengutuk agama lain sebagai palsu dan tidak mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna yang ada dalam gereja, namun karena anugerah yang bersifat universal itu, maka keselamatan dalam Kristus pun ada di sana walaupun tidak memakai nama Kristus. Jadi dalam agama-agama lain, Kristus yang menyelamatkan itupun ada di sana tanpa bernama Kristus. Ini dinamakan oleh Rahner sebagai “anonymous Christ” (Kristus yang tanpa nama) dan oleh sebab itu penganut agama-agama lain adalah sebenarnya juga orang-orang Kristen tanpa nama.
Rahner mengusulkan agar pekabaran injil bukan lagi memanggil orang untuk meninggalkan agama mereka dan masuk ke dalam agama Kristen dan menjadi anggota gereja. Sebaliknya, pekabaran injil haruslah menjadi usaha untuk menyadarkan orang-orang beragama lain tentang hadirnya Kristus yang menyelamatkan sebagai anugerah Allah di tengah mereka.
Kaum inklusif bersikeras bahwa keselamatan dapat diperoleh secara universal melalui penggenapan dan mereka percaya bahwa penebusan mungkin melalui agama-agama lain – itu berarti mereka percaya bahwa keselamatan mungkin melalui penyataan umum.
2.2. Dasar Teologis
Dengan pendekatan inklusif, ada keyakinan di kalangan pendukung pendekatan ini bahwa anugerah Allah tersedia bagi setiap orang tanpa memandang agama mana atau latar belakang sosial mana dan penyertaan Allah [providensia], kebaikan-Nya yang nyata serta rencana keselamatan meluas bagi semua orang (umat).
"Dari satu orang saja Ia telah menjadikan semua bangsa dan umat manusia untuk mendiami seluruh muka bumi dan Ia telah menentukan musim-musim bagi mereka dan batas-batas kediaman mereka,” (Kis. 17:26)
“Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya, (Rom 2:6) yaitu hidup kekal kepada mereka yang dengan tekun berbuat baik, mencari kemuliaan, kehormatan dan ketidakbinasaan,” (Rom 2:7 )
“...yang menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran.” (1 Tim. 2:4)

2.3. Kekuatan dan Kelemahan
 Kelebihan sikap inklusif adalah sikapnya yang positif terhadap agama-agama lain. Tidak muncul permusuhan dan pandangan yang negatif terhadap keberadaan agama dan keyakinan lain.
 Kekurangannya adalah anggapan bahwa keselamatan umat lain bukan berasal dari agamanya sendiri tetapi dari Kristus yang bekerja dalam agama-agama tersebut. Dengan demikian, sikap positif Rahner terhadap agama lain muncul karena hakikat dan eksistensi agama lain itu telah ia ganti dengan isi yang baru, yaitu Kristus. Eksistensi agama lain direndahkan nilainya, diturunkan posisinya di bawah kekristenan.

2.4. Model Dialog
 Swidler mendefinisikan dialog sebagai suatu percakapan tentang pokok umum antara dua orang atau lebih dengan berbagai pandangan, yang mana tujuan utamanya bagi masing-masing peserta adalah untuk belajar dari yang lain sehingga ia dapat berubah dan bertumbuh. Berangkat dari keyakinan bahwa Kristus berkarya bukan hanya dalam tradisi Kristen namun berkarya secara universal. Kaum inklusif dalam dialog berupaya menemukan titik temu di mana mereka mampu melihat peran Kristus dalam segi-segi tradisi keimanan agama lain. Sebagaimana Cobb menyebut Kristus sebagai suatu transformasi kreatif, Kristus adalah energi ilahi yang bekerja dalam agama-agama lain. Kaum inklusif dalam dialog tetap meyakini dan percaya Kristus namun Kristus yang bekerja universal.
 Walaupun para peserta dalam dialog saling mengemukakan pendapat serta kebenaran, tidak satupun akan mengemukakannya dari satu posisi teologis yang mengklaim dominasi agamanya atas Yang Lain atau menghakimi Yang Lain.

3. Pluralis
3.1. Deskripsi

 Kata “Plural” berarti “jamak” dan ketika kata ini ditambah akhirannya menjadi “Pluralitas” ini berarti “kemajemukan”. Dan jika akhir dari kata “plural” ini ditambah dengan kata “isme” ini berarti ada ajaran-ajaran/isme-isme di dalam kemajemukan agama. Jadi arti “Pluralisme Agama” adalah gerakan yang berupaya untuk mempersatukan agama-agama agar kebenaran-kebenaran yang beragam dapat saling mengisi dan melengkapi. Jadi dengan kata lain mereka saling membuka diri untuk saling dapat menerima semua keberadaan agama-agama yang lainnya, dengan tidak membicarakan atau mempertajam keberbedaan pengajaran mereka masing-masing. Knitter mengatakan: “Semakin kebenaran agamaku membuka aku kepada orang-orang lain, semakin aku bisa menegaskan kebenaran agamaku itu sebagai yang mutlak.”
 Pandangan pluralisme adalah hasil dari pemikiran filsafat era post-modern yang anti terhadap segala proposisi, anti terhadap segala ide mengenai kemutlakan di mana filsafat post-modern berpijak diatas dasar relativisme murni, walaupun pada kenyataannya terjebak pada kemutlakan pemikiran manusia secara subyektif, yang mengakibatkan timbulnya epistemology subjectivism, yaitu suatu konsep kebenaran yang menganggap bahwa sesuatu adalah benar dan hanya benar jika dinyatakan benar oleh seseorang / sekelompok orang, di mana pada dasarnya pemikiran tersebut tidak akan meng-intervensi pemikiran orang / kelompok lain yang berbeda pandangan dengan kelompoknya selama tidak terjadi konflik atau bersinggungan dengan kepentingan masing-masing kelompok.
 Secara umum kita melihat ke-bhinneka tunggal ika-an yang harmonis serta suatu kerukunan yang ditunjukkan oleh masing-masing kelompok, namun pada dasarnya telah menyimpang dari hakikatnya. Permasalahan disini ada pada landasan filosofis-nya di mana pendapat subyektif manusia-lah yang menjadi penentu apakah sesuatu hal itu benar atau tidak benar, karena (secara mutlak) tergantung kepada diri manusia itu sendiri. (bdk. Kejatuhan Manusia – Kejadian 3:1-24)
 Kaum pluralis memahami keselamatan sebagai suatu respons terhadap yang nyata dan yang tertinggi, sehingga si pemberi respons itu ditransformasikan dari keberpusatan pada diri kepada keberpusatan pada kenyataan. Pergeseran dari pandangan keselamatan yang “kristosentris” menuju suatu model “teosentris” dan menuju apa yang disebut konsep yang “soteriosentris” menjadikan pluralisme lebih konsisten.
 Menurut Ebbie Smith karakteristik teologi pluralis adalah sebagai berikut:
1. Teologi pluralis menganggap doktrin inkarnasi Kristus sebagai hasil mitos;
2. Teologi pluralis mengutamakan sifat keselamatan dari semua agama;
3. Teologi pluralis bergerak dari agama yang kristosentris menuju soteriosentris;
4. Teologi pluralis berbicara tentang Allah yang tidak bisa dikenal dan tidak dikenal.
 Kaum pluralis dalam taksonomi Rice lebih cenderung menggunakan pendekatan teosentris. Asumsinya semua agama hasil dari Allah yang satu. Tetapi sebenarnya kaum pluralis tidak satu. Dalam arti ada juga yang melihat persoalan bersama umat manusia atau kemanusiaan itu sendiri sebagai dasar utama dalam kerjasama antar umat beragama. Sesuai dengan namanya kelompok pluralis ini bersifat plural. Anselm Min menyebutkan bahwa paling sedikit ada enam paradigma yang dianut kaum pluralis:
1. Pertama, the phenomenalist pluralism (John Hick dan Paul Knitter). Dalam pendekatan ini agama hanya dilihat sebagai fenomena respon yang berbeda terhadap realitas transenden yang satu (baca: Allah). Pendekatan ini lebih teosentris. Mereka percaya bahwa Allah yang esa itu tidak bisa dipenjara oleh satu agama atau doktrin agama mana pun. Keanekaragaman agama bukan dilihat sebagai keanekaragaman Allah tetapi keanekaragaman interpretasi tentang Allah yang bekerja dan dipahami di dalam konteks historis dan budaya masyarakat di mana Allah menyatakan diri. Oleh karena itu mereka mengakui adanya kebenaran pada agama-agama lain. Semua agama dianggap menyembah Allah yang menyatakan diri dan dipahami dalam berbagai interpretasi. Kelemahan utama yang tidak diperhitungkan adalah bahwa tidak semua agama menyembah Allah. Misalnya agama Buddha.
2. Kedua, the universalist pluralism (Leonard Swidler, Wilffred Cantwell Smith, Ninian Smart, dsb). Pendekatan ini menekankan kemungkinan dan bahkan keperluan dibuatnya satu teologi yang universal berdasarkan pengalaman sejarah agama-agama. Kelemahannya adalah pendekatan ini terlalu menekankan universalitas yang bisa mengorbankan partikularis atau kekhasan setiap agama. Pendekatan ini bisa terlalu menekankan persamaan sehingga mengabaikan adanya perbedaan.
3. Ketiga, soteriosentrik pluralism (Rosemary Ruether, Suchocki, Tom Driver dan juga Knitter) menegaskan perlu keadilan sebagai ukuran dan praxis bersama umat berbagai agama. Dalam pendekatan ini umat beragama didorong untuk bekerja-sama secara fungsional dalam menangani persoalan sosial dan politik demi kemaslahatan bersama. Tetapi, kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ia menghindari umat untuk berbicara dan saling berdiskusi tentang persoalan dogma dan doktrin agama.
4. Keempat, pluralisme ontologis dengan tokohnya Raimundo Panikkar yang menegaskan bahwa pluralisme bukanlah sekedar suatu pengetahuan tetapi bahkan eksistensi dan hakikat hidup manusia. Pendekatan lebih bersifat kristosentris. Dalam pendekatan ini, Kristus mewujudkan diri dalam berbagai agama lain sebagai pribadi yang berbeda. Kristus dalam agama Kristen menampilkan diri dalam diri Yesus. Kristus dalam agama Hindu menampilkan diri dalam diri dewa Wisnu atau Dewi Sri. Kristus bisa pula menampilkan diri sebagai Tao atau bahkan sebagai Muhammad. Pendekatan ini cukup dipengaruhi pemikiran Hindu yang memiliki ribuan dewa/dewi.
5. Kelima, Kristosentris pluralis tokohnya adalah Hans Kung, John Cobb, Jurgen Moltmann, Kenneth Surin, dsb. Pendekatan ini menegaskan bahwa meskipun kita harus menghargai agama-agama lain, orang Kristen harus tetap mengakui identitas dan finalitas Yesus Kristus sebagai juruselamat dunia. Tanpa pengakuan ini, orang Kristen kehilangan identitas Kristennya. Sebaliknya, tanpa sikap positif terhadap agama lain, orang Kristen terjebak dalam kepongahan rohaninya. Kelemahan pendekatan ini justru sebaliknya dari pendekatan ketiga. Pendekatan ini lebih bersikap deduktif dan bisa terjebak pada abstraksi teologis yang tidak relevan bagi kehidupan kita kini.
6. Keenam, Kristologi yang Soteriosentris. Eka Darmaputera salah satu tokohnya. Posisi ini sangat menekankan Kristosentris, tetapi Yesus Kristus yang ditekankan di sini bukanlah Yesus yang kita kenal melalui doktrin dan dogma. Paradigma ini menekankan Yesus sebagai Anak Allah yang peduli kepada manusia dan dunia serta rela berinkarnasi untuk masuk, hidup dan berjuang untuk menciptakan keadilan dan perdamaian di dalam dunia di tengah umat manusia. Bagi pendekatan ini, seorang Kristen belum sungguh-sungguh ‘Kristen’ bila belum meneladani sikap hidup Kristus.


3.2. Dasar Teologis
  Tiga ayat pertama ini merupakan dasar bagi pembenaran pergeseran keselamatan Kristosentris menuju keselamatan teosentris sebagaimana ditawarkan pendekatan pluralisme.
Kamu telah mendengar, bahwa Aku telah berkata kepadamu: Aku pergi, tetapi Aku datang kembali kepadamu. Sekiranya kamu mengasihi Aku, kamu tentu akan bersukacita karena Aku pergi kepada Bapa-Ku, sebab Bapa lebih besar dari pada Aku. (Yoh 14:28)

Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus. (Yoh 17:3)

Tetapi kalau segala sesuatu telah ditaklukkan di bawah Kristus, maka Ia sendiri sebagai Anak akan menaklukkan diri-Nya di bawah Dia, yang telah menaklukkan segala sesuatu di bawah-Nya, supaya Allah menjadi semua di dalam semua. (1 Kor 15:28)

“namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan." (Kis 14:17)

3.3. Kekuatan dan Kelemahan

 Dengan pendekatan pluralis, orang-orang Kristen lebih terbuka dan menghargai perbedaan dan menerima orang-orang yang beragama lain dengan sepenuhnya. Dari kaum pluralis kita belajar bahwa kita harus memiliki kerendahan hati, keterbukaan dan kemampuan untuk berelasi dan bekerjasama. Dengan demikian pluralisme membangun masyarakat yang bersatu dan saling menghargai. Potensi konflik dapat diperkecil. Ini merupakan kekuatan pendekatan pluralisme.
 Kelemahan pendekatan pluralisme adalah pengorbanan posisi Alkitab sebagai landasan iman Kristen. Posisi Alkitab dan keselamatan dalam Kristus di dalamnya menjadi tidak istimewa lagi. Alkitab diposisikan setara dengan kitab-kitab suci lain dalam menyatakan keselamatan. Berita Alkitab dianggap sebagai hasil pemikiran manusia seperti layaknya mitos. Nyata dengan pendekatan ini orang Kristen mengorbankan kekhasan Kristus demi hubungan dengan orang lain.

3.4. Model Dialog
 Dengan pendekatan pluralis, dialog menjadi sangat penting dan merupakan bagian yang terpadu dalam misi Kristen. Walaupun demikian dialog bukan termasuk misi dengan pendekatan evangelistis melainkan misi kesaksian bagi saluran-saluran kasih Allah. Dengan bukan sebagai misi evangelistis maka dialog bukan bertujuan untuk menarik seseorang dari umat beragama lain untuk menjadi anggota gereja, melainkan memberi kesaksian akan kasih Allah yang universal dalam kemanusiaan dan lingkungan. Model dialog yang kaum pluralis kembangkan sangat berlawanan dengan kau eksklusif. Dialog polemik dari kaum eksklusif bagi pluralis tidak menghasilkan buah selain alienasi dan permusuhan.
 Tujuan dialog adalah untuk berubah dan bertumbuh dalam persepsi dan pengertian terhadap realitas dan kemudian bertindak sesuai dengan itu. Orang-orang yang terlibat dalam dialog antaragama yang sejati mempelajari apa yang dipercaya dan diyakini oleh orang dari agama lain. Pemahaman ini akan menolong untuk menghilangkan konsep-konsep yang salah dan kabur terhadap agama lain.
 

C. Penutup
 Memelihara kerukunan antar sesama pemeluk agama adalah suatu hal yang sangat penting, demikian pula dengan menghargai pendapat ataupun pandangan orang lain, akan tetapi setiap orang Kristen tidak boleh kehilangan identitas dirinya dengan menyama-ratakan semua pandangan kepercayaan, agama dan keyakinan. Firman Tuhan bersifat mutlak dan merupakan satu-satunya dasar bagi setiap manusia, pemahaman inilah yang seharusnya memberi kita semangat untuk membawa berita Injil, berita keselamatan yang eksklusif didalam Kristus akan tetapi disediakan bagi setiap orang (percaya) tanpa pandang suku, bangsa, ras, golongan atau latar-belakang apa pun juga. Dialog seharusnya bertanggung jawab secara global, hal ini akan menjadi lebih efektif, bermanfaat, dan transformatif dibandingkan dengan yang terjadi di waktu lampau. Di sinilah kebutuhan menjadi suatu kesempatan. Tanggung jawab global dapat memberikan baik suatu kunci teologis untuk mendengar dan memahami Injil dalam keterbukaan yang lebih dialogis terhadap agama-agama lain, maupun suatu kunci hermeneutis untuk mendengar dan memahami keberlainan dan perbedaan yang ada dalam berbagai jalan rohani lainnya.
 Agar dialog antar agama bisa lebih dari sekedar suatu pertukaran informasi akademis tentang berbagai tradisi yang berbeda, dialog harus menerapkan semacam taktik korelasional, seanologi dengan metode korelasi yang ada dalam teologi kristen; mitra dialog tidak hanya berbicara tentang tradisi religius mereka masing-masing tetapi juga tentang bagaimana tradisi itu dipahami dan perlu dipahami ulang dalam dunia kontemporer kita.

Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani. (Roma 1:16)
Amin


REFERENSI

Buku
Gillis, Chester, A Question of Final Belief: John Hick's Pluralistic Theory of Salvation, London: MacMillan Press (1989)

Hick, John, A Christian Theology of Religions, Louisville: Westminster John Knox Press (1995)

Hutahaean, Tumpal, Finalitas Karya Yesus sebagai Tuhan dan Juruslamat (naskah tidak diterbitkan), tanpa tahun

Knitter, Paul F., Satu Bumi Banyak Agama, Jakarta: Gunung Mulia (2006)

Maleh, Kinurung, A Study of Christian Dialogue on Human Rights and Environmental Problems in Indonesia As an Approach to Muslim, Seoul: Presbyterian College and Theological Seminary (2002)

Rakhmat, Ioanes, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani dalam Fundalisme, Agama-agama, dan Teknologi (disunting oleh Sutarman dkk.), Jakarta: Gunung Mulia (1996)

Tanya, Victor, Gereja dan Umat Beragama Lain dalam Fundalisme, Agama-agama, dan Teknologi (disunting oleh Sutarman dkk.), Jakarta: Gunung Mulia (1996)


Laman Internet
http://www.gkipi.org/files/teologi/07091.htm (diakses pada 3 Desember 2009, pukul 19.00 WITA)

http://www.sarapanpagi.org/sarapanpagi-biblika-vf69.html (diakses pada 5 Desember 2009, pukul 20.00 WITA)
</span>



Sabtu, 06 Februari 2010

E.B. Tylor dan J.G. Frazer, Sigmund Freud, Emile Durkheim, Mircea Eliade, E. E. Evans Pritchard, Clifford Geertz


Tulisan ini adalah terjemahan beberapa bagian dari "Seven Theories of Religion" (Daniel Pals) yang merupakan buku wajib untuk bidang studi Agama dan Masyarakat di STT GKE (Banjarmasin). 

Animisme dan Magis: E.B. Tylor dan J.G. Frazer

E.B. Tylor
Minat pertama Tylor bukanlah agama melainkan studi kebudayaan manusia, atau organisasi sosial. Ada yang menganggapnya sebagai pendiri antropologi sosial atau kultural ketika ilmu itu sekarang dipraktikkan di Inggris dan Amerika Utara.

Kebudayaan Primitif
Latar belakang
Pentingnya karya Tylor paling banyak diapresiasi dalam konteks sejarah dan agama. Kebudayaan Primitif diterbitkan di Inggris pada zaman Ratu Victoria ketika orang-orang beragama dengan penuh perhatian bergumul dengan beberapa tantangan yang mengganggu iman mereka. Sejak tahun-tahun dini abad ini, sejumlah filsuf, sejarawan dan naturalis pada bidang geologi menemukan diri mereka tertarik pada ide perkembangan jangka panjang baik dalam masyarakat alami maupun manusia. Bagi beberapa orang, bumi dan manusia mulai kelihatan jauh lebih tua dari sekedar 6000 tahun yang para teolog telah tentukan dari  kitab Kejadian dalam Alkitab.

Doktrin “bertahan hidup”
Kita tidak bisa berbicara mengenai perkembangan kata Tylor tanpa memperhatikan dalam beberapa budaya hal-hal tertentu yang tidak berkembang sama sekali. Tylor mencatat bahwa tidak semua budaya dan tidak semua hal dalam satu budaya mana pun yang berkembang dalam langkah yang sama. Beberapa praktik yang layak pada waktu yang diberikan tidak berkembang sama sekali lama setelah barisan perkembangan berlalu melewatinya. Di antaranya adalah masa-masa lewat yang penuh keingintahuan, adat-adat yang kuno, cerita-cerita rakyat, obat-obatan rakyat, dan takhayul-takhayul pilihan yang dihubungkan dengan setiap lingkungan yang dikandung daripada upaya manusia. Tylor mengamati bahwa catatan sejarah manusia penuh dengan takhayul-takhayul yang dengan sempurna menggambarkan fakta bahwa sementara aliran evolusi sosial nyata dan arusnya sangat kuat.

Jika prinsip evolusi menunjukkan mengapa ada upaya-upaya bertahan hidup, maka itu adalah prinsip keseragaman penyerta, kata Tylor yang memampukan kita untuk memahami dan menjelaskan mereka. Karena – tidak peduli ras, bahasa, atau kebangsaan – semua manusai bernalar sama, kita dapat selalu memasuki pikiran-pikiran orang-orang di budaya yang lain, bahkan sekalipun tingkat pengetahuan mereka mungkin sanagt berbeda dari tingkat pengetahuan mereka.

Aspek-aspek kebudayaan Manusia
Bagi Tylor hubungan antara pemikiran mendasar dan evolusi sosial nampak pada semua aspek budaya jika saja kita mau mengamatinya dengan cukup cermat. Ia memberikan sebagai contoh utama pemakaian magis, yang di mana-mana umum di antara orang-orang primitif. Magis didasarkan pada asosiasi ide-ide, suatu kecenderungan yang “ ada pada bagian paling dasar dari pemikiran manusia.” jika agaknya dalam pemikiran orang-orang bisa menghubungkan satu ide dengan yang lainnya, lantas logika mereka akan menggerakkan mereka untuk menyimpulkan bahwa hubungan yang sama pula harus ada dalam realitas. Orang-orang primitif percaya bahwa bahkan dari jauh, mereka bisa menyakiti atau menyembuhkan yang lain dengan bertindak pada kuku, gulungan ramput, potongan pakaian, atau apapun yang berhubungan dengan dirinya. Atau mereka berpikir bahwa kemiripan simbolis sangat penting. Orang-orang dalam beberapa suku membayangkan bahwa karena penyakit tertentu bisa membuat warna kulit berubah kuning dan karena emas itu kuning, penyakit kuning di kulit bisa disembuhkan dengan cincin emas. Orang-orang lain yang mempraktikkan pertanian primitif telah dikenal sebagai penyiksa korban-korban manusia secara brutal dalam kepercayaan mereka bahwa air mata kesedihan akan membawa hujan bagi ladang. Bagi kita perbuatan-perbuatan demikian mungkin kelihatan kejam atau bodoh; bagi orang-orang yang percaya magis semua itu adalah upaya-upaya yang rasional untuk mempengaruhi dunia.

Tylor menemukan pola rasionalitas yang sama dalam kedua prestasi paling dasar dan penting manusia: perkembangan bahasa dan penemuan ilmu hitung. Dalam masing-masing kasus, prosesnya bermula sederhana, dengan kata-kata tunggal yang meniru bunyi-bunyi alam dan dengan sistem berhitung berdasarkan jari tangan dan jari kaki. Lalu, sepanjang abad, konsep-konsep ini secara lambat laun dibangun untuk menghasilkan sistem berbahasa dan angka yang sangat rumit yang pada saat ini kita kuasai bahkan ketika kecil dan menerapkannya dengan mudah dalam hal-hal sehari-hari.

Asal-muasal agama
Tylor mengenali lebih lanjut bahwa kita tidak bisa begitu saja mengikuti impuls alamiah untuk mendeskripsikan agama hanya sebagai kepercayaan kepada Allah, meskipun itu yang akan mungkin dilakukan oleh para pembaca Kristen. Pendekatan itu akan menyisihkan sebagian besar dari umat manusia – orang-orang yang terang-terangan beragama, tapi percaya kepada lebih dari itu, dan yang lain, dewa-dewa daripada orang-orang Kristen dan Yahudi. Oleh sebab itulah ia mengusulkan definisi minimal dari agama itu sendiri, sebagai titik berangkat yang lebih sesuai, yaitu “kepercayaan kepada keberadaan-keberadaan rohaniah (spiritual)”. Formula ini yang telah diadopsi oleh yang lain sederhana, langsung, luas sesuai cakupannya. Sebab meskipun kita dapat menemukan kesamaan-kesamaannya, Tylor merasa satu yang khas dibagikan di semua agama besar atau kecil, modern atau kuno, adalah kepercayaan pada roh-roh yang berpikir, bertindak, dan merasa seperti orang manusia. Hakikat agama, seperti mitologi, nampaknya adalah animisme (dari kata bahasa Latin anima, artinya roh) – kepercayaan keada kuasa-kuasa yang hidup dan berpribadi di balik segala sesuatu. Animisme lebih jauh adalah suatu bentuk yang sangat tua, yang terdapat di seluruh sejarah umat manusia. Maka, Tylor mengusulkan jika kita benar-benar ingin menjelaskan agama, jawaban yang harus kita berikan adalah ini: Bagaimana dan kenapa umat manusia pertama sampai percaya bahwa hal-hal semacam itu seperti keberadaan-keberadaan rohani pada kenyataannya ada?

Tylor lebih lanjut menjelaskan bahwa sekali ide-ide spiritual ini memperoleh pegangannya pada pikiran orang-orang kuno, semua itu tidak tinggal dalam bentuk yang tetap. Seperti segala sesuatu yang lain dalam sejarah, animisme juga mengikuti suatu pola pertumbuhan dan perkembangan.

Pada satu arti, Tylor menyatakan bahwa kisah animisme adalah kisah yang membesarkan hati. Agama dapat dilihat telah lambat laun berkembang naik dari bawah kepercayaan primitif kepada roh-roh pepohonan dan batu-batuan sampai menuju monoteisme dan etika yang dtampilkan dalam agama Yahudi dan Kristen pada masa kini.

J. G. Frazer
Seperti Tylor, Frazer berasal dari keluarga Kristen Protestan, tapi keluarganya bukanlah keluarga Quakers yang liberal dan berada. Lahir pada tahun baru tahun 1854, di Glasgow, Skotlandia, ia dibesarkan oleh orang tua Presbiterian Skotlandia yang keras dan saleh.

Magis dan Agama
Begitu diperkenalkan, subjek magis dan agama menjadi tema pusat karya Golden Bough, dan meski Frazer memang akhirnya kembali kepadanya, misteri si Raja Hutan menyusut ke latar belakang.

Frazer menjelaskan bahwa bukti pemikiran magis bisa dilipatgandakan dalam banyak contoh yang ditarik dari kehidupan primitif di seluruh dunia, dan dia senduri menyediakannya dalam jumlah besar. Frazer juga melampaui Tylor, yang cenderung berbicara tentang pengetahuan magis sebagai upahnya sendiri, dalam menekankan kuasa sosial yang bertumbuh bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan seni magis. Bukanlah kebetulan, ia mengamati, bahwa dalam kebudayaan-kebudayaan primitif orang yang mengklaim penguasaan teknik-tekniknya – apakah disebut dengan seoorang tukang sihir, tabib obat, atau dukun - hampir selalu memegang posisi gengsi dan kuasa yang patut dipertimbangkan. Biasanya pada kenyataan, si tukang magis berperan sebagai raja, karena ia paling mengetahui bagamana mengendalikan dunia alami untuk kebaikan suku atau untuk keburukan musuhnya. Bukti-bukti di seluruh dunia mendukung kesimpulan bahwa di antara orang-orang kesukuan, tidak ada yang lebih umum daripada bagi tukang magis sebagai kepala kampung atau raja.

Para pengemuka teori dewasa ini sering mengacu kepada Tylor dan Frazer sebagi pendukung dari pendekatan “intelektualis” terhadap agama. Dengan ini maksud mereka bahwa kedua orang ini berpikir tentang agama sebagai pertama-tama masalah kepercayaan-kepercayaan, ide-ide yang dikembangkan orang untuk mempertanggungjawabkan apa yang mereka temukan dalam dunia. Agama tidak dilihat sebagai contoh pertama tentang kebutuhan-kebutuhan kelompok, struktur-struktur, atau kegiatan-kegiatan. Sebaliknya, agama dipikirkan sebagai yang berasal dari pikiran “filsuf liar” individual, demikian disebut Tylor, pemikir prasejarah yang sepi yang mencoba untuk memecahkan teka-teki kehidupan dan kemudian meneruskan minat-minat dan ide-idenya kepada yang lain. Agama menjadi komunal atau sosial hanya ketika suatu ide yang dipandang absah oleh seseorang lambat laun dibagi-bagikan bersama yang lain. Kelomp-kelompok agama, demikian, pada contoh pertama selalu dipandang sebagai kumpulan-kumpulan perorangana yang kebetulan berbagi kepercayaan yang sama.

Agama dan Kepribadian:
Sigmund Freud

Psikoanalisis dan ketidaksadaran
Freud lahir pada tahun 1856 di Moravia, suatu bagian dari Eropa Tengah yang kemudian menjadi bagian dari kekaisaran Austro-Hungaria yang bergelimpang. Kita paling dapat memahami Freud dengan mulai dari mana Freud sendiri mulai – dengan penemuan-penemuan yang ia laporkan dalam The Interpretation of Dreams (1900). Dalam buku yang penting ini, ia memulai dengan mengamati bahwa mimpi-mimpi manusia selalu menarik perhatian, keingintahuan, berpikir sebagian besar pada mitos, literatur, cerita rakyat dan magis. Tylor seperti yang kita lihat berpikir bahwa pengalaman mimpilah yang membawa orang-orang primitif sampai percaya kepada jiwa-jiwa. Freud menerima kalim-klaim ini, tetapi menjelaskannya bahwa ia siap mengatakan lebih. Ia bersikeras bahwa mimpi-mimpi lebih penting dari sekedar keingintahuan semata atau bahkan teori-teori jiwa akan selalu membawa kita untuk menebak-nebak.

Freud percaya bahwa banyak hal yang kita lakukan bahkan dalam kehidupan sadar diatur oleh energi-energi tersembunyi daripada ketidaksadaran. Dalam buku-buku lebih jauh seperti Psychopathology of Everyday Life (1901) dan Wit and Its Relation to the Unconscious (1905), ia berupaya untuk menunjukkan bahwa kejadian-kejadian yang terjadi secara rutin seperti lelucon, keseleo lidah (atau lebih dikenal dengan istilah “Lidah Freud”), ketidakhadiran pikiran, kadaluwarsa ingatan, corat-coret, dan bahkan keanehan-keanehan tubuh dan isyarat-isyarat semuanya berasal dari ketidaksadaran.

Menurut Freud, kemudian, tidak kebetulan bahwa kisah-kisah yang sudah umum dikenal yang ditemukan dalam mitologi dan cerita rakyat dan tema-tema kesenian yang selalu diulang-ulang, sastra, dan agama membawa kemiripan yang sangat kuat dengan pokok-pokok dan gambaran-gambaran yang terus kembali dalam mimpi-mimpi manusia. Semua bersaksi kepada rahasia itu, kuasa bawah sadar dari ketidaksadaran.

Kepribadian dalam Konflik

Freud dan Agama

Sekali ia telah mengembangkan ide-ide dasar psikoanalisis, Freud menemukan agama sebagai suatu pokok studi yang paling menjanjikan. Pada masa kecil, tentunya, ia telah memperoleh pengenalan dasar dengan pengajaran agama Yahudi. Meskipun keluarganya sebagian besar tidak beragama, ia tahu dengan baik kisah-kisah dan tulisan-tulisan Alkitab Ibrani. Ia juga mengembangkan suatu kerja yang berguna daripada Kekristenan, yang diambil terpisah dari fakta-fakta kehidupan dalam Vienna Katolik dan sebagian dari pembacaan yang luasnya sendiri dalam sejarah dan sastra peradaban Barat.

Analisa Freud terhadap daya-daya tersembunyi dalam kepribadian manusia telah memaksa tidak hanya mereka yang berkutat pada teori agama saja tetapi hampir setiap orang yang berhubungan dengan praktiknya – para teolog, rohaniwan, konselor, dan guru – untuk melihat ke bawah permukaan ajaran-ajaran yang telah diterima dan menemukan unsur-unsur mendalam yang tidak diketahui dari kepribadiaan yang membentuk iman beragama manusia dan pada gilirannya dibentuk olehnya. Menariknya meskipun Freud sendiri mengambil lpandangan yang negatif terhadap perilaku beragama, para pemimpin lain dalam psikonalisis – dan bahkan seluruh mazhab pemikiran dalam psikologi kontemporer – telah gemar mengadaptasikan pandangan-pandangannya kepada pandangan-pandangan mereka yang lebih simpatik.

3. Masyarakat yang Suci:

Emile Durkheim
Minat besar Durkheim pada masyarakat bukanlah ciptaan yang tiba-tiba dirinya sendiri. Durkheim membangun secara alami atas ide-ide para pemikir sebelumnya seperti Montesquieu, Auguste Compte, dll. Dalam hal-hal spesifik Durkheim memperhatikan khususnya empat kecenderungan atau pola ini:

1. Mmengganti sistem tradisional sosial Eropa, diikat bersama sebagaimana ia ada oleh ikatan-ikatan keluarga, komunitas, dan iman agama, suatu susunan “kontraktual” muncul, di mana keprihatinan-keprihatinan privat dan kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan uang nampaknya berpengaruh besar.

2. Dalam ranah moral dan perilaku, nilai-nilai sakral yang dulu disanksikan oleh gereja sekarang ditantang oleh ideal-ideal yang baru, yang menekankan nalar atas agama dan keingiann untuk kebahagiaan dalam kehidupan ini di atas harapan mana saja dari Surga (atau ketakutan akan neraka) dalam kehidupan masa depan.

3. Dalam lingkungan politik, munculnya masa demokratik di dasar masyarakat dan negara pusat yang berkuasa di bagian atas telah mengubah sifat kontrol sosial. Orang-orang secara individual menemukan diri mereka terputus hubungan dengan guru-guru moral mereka yang dulu – keluarga, desa, dan gereja – dan ditinggalkan untuk menemukan bimbingan apa yang mereka peroleh dari partai-partai politik, gerakan-gerakan massa, dan negara.

4. Dalam area hal-hal pribadi, kebebasan baru perorangan yang dibebaskan dari kerangka-kerangka kerja yang lama menghadirkan kesempatan yang besar d an resiko yang besar. Bersamanya datang kesempatan kemakmuran yang lebih besar dan realisasi diri tetapi juga ancaman serius kesendirian dan isolasi pribadi.

Sosiologi dan “sosial”
Durkheim meletakkan bagi penyelidikan ilmiahnya dua prinsip yang tetap dan mendasar: (1) bahwa sifat masyarakat adalah subjek yang paling cocok dan menjanjikan untuk penyelidikan sistematis, khususnya pada saat sejarah sekarang, dan (2) bahwa semua “fakta-fakta sosial” yang demikian itu harusnya diselidiki oleh metode-metode ilmiah yang paling murni yang bisa diupayakan.

Kehidupan sosial jelasnya telah membentuk ciri-ciri paling mendasar kebudayaan manusia, tetapi itu bukan bagamana pemikir-pemikir terdahulu cenderung melihatnya. Dalam masa-masa pra sejarah setiap orang selalu pertama dilahirkan ke dalam kelompok-kelompok – keluarga, klan, suku, bangsa – dan dibesarkan dalam konteks itu. Bahasa-bahasa mereka, kebiasaan, kepercayaan, dan respons emosional – bahkan konsep yang mereka miliki dengan sendiri – selalu datang dari suatu kerangka kerja sosial yang ada untuk membentuk mereka dari saat pertama mereka tampil pertama di dunia. Perjanjian-perjanjian kuno, contohnya, selalu disumpahkan dengan sumpah agama yang suci, yang menunjukkan bahwa perjanjian-perjanjian sedemikian bukanlah masalah kenyamanan antara dua pihak yang terlibat tetapi dikuatkan oleh dewa-dewa, sebab semua komunitas memiliki kepentinagn pada hasil akhirnya. Demikian juga dengan konsep properti privat.

Solidaritas sosial lalu telah menjadi hal primer. Dari pengertian utama kelompok telah datang struktur-struktur dasar kehidupan sebagai kewajiban moral dan kepemilikan barang pribadi.

Teori-Teori sebelumnya: Naturisme dan Animisme
Durkheim berpendapat bahwa pengamatan yang teliti kepada teori-teori terkemuka pada masa itu akan menunjukkan suatu tema umum yang ada dalam semuanya: semua mengklaim bahwa agama semata-mata suatu insting umat manusia; diasumsikan bahwa dalam semua budaya orang-orang telah menyusun sistem-sistem kepercayaan mereka sebagai respons yang sungguh logis terhadap dunia sebagaimana mereka menjumpainya. Yang paling utama daripada semua teori ini adalah teori naturisme dari Friedrich Max Muller, yang kita jumpai dalam pengantar dan animisme dari E. B. Taylor. Muller berpendapat bahwa umat sampai mempercayai dewa-dewa dengan mencoba menggambarkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa yang besar itu – segala sesuatu seperti matahari, langit, dan badai. Tylor beranggapan bahwa kepercayaa kepada dewa-dewa berkembang dari ide jiwa. Sekarang dalam merangkai pandangan-pandangan ini, Durkheim mengamati, kedua pemikir in sangat-sangat ambisius. Mereka telah berasumsi bahwa masyarakat manusia telah melalui suatu proses evolusi yang panjang, dan mereka telah mencoba melakukan perjalanan ke masa lalu untuk membayangkan bagaimana ide-ide dan emosi umat manusia pertama. Kita harus mencoba mencari pengganti yatu 'sebab-sebab yang selalu hadir saat ini' di mana agama berada, segala sesuatu yang pada segala masa dan tempat mendorong umat untuk percaya dan berperilaku secara agamawi. Daripada membuat tebakan besar tentang masa lampau yang jauh, Durkheim mengjuka bahwa kita pertama sekali melihat contoh nyata agama dalam perbuatan. Dan untuk tujuan ini, metode apa yang lebih baik yang mungkin ada daripada menentukan tempat masyarakat paling sederhana yang kita ketahui dan kita andalkan seseorang yang sesungguhnya mengamatinya? Suatu agama yang berkaitan dengan sistem sosial paling sederhana yang ada mungkin yang baik dianggap sebagai 'agama paling dasariah yang kita mungkin dapat ketahui.'

Agama Suku Australia: Totemisme
Kita sudah mencatat bahwa bagaimana dalam tahun-tahun sebelum dan sesudah peralihan bada, Frazer berminat pada karya Baldwin Spencer, dan F. J. Gillen, dua antropolog lapangan yang mampu mengamati secara dekat suku-suku aborigin primitif tertentu di pedalaman terpencil di Australia. Durkheim tidak kurang tertarik pada riset ini, tetapi ia juga yakin bahwa tidak ada para pengaju teori yang lebih dahulu ini (Robertson Smith, Frazer, Freud, dan para peneliti antropologi mula-mula lain) yang memegang pentingnya riset Australia ini secara penuh. Tidak ada yang sungguh-sungguh menghargai betapa mendasarnya totemisme itu sesungguhnya bagi budaya primitif. Semua mengenali misalnya bahwa bangsa-bangsa suku membagi diri mereka ke dalam klan-klan yang berbeda, yang mana masing-masing dikenali dengan hewan, tanaman, atau benda totem lain yang terpisah. Dan semua memperhatikan bahwa totem itu sendiri entah beruang atau burung gagak, kangguru atau pohon teh, dianggap suci bagi klan yang menganutnya. Tetapi tidak ada yang mendapati hal yang penting secara sejatinya: bagaimana totemisme dengan mengesankan mengilustrasikan konsep suci dan profan.

Dalam tiap-tiap masyarakat primitif ini, Durkheim mengamati binatang-binatang selain totem, yang bersifat profan bisa dengan biasa dibunuh dan dimakan oleh suku klan itu; sedangkan binatang totem tidak boleh. Karena ia suci maka dilarang bagi klan itu. Lagipula klan itu sendiri dianggap suci karena klan itu diperhitungkan sebagai kesatuan dari totem itu. Maka totem itu amat suci (sakral) dan mengkomunikasikan kesakralannya ke semua yang ada di sekitarnya.

Masyarakat dan Totem
Totem adalah simbol dalam contoh yang pertama. Tapi simbol apa? Satu jawaban, kita bisa lihat sekarang adalah prinsip totemik, kekuatan yang tersembunyi yang dipuja klan itu. Dan totem juga adalah gambaran/citra yang kelihatan dan nyata dripada klan itu.

Adalah benar tentunya bahwa dalam ritual-ritual ibadah mereka, yang selalu bersifat komunal, anggota-anggota klan aborigin ini sendiri berpikir mereka sedang menyembah keilahian tertentu, binatang atau tanaman, “di luar sana” di dunia, yang dapat mengendalikan hujan, atau membuat mereka sejahtera. Tetapi apa yang sungguh-sungguh sedang terjadi adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang paling dapat ditangkap dalam hal-hal fungsi sosial. Masyarakat membutuhkan komitmen individual. Ia tidak bisa ada kecuali dalam dan melalui kesdaran individual; itulah sebabnya prinsip totem harus agaknya selalu 'menembus dan mengatur' dirinya dalam hidup kita.

Durkheim dengan sungguh baik menggambarkan sentimen-sentimen yang 'menggelembung naik' dalam semangat upacara-upacara kelompok ini. Mereka adalah waktu-waktu ritual, yang diisi dengan energi, semangat, sukacita, komitmen yang tidak mementingkan diri dan keamanan yang penuh.

Implikasi-implikasi totemisme
Ide ibadah totem adalah tidak kurang dari ibadah masyarakat itu sendiri, Durkheim merasa bahwa semua kepingan lain dalam teka-teki masyarakat Australia dan agama dengan alami jatuh ke tempat-tempat mereka yang tepat. Peran simbol totem kini tampak jelas. Dengan dipahat di kayu atau batu, ia merupakan objek yang konkret yang menghantarkan kepada masing-masing orang fata bahwa klan, yang menganut kesetiaan segalanya, bukalah sesuatu yang hanya dibayangkan. Simbol totem juga menghantarkan ide bahwa masyarakat, seperti ia sendiri, adalah sesuatu yang tetap dan permanen; ia tetap sebagai fokus inspirasi lama setelah keasyikan upacara-upacara agama berakhir. Klan tidak mau jika simbolnya sesuatu yang jauh dan kabur; ia membutuhkan objek yang spesifik, konkret dan dekat, sesuatu yang erat terikat pada pengalaman sehari-hari.

Tujuan totemisme adalah untuk memperhatikan kesalingterkaitan daripada semua hal, jaring yang rumit daripada ikatan-ikatan yang menyatukan masing-masing orang kepada satu dengan yang lain dalam klan itu, klan itu secara menyeluruh dengan dunia alamiah, dan bagian-bagian berbeda dari dunia alamiah dengan satu sama lain. Desakan ini yang mencakup dan mengkaitkan semua hal adalah begitu kuatnya, pada kenyataannnya sehingga ia memampukan totemisme primitif, sederhana sebagaimana adanya, untuk meletakkan dasr kerja bagi sistem-sistem bahasa, logika, dan ilmu yang terkait secara rumit ini, yang berkembang dalam tahapan-tahapan berikutnya dari peradaban.

Jika dimengerti dengan tepat, prinsip totemisme bisa mempertanggungjawabkan semua agama yang lainnya juga. Kepercayaan kepada jiwa, atau roh-roh, adalah satu kasus yang penting. Totemisme menunjukan betapa kpercayaan-kepercayaan demikian telah berkembang. Ide jwa sungguh hanyalah prinsip totemik yang ditanamkan dalam masing-masing individual. Karena klan itu ada hanya karena individual berpijir tentang prinsip totemik yang agaknya menyebarkan dirinya ke masing-masing dari mereka. Ketika ia beredar ke seluruh klan itu, fragmennya yang akhirnya dipunyai masing-masing individual menjadi milik jiwanya yang terpisah. Inilah “klan yang ada didalam”.

Ide 'sosial' daripada jiwa sungguh memberi pencerahan, tambah Durkheim, ketika kita berpikir tentang masalah agama masa lampau (dan filosofis) tentang hubungannya dengan tubuh. Jika jiwa itu dicita-citakan dan ditanamkan oleh klan dalam dirinya, lalu, dalam kapasitas itulah tugasnya adalah mewakili bagi kebutuhan dan cita-cita masyarakat individual. Jiwa adalah nurani diri, suara klan itu yang ada di dalam, yang memberitahukan tiap-tiap kewajiban pribadinya bagi kelompok.

Ajaran keabadian jiwa juga merupakan pengembangan yang alami dari totemisme. Berbicara tentang jiwa yang tidak dapat mati hanyalah cara lain orang-orang totem pakai untuk mengatakan bahwa biarpun seseorang mati, klan masih terus hidup. Roh-roh leluhur muncul sebagai fragmen-fragmen dari masa lalu klan yang tetap bertahan hidup hingga kini. Menariknya, roh-roh ini sering menghubungkan dirinya dengan anggota-anggota klan yang masih hidup dengan cara yang memberikan masing-masing orang sejenis jiwa ganda: “seseorang yang ada dalam diri kita, atau malahan diri kita sendiri; yang lain [dalam bentuk roh leluhur], yang ada di atas kita, dan yang fungsinya adalah mengendalikan dan membantu yang pertama” dalam melakukan kewajibannya bagi klan.

Totemisme dan Ritual
Di sini kita harus mencatat pengamatan Durkheim mula-mula bahwa sentimen-sentimen agama dan emosi pertama muncul bukan dalam momen-momen pribadi tetapi dalam upacara-upacara besar kelompok dari klan itu. Berikut dari ini adalah bahwa kepercayaan pada totemisme bukanlah upacara-upacara paling penting tentangnya. Menurut Durkheim “kultus” (dari bahas Latin cultus: 'ibadah') yang terdiri dari upacara-upacara kelompok emosional yang diadakan pada kesempatan-kesempatan yang ditentukan adalah inti kehidupan bersama klan. Kapanpun mereka terjadio dan bagaimanapun mereka diadakan akta-akta kultis ibadah ini adalah hal-hal yang paling penting yang dapat dijalani selalu oleh masyarakat klan.

Upacara-upacara itu suci; semua yang lain bersifat profan. Tujuan-tujuannya selalu untuk meningkatkan kesadaran klan itu, untuk membuat orang-orang merasa menajdi bagian daripadanya, dan menjaganya dalam setiap jalan yang terpisah dari yang profan.

Dalam praktik totem, kultus memecah diri menjadi dua bentuk utama, negatif dan positif, sedangkan tipe ketiga, yang disebut 'piacular' (dari bahasa Latin piaculum: “penebusan”) memainkan perannya sendiri di sepanjang yang dua sebelumnya. Ritual kultus negatif memeliki satu tugas utama: menjaga yang suci selalu terpisah dari yang profan. Ritual itu terdiri dari larangan-larangan atau tabu.

Biasanya lalu, yang suci lepas batas, dan poin kultus negatif adalah menjaganya demikian. Ketika waktu dan tempatnya tepat, walaubagaimanapun, dan klan itu berpindah ke dalam ranah suci, sarana untuk melakukan itu disediakan oleh ritual yang Durkheim gambarkan sebagai kultus positif. Bagi orang-orang Australia ritus pusat adalah intichiuma, upacara yang menyerupai dengan perjamuan Kristen.

Ritual-ritual totem dengan demikian menempatkan kita dalam posisi menjelaskan praktik agamawi dalam cara yang sama agar ide-ide totem dapat menjelaskan kepercayaan agama. Konsep masyarakat sekali lagi menyediakan kuncinya. Fungsi ritual-ritual agama, yang lebih fundamental daripada kepercayaan adalah memberikan kesempatan-kesempatan di mana individual memperbaharui komitmen mereka bagi masyarakat, mengingatkan mereka dalam gaya yang paling khidmat bahwa mereka tergantung pada klan, sebagaimana klan itu tergantung pada mereka. Hari-hari besar dan perayaan ada untuk meletakkan masyarakat, komunitas, kembali ke latar muka pikiran-pikiran umat, dan mendorong kepedulian pribadi dan yang terorientasi-diri kembali ke tempat kedua, di mana mereka seharusnya.

Ritus Piacular
Ritus piacular adalah ritus-ritus penebusan dan kabung, yang selalu terjadi setelah kematian atau peristiwa tragis tertentu. Tylor berpendapat bahwa orang-orang primitif mengadakan ritual-ritual tiu agar membuat perdamaian dengan roh-roh orang mati, yang marah karena berakhirnya kehidupan mereka. Tetapi sekali lagi, Durkheim memberikan alasan sosial. Dalam budaya-budaya di mana pekabung-pekabung kematian meratap nyaring dan memukuli diri mereka dalam keputusasaan, hal-hal ini bukanlah hanya luapan-luapan spontan. Hal-hal ini adalah isyarat yang sungguh formal, yang diperlukan oleh adat dari semua anggota klan, malahan mereka yang hampir tidak kenal orang yang mati itu. Dan kenapa? Karena ketika seseoran meninggal, bukanlah hanya keluarga dekat yang dilemahkan; segenap klan telah kehilangan anggota, suatu bagian daripada kekuatan mereka. Pada waktu demikian, perlu, melalui kultus, untuk mengelompokkan ulang, menghidupkan kembali, dan menegaskan kembali diri mereka. Pada zaman-zaman terdahulu, ritus-rituas yang dilaksanakan – arak-arakan, ratapan dan memukul dada – bukanlah diarahkan kepada roh-roh manapun atau alah-allah manapun. Kepercayaan kepada makhluk-makhluk supranatural ini sesungguhnya berkembang kemudian hari dan hanyalah akibat daripada ritual itu, hanya memberi orang-orang suatu citra mental yang lebih baik sebagai suatu fokus aksi mereka. Aslinya, tidak ada allah-allah untuk memerintahkan mereka melakukan ritual; hanya ada ritual, yang sepanjang waktu sendirinya menciptakan allah-allah.

Kesimpulan

1. Masyarakat dan Agama

Inti pandangan Durkheim ada pada klaimnya bahwa “agama adalah sesuatu yang sosial penting.” Ia bersikeras bahwa walaupun sebagai individu-individu kita semua membuyat pilihan dalam kehidupan kita, kita membuatnya dalam suatu kerangka sosial yang merupakan 'pemberian' bagi kita sejak lahir kita. Agama dalam semua budaya adalah bagian yang paling berharga dari harta sosial itu. Ia melayani masyarakat dengan menyediakan dari kecil ide-ide, ritual-ritual dan sentimen-sentimen yang emmandu kehidupan seseorang dalamnya.

2. Metode Ilmiah
Seperti para pengemuka teori sebelumnya, Durkheim mau mengumpulkan data, membandingkan, mengklasifikasikan, dan membuat generalisasi-generalisasi, atau hukum-hukum, untuk menjelaskannya. Dalam cara yang terbatas, ia juga mencakup evolusi sosial. Ia mengasumsikan masyarakat manusia sungguh berkembang dari yang dasar kepada yang kompleks. Dan ia setuju tempat memulai terbaik adalah dengan budaya-buidaya yang sederhana – dengan orang-orang yang disebut primitif. Tentunya ia tidak suka ide skema luas tertentu perkembangan manusia.

Dalam tahun-tahun setelah Perang Dunia Pertama, poin penting ini dari metode Durkheim diambil ke hati dalam bidang antropologi, khususnya di Ingris dan Amerika.

3. Ritual dan Kepercayaan
Durkheim juga berpisah dari cara-cara Tylor dan Frazer tentang pertanyaan hubungan antara ritual agama dan kepercayaan. Pendekatan 'intelektualis' mereka beranggapan bahwa kepercayaan dan ide-ide tentang dunia adalah unsur terpenting dalam kehidupan agama. Praktik-praktik agama – adat dan ritualnya - dipandang sekunder; mereka mengikuti dan tergantung pada kepercayaan. Pada pandangan ini, praktik orang-orang primitif itu yang mengubur hamba dengan raja-raja mereka muncul dari kepercayaan sebelumnya bahwa pada kehidupan setelahnya, jiwa si raja akan membutuhkan jiwa-jiwa hamba untuk menolongnya. Kepercayaan secara logis mendahului ritual; ide bisa dikatakan mengakibatkan praktik. Menurut pemikiran Durkheim, justeru kebalikannya. Baginya, ritua-ritaul agama mempunya prioritas; yaitu yang bersifat mendasar dan yang sesuangguhnya menyebabkan terciptanya kepercayaan-kepercayaan yang menyertainya. Jika ada yang 'abadi' tentang agama, ia berkata, itu adalah bahwa suatu masyarakat selalu membutuhkan ritus – aktivitas seremonial pembaharuan dan pengabdian ulang. Melaluinya, orang-orang diingatkan bahwa kelompok itu lebih penting daripada anggota tunggal manapun. Kepercayaan sebaliknya tidak kekal. Sementara fungsi sosial ritual agama selalu tetap, kandungan intelektual kepercayaan agama sellau bisa berubah-ubah. Kepercayaan merupakan 'sisi spekulatif' agama. Mereka bisa melayani pemisahan Kristen dari Yahudi dan Hindu, tetapi pada kenyataannya ide-ide tertentu yang ditegaskan mereka tidak membuat perbedaan besar. Ide-ide selalu berubah dari agama satu ke agama lain dan bahkan dari zaman satu ke zaman lain untuk satu agama yang sama. Tetapi keperluan akan upacara tetap tidak berubah; upacara-upacara adalah sumber yang sejati kesatuan sosial, dan dalam setiap masyarakat mereka adalah ikatan nyata yang mempersatukan. Upacara-upacara itu menyingkapkan arti sejati agama.

4. Penjelasan Fungsional
Masalah ritual membawa kita ke jantung teori Durkheim: penjelasan fungsional agama. Durkheim, seperti Freud melihat dirinya menyajikan suatu teori yang tidak hanya berbeda tetapi teori yang jenisnya berbeda dari teori-teori sebelumnya. Dalam menjelaskan agama, ia berpikir ia dapat pergi ke bawah permukaan segala sesuatu. Tylor dan Frazer mencoba menjelaskan agama sebagaimana agama itu nampak. Dalam pendekatan intelektualisnya, ide-ide dan kepercayaan – sisi spekulatif agama yang Durkheim ajukan - adalah kunci untuk menjelaskan budaya-budaya lain.

Bagi Durkheim, jawaban teka-teki ini bisa ditemukan hanya pada satu tempat: bukan dalam kandungan kepercayaan-kepercayaan itu, bukan dalam apa yang diklaim mereka tentang allah-allah atau dunia, tetapi dalam fungsinya – dalam apa yang mereka lakukan, secara sosial, bagi mereka yang hidup oleh allah-allah itu. Sifat agama yang sejati tidak dapat ditemukan pada permukaan tetapi di bawahnya.

4. Agama sebagai Alienasi: Karl Marx
Penjelasan Marx terhadap agama telah memiliki pengaruh dalam abad ini, sebagian karena penjelasannya bukan sekadar teori sarjana terpencil yang lain. Ia terikat pada filosofi aksi politis bahwa, sampai baru-baru ini, dipeluk oleh hapir sepertiga dunia kontemporer, termasuk tidak hanya bangsa-bangsa sebesar Soviet dan Cina dataran utama tetapi juga bangsa-bangsa kecil.

Marxisme: Ekonomi dan Teori Perjuangan Klass

Bagi Marx komunisme kesukuan dalam satu arti adalah yang paling natural dari organisasi manusia. Ia mengizinkan orang-orang menikmati beragam dalam kehidupan mereka dengan ikut ambil bagian dalam suatu percampuran yang sehat dari karya yang berarti dan masa senggang yang menyegarkan. Mereka termasuk kepada kelompok itu tetapi sadar nilai dari keberpisahan mereka. Marx menjelaskan bahwa hubungan-hubungan produksi berubah besar.

Adalah jelas bahwa komunisme memiliki misi ganda. Bagian dari pekerjaannya adalah pendidikan: ia harus menjelaskan realitas-realitas ini kepada orang-orang yang tidak bisa melihatnya. Bagian lain adalah aksi: ia memanggil kaum proletariat di mana-mana untuk mempersiapkan untuk revolusi. Dengan suara perintah dari nabi-nabi Ibrani kuno , partai Komunis mencela negara dan kelas penguasa. Ia mendesak para pekerja untuk mengorganisasi, berenang dengan arus sejarah yang sangat kuat, menambah beban mereka kepada gelombangnya, dan melempar diri mereka ke depan sampai tiba saatnya bagi mereka jatuh atas bangunan kapitalisme, menghancurkan kerangka dan dasarnya. Hanya kemudian, hanya setelah gelombang badai kehancuran ini, masa firdaus daripada kebebasan yang sejati dan damai pada akhirnya kembali kepada tatanan sosial kemanusiaan. Untuk mencapai kesempurnan, akan harus ada pertama-tama suatu fase transisi, suatu interval pendahuluan yang dikuasai oleh apa yang dinamakan oleh Marx “kediktatoran proletariat.” orang-orang miskin, yang dulu tanpa daya, akan sungguh-sungguh berkuasa. Kekuasaan mereka akan kemudian lambat laun memberi jalan kepada episode kedua damn terakhir, di mana harmoni manusia sejati pada akhirnya akan tiba, saat di mana kelas-kelas ataupun harta milik pribadi tidak akan ada lagi.

Materialisme, Alienasi, dan Dialektika Sejarah
Dalam menggaris besar skema besarnya, Marx tidak dengan sendiri menemukan konsep kelas-kelas sosial ataupun perjuangan sosial; ia memang merasa, walaupun demikian, bahwa ia telah menemukan hubungan antara pembagian kelas sosial, dan tahap-tahap tertentu perkembangan ekonomi, dan ia percaya bahwa ia sendiri telah melihat bahwa di masa depan, perjuangan ini akan membawa kepada revolusi dan akhir kelas-kelas itu bersama.

Kita telah memperhatikan idealisme Hegel dan pengaruhnya dalam pemikiran Marx. Hegel menemukan bahwa objek-objek materi adalah sekunder.ia berbicara tentang realitas terakhir sebagai “roh mutlak”, atau “ide yang mutlak” - orang-orang agama mana menyebutnya Allah. Dalam sistem ini, yang “mutlak” ini adalah suatu keberadaan yang tetap berjuang menjadi semakin sadar, lebih insaf, atas dirinya. Ia melakukan itu dengan mencurahkan dirinya ke dalam bentuk materi dan peristiwa-peristiwa, sebagaimana, mari kita katakan, pikiran arsitek mungkin ungkapkan dirinya dalam bangunan yang indah. Tetapi karena yang aktual tidak pernah secarta penuh menangkap ideal itu, bantuk materi selalu tidak memadai, atau dalam bahasa Hegel, “alien” (asing) bagi roh. Bagi Hegel semua yang terjadi di dunia ini muncul dalam bentuk sekuensi yang berganti-ganti yang besar ini, yang ia sebut dengan “dialektika” - “memberi dan menerima” - daripada roh dalam alam dan sejarah.

Marx menolak idealisme Hegel . Tetapi ia tidak menolak konsep alienasi dan atau ide bahwa sejarah bergerak menurut proses konflik yang sagat luas. Sebaliknya, ia melipat kedua ide ini menjadi materialisme dan meletakkannya pada pusat pandangannya sendiri akan kisah manusia. Sejarah katanya dalah sungguh suatu adegan besar mkonflik, dan Hegel benar melihat “alienasi” pada intinya. Tetapi ia gagal melihat hanya betapa dalam alienasi dan perkembangan sejarah berakar tidak dalam ide-ide tapi dalam realitas-realitas materi dasar kehidupan. Seperti para teolog dengan Allah Pencipta mereka, ketika Hegel berbicara tentang alienasi , ia utamanya berpikir bagaimana dunia fisik initidak pernah hidup kepada kesempurnaan sumber rohaniahnya, ide mutlak, atau pikiran. Tetapi pada kenyataannya, menurit Marx, segala sesuatu hanyalah jalan lain di s ekitar. Adalah manusia konkret, aktual dan bekerja yang menciptakan alienasi mereka sendiri.

Jika kita ingin betul-betul mengerti alienasi, kita harus memperhatikan bagaimana pentingnya fakta ekonomi tentang pekerjaan setiap hari bagi setiap orang yang hidup. Pekerjaan adalah aktivitas bebas manusia ketika mereka membangkitkan dan mendukung kehidupan sosial mereka melawan duia alamiah.

Eksploitasi Buruh: kapitalisme dan Nilai Surplus
Marx menjelaskan bahwa nilai sesuatu yang saya buat dan akan beli ditentukan oleh jumlah kerja yang diadakan untuk itu. Contohnya, jika membutuhkan waktu sehari untuk membuat sepasang sepatu dan duapuluh hari untuk membuat jam presisi, nilai atau biaya untuk jam itu menjadi dua puluh kali nilai dari sepatu tadi. Si pembuat sepatu yang ingin membeli jam itu harus setidaknya membuat dua puluh pasang sepatu agar dapat membeli atau membarter untuk jam itu. Sialnya menurut Marx, kapitalisme dan kepemilikan barang lebih mengenai laba daripada pertukaran nilai yang sama.

Demikian Marx menggambarkan:

dalam sistem kapitalisme.....segala cara untuk pengembangan produksi mengubah diri mereka menjadi cara-cara dominasi atas, dan eksploitasi para produser; mereka memutilasi buruh menajdi suatu fragmen seorang manusia, menurunkan nilainya sampai kepada level sebagai tambahan kepada mesin, menghancurkan setiap sisa pesona dalam akryanya dan mengubahnya menjadi kerja keras yang dibenci; mereka menjauhkan darinya potensialitas intelek dari proses-kerja....mereka mendistorsi kondisi-kondisi di bawah mana ia bekerja, tunduk selama proses kerja kepada suatu despotisme yang semakin dibenci karena kejahatannya. Mereka mengubah masa hidupnya menajdi masa kerja, dan menyeret isteri dan anaknya ke bawah roda-roda penguasa modal.

Dengan ini kelebihan-kelebihan dan kesialan kehidupan ekonomi memberi abhan bakar kepada api konflik sosial dan membawa kapitalisme akhirnya kepada kehancuran diri sendiri. Di tengah degradasi dan kesedihan ekonomi mereka yang amat sagat sedih, kata Marx, kaum proletariat menemukan sesuatu: Mereka “tidak kehilangan apa-apa kecuali rantai-rantai.” dari kemarahan mereka, dan dengan segala berat sejarah pada pihak mereka, para buruh akhirnya didirong untuk berencana, berorganisasi, dan pada akhirnya bertindak melawan segenap sistem kapitalis. Ketika tepat waktunya, mereka bisa diharapkan untuk memberontak. Pada saat itu, hari besar pertimbangan bagi dunia kapitalis akan pada akhirnya tiba juga.

Kritik Agama
Agama bagi Marx semata-mata ilusi. Lebih buruknya, agama adalah ilusi dengan akibat-akibat yang paling jelas-jelas jahat. Ini adalah contoh yang paling ekstrim ideologi, dari suatu sistem kepercayaan yang tujuan utamanya semata-mata menyediakan alasan – dalih, sungguh - untuk menjaga segala sesuatu dalam masyarakat sebagaimana para penindas seperti mereka. Sesungguhnya, agama secara penuh ditentukan oleh ekonomi sehingga tidak ada poinnya utnuk mempertimbangkan doktrin-doktrin mana saja daripadanya atau kepercayaan-kepercayaan atas jasa mereka sendiri. Doktrin-doktrin ini berbeda dari satu agama dengan yang lain, pastinya, tetapi karena agama selalu bersifat ideologis, bentuk yang spesifik yang ia ambil dalam satu masyarakat atau yang lain pada akhirnya sebagian besar tergantung pada satu hal: bentu kehidupan sosial sebagaimana ditentukan oleh daya-daya materi yang mengendalikannya pada tempat dan waktu tertentu. Marx menegaskan bahwa kepercayaan kepada suatu dewa atau dewa-dewa adalah suatu ketidaksenangan sebangai akibat dari perjuangan kelas, sesuatu yang tidak seharusnya dilewatkan, namun dilewatkan dengan caci.

5. Realitas yang Suci:

Mircea Eliade

Mircea Eliade lahir di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak dari seorang pegawai tentara Rumania. Sebagai anak laki-laki ia senang dengan tempat-tempat sunyi, sains, kisah-kisah, dan menulis.

Konsep Agama menurut Eliade: The Sacred and The Profane (Yang Suci dan Yang Profan)

eliade menjelaskan bahwa sejarahwan harus melangkah keluar dari peradaban modern, yang ternyata, hanya mempertangungjawabkan serpihan kecil dan baru dari semua manusia yang pernah hidup dan memasuki dunia “manusia arkhaik”. Orang-orang arkhaik adalah mereka yang pernah hidup pada masa-masa prasejarah atau yang hidup saat ini dalam masyarakat suku dan kebudayaan desa kerakyatan, tempat-tempat di mana pekerjaan di dunia alam – berburu, memancing, dan berladang – adalah rutinitas setiap hari. Apa yang bisa kita temukan di mana-mana di antara orang-orang demikian adalah suatu kehidupan yang dijalani atas dua bidang yang berbeda secara penentuan mereka: satu atas hal suci dan satu atas hal profan. Profan adalah ranah urusan setiap ahri – hal-hal biasa, acak d an pada kebanyakan tidak penting. Sedangkan yang suci kebalikannya. Yang suci adalah lingkungan supranatural, hal-hal yang luar biasa, dapat diingat, dan bersejarah. Sementara yang profan menghilang dan rapuh, penuh bayangan, yang suci bersifat abadi, penuh substansi dan realitas. Yang profan adalah arena urusan manusia, yang bisa diubah-ubah dan sering kacau; yang suci adalah lingkungan keteraturan dan kesempurnaan, rumah bagi para leluhur, pahlawan, dan dewa-dewa. Kapan saja kita melihat di antara orang-orang arkhaik, agama mulai dari pemisahanyang mendasar ini.

Agama arkhaik: simbol dan Mitos
Mengerti dan mencari bisang yang suci adalah satu hal; sedangkan menemukan dan menggambarkannya adalah hal lain. Meskipun orang-orang arkhaik, seperti ayng lainnya, berusaha untuk mengungkapkan perasaan rindu dan kepercayaannya, sifat dari yang suci itu sendiri, yang adalah sesuatu yang berbeda dari yang profan, akan nampaknya membuat ini tidak mungkin. Bagaimana seseorang bisa mendeskripsikan apa yang adalah “sepenuhnya lain” (wholly Other) daripada apapun dalam pengalaman biasa? Jawabannya, menurut Eliade ada pada pengungkapan tidak langsung: bahasa yang suci harus ditemukan dalam simbol-seimbol dan mitos.

Simbol kita tahu berakar pada prinsip kesamaan, atau perbandingan. Hal-hal tertentu memiliki kualitas, suatu bentuk, suatu ciri yang memberi kesan mirip dengan sesuatu yang lain. Dalam ranah pengalaman agama, hal-hal tertentu dilihat mirip dengan atau menyarankan yang suci; mereka memberikan petunjuk kepada sesuatu supranatural. Mitos juga bersifat simbolik, namun sedikit lebih rumit. Mitos adalah simbol-simbol yang diletakkan dalam bentuk naratif. Sebuah mitos bukan hanya suatu gambaran atau tanda; ia adalah serangkaian gambaran-gambaran yang ditempatkan untuk membentuk suatu kisah. Ia mengisahkan cerita dewa-dewa, leluhur, atau pahlawan dan dunia adikodrati mereka.

Simbolisme langit: Dewa-dewa langit dan lain-lain
Salah satu unsur paling umum dari kebudayaan arkhaik adalah kepercayaan kepada Dewa-dewa langit, keilahian yang sifatnya disarankan oleh tabiat surga yang luas di atas bumi. Langit mengantarkan suatu pengertian transendensi, suatu jangka yang dinaikkan tinggi di atas kita, sesuatu yang tidak terhingga, berdaulat, dan kekal – pebuh dengan kekuasaan dan realitas. Tepatnya, dewa-dewa langit sering dibayangkan hanya dalam mode ini. Seperti dewa Lho di antara orang-orang Mauri, ia 'ditinggikan”; seperti dewa olorun di antara suku-suku yorube di Afrika, ia adalah “pemilik langit”; seperti dewa besar Ahuramazda di Iran kuno, ia adalah pemberi semua hukum dan penguat tatanan moral dalam dunia.

Simbol-simbol Lain: Bumi dan Kesuburan; Tanaman dan Pertanian
Simbolisme kehidupan, pertumbuha, dan kesuburan telah memainkan peranan penting dalam agama orang-orang arkhaik, baik sebelum dan sesudah fajar pertanian. Gambaran yang paling mula-mula adalah gambaran bumi sebagai ibu suci, sumber segaal sesuatu yang hidup. Perkawinan suci bapa langit yang ilahi dengan ibu bumi ditemukan di banyak mitologia, dari Pasifik Selatan sampai Afrika, Laut tengah dan Amerika. Langit menyuburkan bumi dengan hujan, dan bumi menghasilkan benih dan rumput. Dengan datangnya pertanian dan keterlibatan yang lebih dekat dari manusia dalam pengembangbiakan tanaman dan benih, simbol-simbol paling awal bumi sebagai ibu sering dilandaskan oleh simbol dewi besar – sekali lagi, suatu keilahian yang lebih dinamis, emosional yang seperti “anak” dewa-dewa secara personal hidup lepas dari nasib hasil bumi dalam siklus kehidupan nya sendiri dari kelahiran, pertemuan seksual, kesuburan dan kematian.

Sejarah dan Waktu Kudus
Seharusnya jelas dari semua ini bahwa bagi sarjana yang mencari tahu tentang simbolisme dari yang kudus, catatan sejarah manusia adalah sangat penting sekali. Ia menunjukkan kita betapa orang-orang berbeda telah mengenali yang suci benar-benar, katakan saja, sebuah gunung suci di China atau sungai suci di India seperti Gangga. Orang-orang percaya yang arkhaik sendiri walaupun demikian, menemukan keadaan mereka dalam sejarah merupakan masalah yang lain sekali. Bagi mereka, peristiwa-peristiwa kehidupan profan yang biasa, lingkaran kerja dan perjuangan yang setiap hari ada, adalah hal-hal yang ingin mereka jauhi dengan mendesak. Mereka lebih memilih lepas dari sejarah dan berada dalam lingkungan suci yang sempurna. Istilah Elaide untuk keinginan ini adalah “nostalgia demi Firdaus”. Inilah konsep pusat daripada teorinya. Meskipun ia mengacu kepadanya dalam banyak tempat, ia menjelaskan dengan paling baik dalam teks ketiga dari tiga teks yang kita ambil sebagai panduan, yaitu: The Myth of the Eternal Return: Or, Cosmos and History, yang pertama diterbitkannya bersama Patterns pada tahun 1949.

Eliade menganggap penting untuk memperhatikan motif-motif yang mengilhami mitos kembalinya ini. Ia menjelaskan bahwa orang-orang arkhaik, seperti semua yang lain, dipengaruhi secara mendalam tidak hanya oleh misteri-misteri penderitaan dan kematian tetapi juga oleh keprihatinan tentang hidup tanpa tujuan atau makna apapun. Mereka menginginkan signifikansi, ketetapan, keindahan, dan kesempurnaan juga pelarian dari kesedihan-kesedihan mereka. Hal-hal kecil yang mengganggu dan ketidaknyamanan-ketidaknyamana dalam kehidupan bukanlah maslaah. Semua itu dapat ditanggung oleh siapapun. Tetapi ide bahwa petualangan manusia secara menyeluruh mungkinsemata-mata latihan yang tidak bertitik, sebuah kaca mata yang kosong dengan amut sebagai akhirnya – itu adalah prospek yang tidak daapt ditanggung oleh manusia-manusia arkhaik. Eliade menyebut ini dengan “teror sejarah.”

Pemberontakan terhadap Agama Arkhaik: Yudaisme dan Kekristenan
Hampir di mana-mana di dalam kebudayaan arkhaik dan kebudayaan kuno berperadaban, masalah sejarah sangat penting dan solusinya, pelarian, didapati dalam beberapa bentuk mitos kembali secara kekal. Polanya sudah tersebar luas, kata eliade sehingga hanya di satu tempat – di antara orang-orang Ibrani di Palestina kuno – sesuatu yang berbeda dapat ditemukan. Adalah di Israel kunolah, untuk pertama kalinya di panggung dunia, pandangan agamawi yang baru muncul. Meskipun tidak sepenuhnya menolak ide mitis kembali ke permulaan, Yudaisme menyatakan bahwa yang suci (kudus) bisa didapati dalam sejarah juga di luar sejarah. Dengan ini, penyetaraan sepenuhya dari agama arkhaik secara signifikan terubah. Dalam Yudaisme, dan kemudian dalam Kekristenan, yang berasal darinya, ide siklus alam tanpa arti didorong ke latar belakang, sementara peristiwa-peristiwa manusia tampil ke panggung utama, di mana mereka mengambil bentuk di sepanjang garis kisah yang tanpa arti – sebuah sejarah – dengan yang suci, dalam bentuk Allah Israel, suatu partisipan dalam adegan-adegannya.

6. “Bangunan Hati” Masyarakat:

E. E. Evans Pritchard
E. E. Pritchard adalah salah satu tokoh utama besar dalam antropologi modern, suatu bidanga yang diklaimnya sebagai profesinya selama jangka waktu hampir 50 tahun, sejak 1920an sampai kematiannya pada tahun 1973.

Evans Pritchard dengan kuat merasa bahwa koreksi yang layak kepada individualisme Tylor dan Frazer bisa didapati dalam bidang sosiologi sebagaimana ia dulu berkembang pada mulanya di Perancis. Tradisi Perancis dalam menafsirkan hal-hal manusia dalam hal-hal sosial kembali ke periode sebelum revolusi dan dapat dilihat dalam karya-karya baron de Montesquieu, khususnya dalam Spirit of the Laws (1748).

Perdukunan, Wangsit dan Sihir di antara orang-orang Azande (1937)
Dalam bukunya ini, bagi Evans-Pritchard, magis adalah kepercayaan bahwa aspek-aspek tertentu kehidupan bisa dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan mistis atau daya-daya adikodrati. Karena sebagian besar anggota masyarakat Barat yang terdidik – dan Evans Pritchard menggolongkan dirinya sendiri – berpikir bahwa kepercayaan kepada daya-daya demikian secaar menyeluruh salah, pertanyaan yang alami adalah: Mengapa orang-orang Azande mempercayainya? Evans-Pritchard menemukan ahl ini tidak bisa diterima. Dan di luar alam magis itu,a da banyak bukti untuk mendukungnya. Untuk mereka sendiri, Azande adalah orang-orang yang logis, penuh rasa ingin tahu, dan mencari tahu. Dalam hal-hal sosial dan praktis mereka pandai dan tanggap. Mereka adalah pengrajin yang terampil; mereka imajinatif dalam berpuisi, dan dalam hal-hal bertahan hidup dan kehidupan sehari-hari sangat bersumber-daya. Pada saat yang sama, suatu bagian yang sangat penting secara mengejutkan di anta orang-orang Azande diserahkan kepada wangsit-wangsit, magis, dan pelaksanaan ritual-ritual lain.

Ketika filsuf, antropolog, ilmuwan, dan teolog telah lambat laun menyadari, apa yang Evans-Pritchard tunjukkan sebagai benar untuk Azande memiliki konsekuensi-konsekuensi yang bersejarah demi penilaian kepercayaan dan keraguan dalam masyarakat kita sendiri. Kasus Azande menyarankan bahwa dalam setiap budaya manapun, kepercayaan mendasar tertentu harus walaubagaimanapun dipelihara. Terlalu berharga untuk dilepaskan.

Agama Nuer
Agama Nuer berpusat hampir semua pada konsep kwoth, atau roh (dalam bentuk plural, kuth : “ruh-ruh). Pertama dan terutama dalam pemikiran mereka adalah Allah, suatu makhluk yang mereka kenal sebagai Kwoth nhial, “roh Langit.” ia adalah pencipta segala sesuatu, yang tidak kelihatan dan maha hadir, penopang – dan pengambil – kehidupan, penahan cuong, yaitu apa yang secara moral benar, abik dan sejati. Suatu makhluk dengan kualitas-kualitas kepribadian manusia, Kwoth nhial juga dan secara mulia, suatu Allah yang mengasihi manusia, dengan tanpa mementingkan kepentingan sendiri. Nuer memiliki pengertian yang kuat akan Allah yang mengendalikan penuh peristiwa-peristiwa alam besar yang terjadi di dunia.

Roh-roh di atas

Selain Allah, roh langit, dunia Nuer memang memeluk yang lain, roh-roh yang lebih kecil. Mereka jatuh ke dalam dua kelompok utama: “roh-roh atas” yaitu, roh-roh yang hidup terutamanya di udara, dan “roh-roh di bawah”, yaitu yang berhubungan dengan bumi. Roh-roh atas termasuk deng, anak Allah; mani, roh yang memimpin dalam perang; wiu, allah bagi klan yang bersidang; dan buk, suatu roh yang perempuan. Yang disebut ibunda deng, yang dihubungkan secara khusus dengan sungai-sungai.

Agama dan Refraksi dalam Tatanan Sosial
Roh-roh totemik dan colwic keduanya menampilkan apa yang disebutkan oleh Evans-Pritchard dengan “refraksi sosial” agama. Sebagaimana sinar putih dibelah oleh sebuah prisma menajdi warna-warna berbeda, demikian Nuer nampaknya berpikir tentang roh, atau Allah, seperti dalam aksus-kasus ini “direfraksikan” menjadi kelompk-kelompok berbeda, atau tingkat-tingkat, kuasa ilahi yang sesuai menurut cara tertentu dengan klan-klan berbeda atau kelompok-kelompok sosial. Dalam kasus-kasus ini, meskipun Nuer merasa masih menyembah Allah, mereka menyembahnya sebagai yang disosokkan, disimbolkan, berhubungan dengan satu garis silsilah, klan, atau kelompok sosial secara khusus.

Simbolisme
Setelah mendiskusikan roh dalam banyak bentuk berbeda, Evans-Pritchard beralih ke diskusi terpenting dan sekarang terkenal dari simbolisme Nuer. Ia mengemukakan bahwa ini adalah subyek di mana pikiran primitif telah disalahmengerti pada umumnya. Ia mulai dengan analisis yang sangat hati-hati terhadap bahasa, khususnya apa yang Nuer maksud ketika mereka mengatakan satu hal “adalah” hal lain. Ketika seekor burung hinggap di atas pondok maka mereka diketahui mengatakan, “itu kwoth.” atau roh. Atau mereka mungkin mengatakan bahwa seekor buaya adalah roh, yang berarti bahwa ia memiliki kepentingan sebagai roh bagi orang yang menyebut buaya itu totem mereka dan menghormati roh totem buaya itu.

7. Agama sebagai Sistem Kultural:

Clifford Geertz
Untuk memahami posisi Geertz di antara para teoris agama, kita harus memperhatikan pertama-tama latar belakang dalam antropologi, di mana mungkin fakta paling penting adalah bahwa ia dididik bukan di Paris tempat Durkheim ataupun Oxford tempat Pritchard melainkan di Harvard di AS. Ide-idenya tentang baik agama maupun kultur dikembangkan di bawah dua pengaruh utama: tradisi antropologi Amerika yang kuat dan independen dan suatu perspektif tentang ilmu sosial yang ia jumpai sementara ia belajar di Harvard di bawah teoris terkemuka Talcott Parsons.

Sulit untuk mengetahui bagaimana langsung pengaruhnya, tetapi Talcott Parsons nampaknya telah mempengaruhi Geertz dalam dua jalan. Pertama, Parsons sendiri telah terpengaruh oleh sosiolog Jerman yang besar, Weber, yang pada awal tahun 1900an menerbitkan studi-studi yang brilian dan orisinal tentang hubungan antara agama dan masyarakat. Pada saat ketika sedikit orang Amerika yang mengenal siapa Weber , Parsons menerjemahkan beberapa karyanya dan menjelaskan ide-ide kuncinya. Banyak orang tahu bahwa Weberlah yang pertama kali menghubungkan Protestantisme dengan ekonomi kapitalis dalam esai-esai bukunya yang terkenal Etika Protestant dan Semangat Kapitalisme (1904-05).

Nampaknya bukan kebetulan jika dalam betuk terjemahan dan ter-update, tiap-tiap konsep utama Weber, yang diteruskan ke Amerika oleh Parsons, berhasil masuk ke ranah pendekatan interpretatif Geertz terhadap budaya. Di seluruh esai teoretisnya dan bahkan beberapa etnografinya, mungkin tidak ada teoris sosial tunggal yang diacu Geertz lebih sering, atau dengan semangat yang lebih berkaitan selain pemikiran Weber.

Budaya dan Interpretasi: Metode “Deskripsi Tebal”
Siapapun yang tertarik menjelaskan aktivitas-aktivitas manusia harus memahami bahwa hari ketika para sarjana menetapkan sebagai tujuan mereka beberapa “teori-teori umum interpretasi budaya” sekarang lewat – dan paling mungkin telah hilang lenyap. Sebab fakta yang tidak bisa dihindari adalah bahwa analisis budaya bukan suatu ilmu eksperimental dalam mencari suatu hukum tetapi suatu ilmu interpretasi dalam mencari arti. Apakah ini berarti bahwa interpretasi budaya tidak bisa pernah sama sekali memberikan kita hikmat yang nilainya umum? Yah, tidak sungguh, kata geertz; tetapi apa yang bisa kita pelajari darinya adalah mungkin lebih seperti diagnosa seorang dokter dalam menentukan tipe penyakit dari gejala-gejala tertentu. Antropologi tidak pernah sepenuhnya prediktif, tidak pernah mampu menawarkan kepastian yang ada tersedia dalam bidang-bidang seperti fisika atau kimia, yang hanya berpusat pada proses-proses fisik yang mengikuti hukum-hukum gerak atau aturan-aturan reaksi molekul. Antropolog tidak bisa dengan pasti mengatakan bahwa apa yang akan terjadi dalam budaya, lebih daripada seorang dokter yang dapat dengan pasti memprediksikan seorang anak akan lahir dengan penyakit campak. Tetapi sepertti diagnosis, sebuah teori bisa dan seharusnya mencoba menantisipasi apa yang akan terjadi. Dalam menafsirkan satu budaya, sebuah teori seharusnya dalam hal-hal tertentu bisa “dicobakan” kepada yang lain, lalu mau disimpan atau dibuang. Dalam hubungan itu, antropolog memang memiliki beragam ide-ide umum – konsep-konsep abstrak yang diungkapkan dalam kata-kata seperti “struktur,” “identitas,” “ritual,” “revolusi,” “pandangan dunia,” “perpaduan,” dan lain-lain. Ini semua mengizinkan seorang teoris merentangkan suatu contoh tunggal ke dalam suatu ide yang mungkin sesuai dengan beberapa atau banyak kasus.

Penafsiran Kultural dan Agama
Jika antropologi interpretasi merupakan masalah mencari sistem makna dan nilai melalui mana orang-orang menjalani kehidupannya, maka bisa dimengerti bahwa dalam budaya mana saja agama menuntut perhatian antropologis yang serius.

Apa artinya ketika mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem budaya? Geertz menawarkan suatu jawaban pertanyaan ini dal;am sebuah kalimat tunggal dan dengan berat dipaket. Agama adalah:

(1) suatu sistem simbol-simbol yang bertindak (2) untuk mendirikan suasana-suasana hati yang berkuasa, menyeluruh, dan bertahan lama dan motivasi-motivasi dalam manusia oleh (3) memformulasikan konsepsi-konsepsi suatu keteraturan yang umum keberadaan dan (4) memberi baju bagi konsepsi-konsepsi ini dengan aura faktualitas demikian sehingga (5) suasana-suasana hati dan motivasi-motivasi itu nampaknya secara unik bersifat realistis.

Antropolog tentunya tidak diwajibkan untuk ringkas, jelas, dan sederhana. Namun meskipun ia melarang pada pandangan pertama kali, deskripsi ini tidak segelap pertama tampaknya. Dengan 'sistem simbol-simbol' Geertz maksudkan hanya tentang sesuatu yang membawa dan mengantarkan kepada oprang-orang ide: suatu objek seperti roda doa Buddha, dan suatu peristiwa seperti penyaliban, sebuah ritual seperti bar mitswah, atau perbuatan tanpa kata sederhana saja, seperti isyarat bela rasa atau kerendahan hati.

Kita seharusnya bisa melihat kembali betapa tidak bijak, dalam agama tidak kurang dari lingkungan budaya lain, untuk melompat cepat ke arah kesimpulan umum. Agama orang-orang Bali begitu khas, begitu spesifik dari jenisnya sendiri, sehingga hampir tidak ada sesuatu tentangnya yang dapat kita ubah menajdi aturan umum untuk semua agama.

Kesimpulan: Pandangan Dunia dan Etos
Lantas apa signifikansi sejarah-sejarah Islam yang sejajar yang bisa dilacak di Indonesia dan Maroko? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan mengingat poin utama “agama sebagai sistem kultural”: agama terdiri dari suatu pandangan dunia dan sebuah etos yang menggabungkan diri mereka untuk saling menguatkan. Serangkaian kepercayaan yang dimiliki orang-orang tentang apa yang nyata, apa dewa-dewa ada, dan lainnya (yaitu pandangan dunianya) mendukung serangkaian nilai-nilai moral dan emosi (yaitu etos mereka), yang memandu mereka ketika mereka hidup dan dari situ menegaskan kepercayaan mereka.